Ketika sedang asik menjelajahi twitter, ada satu link, yang menuju ke sebuah tulisan, yang memancing saya untuk membacanya. Twit itu berasal dari Hasan Aspahani. Saya mengenal Hasan Aspahani dari esai-esainya yang ia tulis di website matapuisi.com. Yang kemudian berlanjut kepada bukunya yang berjudul Pena sudah diangkat, kertas sudah mengering. Tetapi tulisan saya kali ini tidak akan berfokus pada puisi-puisi karya dia, tetapi saya ingin membahas tentang cara menjadi Sapardian seperti yang ia tulis pada akun miliknya di storial.co.
Hasan Aspahani Mengenai Sapardi
Kalau anda malas membaca tulisannya yang ada di sana, mungkin saya dapat merangkumnya untuk anda: Poin pertama Hasan Aspahani menuliskan perihal kontribusi sajak Sapardi dan sosok Sapardi sendiri bagi dunia kesusasteraan Indonesia. Poin kedua Hasan Aspahani menuliskan perihal bentuk pada sajak Sapardi yang berjudul Aku Ingin; yang kemudian menurutnya, bahwa sajak aku ingin adalah sajak yang terdiri dari dua bait, dengan tiga larik perbaitnya, yang semuanya mengandung dwiterzet (terzina ganda). Poin ketiga Hasan Aspahani menuliskan perihal isi pada sajak Sapardi, yang menurutnya untuk menjadi Sapardian, haruslah sebuah sajak liris. Poin keempat, masih dalam permainan isi, Hasan Aspahani menerangkan mengenai diksi-diksi alam yang digunakan oleh Sapardi di puisinya yang berjudul Aku Ingin. Dan keempat poin itu, jika seseorang dapat menerapkannya sesuai dengan Sapardi (dari sudut pandang Hasan Aspahani), maka seseorang itu sudah dapat dikatakan sebagai Sapardian. Dan pada tulisan saya kali ini, saya hanya akan sedikit membahas permasalahan isi. Oke.
Perjalanan tulisan ini akan saya mulai dari Madzhab Imajisme yang tenar di awal abad ke-20. Biar perjalanan ini tidak memakan waktu yang terlalu banyak, mungkin saya akan mengajak anda ngebut. Intinya, Madzhab Imajisme memiliki tiga prinsip utama: tidak bertele-tele, kepadatan kata, yang ketiga adalah penyesuaian ritme pada metronom. Dua prinsip utama Madzhab ini, nantinya akan berkaitan erat dengan isi pada sebuah puisi, dan yang ketiga akan berkaitan erat dengan bentuk. Oke.
Baca Juga Artikel Lainnya “Sastra Islam : Perbandingan Psikologis-Bagian 1”
Lagi-lagi sebelum melangkah menuju Sapardi,ada satu hal yang perlu saya bicarakan di sini, mengenai dua prinsip awal Madzhab Imajisme. Sejauh apapun Madzhab ini berkembang, Imaji adalah titik sentralnya. Penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan. Saya akan munculkan satu pertanyaan terlebih dahulu: Mengapa Ezra Pound dan kawan-kawannya (yang tergabung di Madzhab Imajisme) sangat tertarik dengan Imaji dalam sebuah puisi? Jawaban yang dapat saya berikan adalah, karena mereka ingin mengembangkan Imaji-imaji yang sudah ada di Romantis dan Simbolis, ke ranah yang lebih jauh lagi. Jika di Romantis dan Simbolis imaji disebutkan lalu dijelaskan (dengan kata sifat misalnya), di Madzhab Imajisme, Imaji dibiarkan berdiri sendiri, menjadi objek yang abstrak, agar kekuatan dari sebuah objek dapat dikeluarkan seutuhnya. Mengapa objek abstrak dapat lebih kuat dari objek yang lebih riil?
Untuk menjawab ini, saya akan membawa anda ke konsep atau metode yang pernah dituliskan Ezra Pound di bukunya ABC Reading; Metode Ideogram. Di buku itu, Ezra Pound menemukan suatu hal menarik ketika sedang mempelajari bahasa China; bahwa banyak kata-kata dalam aksara China, yang sebenarnya terdiri dari beberapa kata. Contohnya adalah kata Timur (東) yang pada dasarnya tersusun dari kata pohon (木) dan matahari (日). Di sini kita bisa melihat, bahwa kata Timur sebenarnya bukan hanya mengandung makna Timur, namun juga: timur, matahari dan pohon. Dan dari sana, Ezra Pound menerapkan penemuannya itu dan menyelaraskannya pada huruf-huruf alfabetik. Mudahnya yang dimaskud Ezra Pound, ketika saya menuliskan kata Merah, di sana sebenarnya Merah dapat diartikan ke pelbagai makna: Darah, apel, burung flamingo atau mawar. Dari metode ini lah, Madzhab Imajisme dengan objek-objek abstraknya berkembang. Di titik ini, kita sudah harus menyadari kekuatan dari diksi imaji itu sendiri. Oke.
Alam dan Puisi Sapardi
Apakah menjadi Sapardian juga harus menuliskan sesuatu tentang alam seperti yang dikatakan Hasan Aspahani? Kalau kita melihatnya dari permukaan, tentu saja, iya. Puisi-puisi Sapardi memang terlihat seperti bermain pada diksi-diksi alam, seperti pada puisi yang Hasan Aspahani bahas Aku Ingin. Kayu, api, abu, awan, hujan. Sejujurnya, saya tidak tahu dengan pasti alasan Sapardi menuliskan alam pada puisinya. Jawaban terakhir yang dapat saya lemparkan adalah: ya terserah Sapardi. Tetapi titik penting dari alam Sapardi bukan berasal dari alam itu sendiri, tetapi dari ke-abstrak-an alam yang ia maksud.
Ketika membaca puisi, khususnya puisi Imaji, saya senang memberikan tangga bacaan. Pembacaan pertama, imaji-imaji saya posisikan sebagai latar belaka. Kedua, imaji-imaji mulai saya pekerjakan sebagai metafora dan sejenisnya. Ketiga, imaji-imaji tersebut saya posisikan sebagai bekas (trace) dari sesuatu yang lain. Dan dari tangga pembacaan ini, saya pribadi baru dapat merasakan keutuhan sebuah puisi imaji. Oke.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
Kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
Kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Mau-tidak-mau, kita harus berhenti sejenak di puisi Sapardi yang ini. Di bait pertama, kita bisa langsung fokus ke diksi kata, diucapkan, kayu, api, abu. Kita langsung ngebut saja. Untuk dapat memahami ini, kita harus mengembalikannya lagi ke metode yang ditenarkan oleh Ezra Pound tadi. Kayu dapat berarti banyak hal: kursi, meja, lemari dan lain-lain. Saya melihat, di puisi ini, kayu yang Sapardi maksud adalah kursi: di mana si Aku sedang duduk. Sambil Merokok. Kepada api yang menjadikannya abu.
Maka sederhananya, bait ini adalah kondisi di mana si Aku sedang melamun di atas kursi sembari memegang rokok di tangannya. Titik yang ingin saya tekankan adalah, bahwa syarat menjadi Sapardian bukanlah dengan meletakkan diksi alam, seperti yang dikatakan Hasan Aspahani, tetapi degan cara meletakkan objek abstrak. Di tangga pembacaan kedua, barulah kita dapat mempekerjakan diksi sebagai metafora. Di sini saya sepakat saja dengan yang ditulis Hasan Aspahani bahwa sajak ini mau bilang: cintaku itu sederhana seperti ikhlasnya kayu yang mencintai api yang menjadikannya abu. Terserah, dan saya tidak dapat mengomentari apa-apa di sini. Oke. Perjalanan kita hentikan sejenak.
Baca Juga Artikel Lainnya “Sejak dulu Wanita Dijajah di Sastra, Wanita Tidak Dijajah di Sastra sejak dulu”
Oleh: Mahardika Mufti
Penulis adalah redaktur ahli Majalah Manggala 2019/2020