Setengah dasawarsa silam yang saya lewati di “Madrasah” membuat saya mengamini bahwa dalam pendidikan, teori dan praktek itu harus jalan beriringan. Sinkronisasi antar keduanya akan menciptakan insan yang paripurna. Dalam arti tidak tergolong dalam umat “dhâlîn” dan “maghdhûbi ‘alaihim”, yang berilmu tanpa beramal atau sebaliknya. Dewasa ini saya baru menyadari bahwa itulah yang disebut dengan muscle memory atau memori otot.
Mulanya, muscle memory ini istilah yang jamak digunakan dalam bidang olahraga. Seperti halnya seorang atlit bela diri, ahli kungfu misalnya, yang gerakannya sangat cepat, reaksinya tepat, pukulannya pun kuat. Hal ini terjadi setelah latihan dan pengulangan minimal 3000 kali dalam satu hari. Tujuannya guna meng-install memori gerak pada tubuh atlit tersebut sehingga menjadi respon otomatis ketika pukulan datang. Contoh lain, satu penelitian mengatakan bahwa pemain basket yang memiliki akurasi 85% telah melakukan lebih dari 500.000 lemparan bebas sepanjang karirnya.
Yang menarik adalah prinsip muscle memory ini juga berlaku dalam konsep takwa— standar bagi semulia-mulianya seorang hamba, yang dalam Islamic worldview berarti “nempel” sama Allah. Mengapa? Sebab faktanya, untuk meraih ketakwaan seorang mukmin tidak cukup sekadar memeroleh teori dan motivasi (brain memory) tentang takwa, “Apa itu takwa, bagaimana cara menjadi muslim yang bertakwa, dan apa imbalan bagi mereka yang bertakwa.” Toh, banyak di antara mereka yang sudah tahu teori itu semua, tapi sayangnya belum bertakwa.
Artinya, untuk mencapai takwa, dibutukan pula hal lain dalam pribadi seorang mukmin, yakni latihan dan pengulangan—yang menurut istilah agamanya istiqomah. Keduanya akan memproses pembiasaan dan pengkondisian, yang kemudian melahirkan muscle memory.
Berbeda dengan brain memory yang hanya mengandalkan kekuatan menerima teori dan rumus, lantas menghapalkannya dalam ingatan, muscle memory terbentuk karena adanya relevansi antarteori dan praktek di lapangan. Ia hahir dari latihan dan pengulangan.
Mudahnya, ketika seorang anak diajarkan bagaian dari takwa, yaitu sholat di surau atau TPA, ia tidak hanya diberi tahu rukun dan syarat sah shalat, tapi juga diajarkan praktek shalat secara langsung. Atau, ketika saya SMA mempelajari kalkulus, sang guru tidak hanya mengenalkan teorinya yang super ribet, tapi juga mengajak kami ke sungai terlebar di provinsi itu guna menghitung lebar sungai tanpa menggunakan meteran, cukup dengan teori kalkulus yang sudah kita terima. Dengan begitu, muscle memory dapat ter-install.
Sebab menurut sebuah peneliatian, 60% dari 11.000 sinyal yang dikirimkan ke otak manusia itu diproses secara tidak sadar. Hasil penelitian lain mengatakan setidaknya 95% dari respon manusia terhadap satu kondisi tertentu secara otomatis. Muscle memory lah yang memproses sinyal secara tanpa sadar, sekaligus sebab dari respon otomatis manusia.
Dari sini bisa kita ambil kesimpulan, tidak selamanya manusia bertindak sesuai rasio akal. Pasalnya, lebih banyak aktivitas manusia merupakan hasil dari pengulangan dan latihan yang ada. Pengulangan dan latihan itulah ibu dan bapak yang bertanggung jawab atas lahirnya muscle memory. Ia ibarat autopilot dalam diri manusia, yang adanya merupakan niscaya, baik itu dibiasakan secara disengaja ataupun tidak, sukarela maupun terpaksa.
Kemudian, setidaknya ada tiga pilar yang harus diwujudkan guna meng-install muscle memory, termasuk dalam takwa. Pertama, mulailah dari hal kecil. Kedua, temukan tempat yang tepat. Ketiga, terus lakukan secara konsisten. Dan luar biasanya Islam, dia tidak benar-benar melepas para pemeluknya dalam upaya menanam muscle memory takwa. Berkaitan dengan poin kedua, Islam memberi fasilitas berupa “madrasah”.
Seirama dengan ini, sudah jamak kita ketahui bahwa Ramadan adalah bulan ketakwaan. Momen diskon pahala besar-besaran, waktu yang paling tepat guna berlomba dalam banyak kebaikan dan amalan. Apalagi, di bulan mulia ini setan-setan dibelenggu dan dikekang. Ibaratnya, dia adalah “surga” bagi para pendamba surga-Nya. Dengan berbagai “fasilitas mewah”-nya selama satu bulan penuh, Ramadan menjadi madrasah sekaligus ajang karantina bagi mereka yang mendamba takwa.
Selain itu, harinya yang berjumlah 30 merupakan durasi yang tepat guna meng-install muscle memory. Meski pada faktanya, para ahli berbeda pendapat dalam waktu pembentukan kebiasaan muscle memory, ada yang mengatakan 10 hari, 21 hari, 30 hari, bahkan 40 hari.
Selanjutnya, bagaimana agar kita najah menciptakan muscle memory takwa di bulan Ramadan? Jawabannya, pertama, cukup lakukan apa saja yang bisa mendekatkanmu pada derajat takwa. Entah itu dengan memperbanyak amalan seperti taraweh, tajahud, tilawah Quran; atau dengan benar-benar menjalankan puasa yang tidak sekadar menunda lapar; atau dengan banyak belajar dan berzikir; dan lain sebagainya.
Sebagaimana ketika seorang ustadz ditanya, “Bagaimana saya rajin tahajud?”, dan menjawab, “Ya cukup lakukan tahajud saja.” Juga ketika saya menghadiri seminar Tere Liye dan dia ditanya bagaimana tips menjadi penulis hebat, lantas dijawabnya, “Ya cukup menulis saja.” Begitupula takwa, cukup lakukan amalannya, dan istiqomah. Dengan itu, muscle memory takwa akan terbentuk.
Kedua, lakukan amalan takwa itu sekarang juga. Jangan ditundah-tunda, apalagi kita masih berada di awal bulan yang penuh berkah. Saya jadi teringat sebuah penelitian yang cukup menarik, bahwa ketika terlontar tanya “Berapa kali rata-rata seseorang mencoba sesuatu sebelum dia menyerah?” Jawabannya “Kurang dari sekali”. Mengapa? First is hardest.
Terakhir, kabar buruknya, bila diri kita tidak meng-install muscle memory positif (dalam hal ini takwa), maka otomatis muscle memory negatif akan ter-install, disadari maupun tidak. Entah itu gemar rebahan, bermain game, atau bergosip, ataupun lainnya. Hal ini senada dengan adagium, If you choose not to plant flower on your garden, then weeds will grow without encouragement or support. Jika kau tidak menyibukan diri dengan hal baik, maka kau akan disibukan oleh hal buruk.
Bagaimana bila kita terlanjur menyerah untuk berubah, seakan muscle memory buruk kekal dalam darah? Justru itulah kabar baiknya, kebiasaan (dalam hal ini muscle memory) memang sangat sulit diubah. Maka jika di bulan Ramadan ini kita berhasil mengubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik (takwa), maka ketakwaan itu pun insyaAllah sangat sulit diubah. Jika pada akhirnya sama-sama terbiasa, bukankah kita lebih baik terbiasa dalam ketakwaan?
Baca Juga Artikel lainnya “Sepetik Hikmah Ramadan dari Syair Abu Nawas dan Salawat Tarhim”
Oleh: Salma Azizah Dzakiyyunnisa
Penulis adalah pimpinan umum Majalah Manggala 2019/2020