Esai, Puisi  

Adakah Yang Salah Dalam Pemaknaan Ramadhan Kita?

Ada Yang Salah Dalam Pemaknaan Ramadhan Kita?

Berbicara mengenai pemaknaan Ramadhan, beberapa hari lalu, saya melihat cuplikan di Instagram saya, di mana orang-orang melempari Masjid dengan batu dan sandal karena ada seseorang yang melarang masyarakat untuk melaksanakan solat Taraweh berjamaah di Masjid. Di satu sisi, kita dapat membenarkan seseorang yang melarang tersebut; karena saat ini, negara kita sedang dilanda musibah pandemi Corona. Namun, di sisi lain, kita dapat mengerti mengapa massa dapat sebegitu marah dengan orang yang melarang tersebut; karena Taraweh berjamaah adalah ritual khusus yang ada pada bulan Ramadhan saja, dan orang-orang tidak mau ketinggalan melaksanakan ritual yang hanya ada satu tahun tiga puluh kali.

Tidak berhenti di situ saja. Orang-orang yang masih ingin memaksa untuk solat Taraweh berjamaah, rame-rame mencari pembenaran melalui akun sosial media mereka. Ucapan-ucapan seperti jangan takut sama virus, takut sama Allah mulai bermunculan lagi. Saya melihat, ada yang salah dari orang-orang itu terhadap pemaknaan Ramadhan. Bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan paling tentram, di mana di bulan ini orang-orang sudah seharusnya memikirkan ibadah pribadinya, terpaksa ternoda akibat hal-hal seperti ini. Dan sebenarnya, dengan melaksanakan solat Taraweh berjamaah di rumah pun tidak akan mengurangi nilai dari solat Taraweh itu sendiri.

Apa yang terlintas di kepala anda ketika saya menyebut Ramadhan? Puasa, buka bersama, sahur, Taraweh berjamaah di Masjid. Pernahkah terpikir di kepala anda, mengapa ketika saya menyebut Ramadhan, malah hal-hal tersebut yang keluar? Padahal puasa sendiri, dapat dilakukan juga di bulan-bulan selain Ramadhan. Dan hal-hal yang saya sebutkan tadi pun, seperti buka bersama dan sahur, dapat dicantumkan pada bulan-bulan lain juga, bukan hanya pada bulan Ramadhan saja.  Tapi mengapa harus Ramadhan? Dari mana munculnya? Sejak kecil, hal-hal yang saya sebutkan tadi telah melekat di kepala kita, yang kemudian membentuk Ramadhan.

Menurut Peirce, ada tiga tahap penting dalam pemaknaan Ramadhan sebagai suatu tanda. Yang pertama adalah reprasentament. Tanda pada tahap ini muncul berkaitan dengan indera kita, dan biasanya terjadi saat kita kecil. Tahap kedua adalah represantion. Pada tahap ini, tanda bersinggungan langsung dengan pengalaman manusia. Dan tahap ketiga adalah interpretant. Di tahap ini, tanda dimaknai melalui kaitan antara tahap pertama dan tahap kedua, dan di tahap ini pula seseorang dapat menafsirkan tanda sesuai dengan pengalamannya.

Dari sana, setidaknya kita dapat menghetahui mengapa ketika menyebut kata Ramadhan, yang muncul adalah atribut tadi. Sejak kecil, atau sejak pertama kali mendengar kata Ramadhan, kepala kita telah disusupi dengan atribut tadi. Ditambah dengan penghetahuan akan makna tersebut dari lingkungan sekitar, seperti halnya televisi. Kemudian kita beranjak dewasa, dan bersinggungan langsung dengan Ramadhan. Di tahap ini, kita mulai memaknai tanda dengan pengalaman kita sendiri. Kita ikut Taraweh berjamaah, sahur, buka bersama dan lain-lain. Karena kita telah merasakan hal-hal tersebut dan merasa bahwa hal-hal tersebut wajar disematkan pada Ramadhan, kita mulai masuk ke tahap ketiga dan mulai menafsirkan makna Ramadhan sendiri.

Baca Juga Artikel lainnya “Ramadan, Madrasah Muscle Memory ala Islam”

Mungkin ini juga dapat menjadi alasan mengapa Ramadhan kali ini terasa seperti ada yang kurang. Di tengah pandemi global seperti sekarang, ritual-ritual yang bersifat kolektif seperti Solat taraweh berjamaah di Masjid atau kegiatan lain seperti buka bersama dan sahur on the road memang tidak dapat dilaksanakan. Pada mulanya, kita dapat menganggap bahwa tak ada yang salah dengan pengatributan pada Ramadhan kita selama ini. Namun setelah melihat apa yang terjadi sekarang, mungkin pengatributan kita terhadap Ramadhan selama ini dapat dipertanyakan ulang. Karena kalau tidak segera diluruskan, nantinya hal seperti ini akan berakibat fatal, bukan hanya terhadap individu, tetapi juga terhadap agama kita sendiri.

Pada al-Baqarah ayat 183, sebenarnya sudah tertulis dengan jelas, bahwa satu-satunya atribut yang paling wajar dilekatkan pada Ramadhan adalah takwa. “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.  Takwa sendiri dapat diartikan sebagai menaati perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Tentunya banyak cara yang dapat dilakukan oleh umat Muslim untuk menjalankan Takwa, terlebih di bulan Ramadhan. Dari pengertian tersebut, seharusnya kita telah menyadari bahwa konsep takwa sendiri, tidak melulu membicarakan seputar ritual. Dengan menahan marah, bersabar dan ikhlas pun masih dapat dimasukkan ke dalam kategori takwa. Dan mungkin memang hal-hal tersebut yang seharusnya kita lakukan daripada sekedar ngotot untuk solat Taraweh berjamaah di Masjid.

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengubah pemaknaan Ramadhan kalau kita masih berbicara pada tataran tanda. Namun kesulitan terjadi, kalau pemaknaan tersebut telah menjadi mitos di Masyarakat kita sendiri. Yang secara tidak sadar, kita percayai secara penuh, tanpa perlu memikirkannya ulang. Di sini penulis penasaran, apa sih sebenarnya keistimewaan Ramadhan? Karena di bulan Ramadhan kita dapat berlomba-lomba meningkatkan kadar ketakwaan kita, atau jangan-jangan karena di bulan Ramadhan kita dapat melaksanakan solat Taraweh berjamaah di Masjid? Atau jika saya lemparkan pertanyaan lain: sebenarnya, apa sih yang anda sembah selama ini? Tuhan atau Ritual?

Baca Juga Artikel lainnya “Sepetik Hikmah Ramadan dari Syair Abu Nawas dan Salawat Tarhim”

Oleh: Mahardika Mufthi

Penulis adalah pemimpin redaksi Majalah Manggala 2018/2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *