Esai, Opini  

Tantangan Pendidikan dalam Era Disrupsi

Tantangan Pendidikan dalam Era Disrupsi

Revolusi industri 4.0 telah menciptakan fenomena disrupsi. Dalam dasawarsa terkahir ini, disrupsi terjadi dan menciptakan tren baru dalam berbagai aspek. Baik itu bisnis, komunikasi, lembaga negara maupun bidang utama dalam pembangunan manusia yaitu, pendidikan. Merespon gejala ini, dunia pendidikan mendapat tantangan yang lebih untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang adaptif terhadap iklim disrupsi.

Perkara peran pendidikan terhadap SDM, tidak saja pada aspek fisik yang berupa kemampuan teknis manusia itu sendiri. Namun, lebih dari itu aspek mental, sosial dan kerohanian turut menjadi bahan pembahasan. Dalam era disrupsi aspek-aspek ini mendapat tantangan yang menuntut perubahan secara fundamental. Maka berangkat dari sana penulis menganggap, dalam memperingati Hardiknas pada 2 Mei, ada baiknya kita kembali merenungi tantangan yang dihadapi oleh pendidikan di era ini.

Disrupsi Sebagai Gangguan

Berbicara mengenai paham disrupsi maka setidaknya kita akan menemukan nama Clayton M. Christensen dan Francis Fukuyama. Keduanya mempunyai pandangan berbeda mengenai disrupsi. Namun kesamaannya adalah paham ini muncul di waktu yang berdekatan yaitu pada akhir abad ke-20. Dalam hal ini penulis mengambil pengertian disrupsi menurut Fukuyama sebagai acuan. Fukuyama mengartikan disrupsi menurut arti kata secara leksikal, disrupsi berarti “gangguan atau kekacauan.”

Ganguan apa yang dimaksud di sini? Menilik akhir abad ke-20, ketika paham ini muncul kita menyadari tabir ruang dan waktu tersingkap lebih jauh lagi dengan semakin mudahnya akses informasi. Fukuyama mengakui keuntungan atau manfaat yang timbul dari perubahan-perubahan teknologi, sehingga masyarakat menjadi suatu yang disebut “masyarakat-informasi”. Akan tetapi, ketika kita bertanya, apakah semua konsekuensi dari perkembangan teknologi positif? Menurut Fukuyama, jawabannya adalah tidak. Maka ganguan yang dimaksud di sini adalah perubahan oleh kondisi-kondisi sosial yang memburuk pada masyarakat-informasi. Dalam era ini terjadi pelemahan ikatan sosial dan pudarnya nilai-nilai bersama (common values) yang menjadi modal sosial. Disrupsi dalam arti gangguan terhadap nilai dan tata sosial punya risiko memerosotkan peradaban.

Tatanan  ideal sebagai masyarakat beradab tidak mungkin ada tanpa ikatan sosial yang erat dan adanya nilai-nilai (kultural, sosial,moral) sebagai modal sosial. Menurut Fukuyama, agar kita bisa menata kembali masyarakat secara sosial, perhatian perlu diarahkan kepada dua kapasitas manusiawi, yaitu kesadaran akan kodrat manusia dan kecenderungan manusia untuk mengorganisasi diri. Melihat dari fakta tentang fenomena disrupsi, maka kita dapat melihat bahwa pendidikan punya peran penting untuk mengatasinya.

Artinya, SDM ideal dalam era ini harus dapat mengambil peluang dan bersifat adaptif. Namun di lain pihak harus tetap berusaha menjaga kapasitas. Maka ini menjadi tantangan pendidikan Indonesia dalam mencapai tujuannya di era ini. Mengapa bisa dikatakan sebagai tantangan terhadap tujuan? Untuk menjawab itu maka kita harus terlebih dahulu melihat tujuan dari pendidikan di Indonesia.

Baca Juga Artikel Lainnya: “Merdeka Belajar, Untuk Siapa?”

Tujuan Pendidikan Indonesia

Merujuk kepada fenomena di atas pemerintah Indonesia menyatakan bahwa solusi kondisi demikian ialah dengan pendidikan karakter yang tersusun dari tiga bagian yang saling berhubungan; moral knowing (knowing the good), moral feeling (desiring the good), dan moral behavior (doing the good). Pertanyaannya, apa rujukan dari standar ‘kebaikan’ tersebut? Jika mengacu pada konstitusi kita, manusia Indonesia ideal menurut UUD 1945 Pasal 31(c), UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbud No 20/2016 tentang standar kompetensi lulusan menjadikan iman, takwa, dan akhlak sebagai unsur utama. Pasal 31 tersebut dengan terang berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Sementara dari sudut pandang Islam, pendidikan menurut al-Attas adalah proses penanaman adab dalam diri seseorang. Yang mana tujuannya adalah untuk menciptakan manusia yang baik (good man) bukan hanya warga negara yang baik. Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami tujuan pendidikan adalah penyelarasan kodrat manusia kepada fitrahnya. Maka dalam era ini pemerintah mengusung pendidikan karakter sebagai jargon. Namun dalam era disrupsi hal ini akan lebih sukar untuk dituju, mengapa? Karena pada era ini terjadi pelemahan ikatan sosial dan pudarnya nilai-nilai bersama (common values) yang menjadi modal sosial. Hal ini jelas menjadi tantangan pendidikan dalam era disrupsi.

Menjawab Tantangan Pendidikan di Era Disrupsi

Untuk menjawab tantangan pendidikan di era ini ini mari kita sepakati “Apa rujukan dari standar ‘kebaikan’  dari pendidikan karakter yang diusung?” Jika merujuk kepada konstitusi maka kita akan mendapatkan jawaban keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia sebagai standar kebaikan. Maka intisarinya tujuan pendidikan dalam konsitusi adalah penanaman adab. Konsep pendidikan demikian bahkan sudah lama dicanangkan pula oleh para tokoh-tokoh pendidikan Indonesia terdahulu.

Di antaranya Ki Hajar Dewantara berpendapat tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi yaitu tujuan jasmani (al-ahdaf al-jismiyyah) tujuan rohani (al-ahdaf al-ruhaniyyah), tujuan akal (al-ahdaf al-aqliyyah), tujuan sosial (al-ahdaf al-ijtima’iyyah). Dari pendapatnya kita melihat bahwa intisari pendidikan adalah penanaman adab.

Untuk mengatasi era disrupsi ini tidak cukup seseorang paham akan teknologi tapi mengesampingkan tujuan dirinya sendiri sebagai manusia. Karena tanpa penanaman adab dalam diri manusia, teknologi yang dikuasi dapat membuat manusia menjadi biadab. Disrupsi pun hanya akan menjadi ganguan tanpa menjadi peluang.

Baca Juga Artikel Lainnya: “Kebijakan Pendidikan dalam Era Disrupsi”

Oleh: Fakhri Abdul Gaffar Ibrahim

Penulis adalah Editor Majalah Manggala periode 2019/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *