Sastra Islam : Perbandingan Psikologis-Bagian 1

Oleh : Azrul Faisal Kazein*

Dalam Bahasa Sansekerta “su” berarti bagus atau indah, sementara kata “sastra” bermakna buku, tulisan atau juga huruf. Secara etimologi dari kedua kata tersebut bisa disimpulkan bahwa susastra maupun sastra adalah suatu tulisan yang dianggap bagus ataupun indah. Di era modern istilah sastra mengalami perkembangan. Tidak hanya fokus di media tulisan, sastra era kekinian juga meliputi sastra lisan.  

Sastra juga dimaknai sebagai manifestasi imajinasi seseorang dari suatu ruang kebudayaan ke dalam sebuah karya agar mudah untuk diterima dan dicerna. Pada tahun 2007 Helvy Tiana Rosa mengatakan “Pada dasarnya agama maupun sastra  bermuara pada rasa atau jiwa. Agama, misalnya, meskipun membahas pusparagam hukum-hukum formal juga mengetengahkan kajian-kajian kritis tentang jiwa. Sebagaimana sastra bisa dikatakan sebagai gelora batin penulisnya. Jiwa para sastrawan terpacu untuk memberikan alternasi.

Sastra dan Kenyataan : Aristoteles Menyanggah Plato

Sastra-atau dalam hal ini secara umum disebut seni- sudah dikenal sejak masa Yunani sebelum masehi. Filsuf fenomenal, Plato sudah sering mengemukakan teori-teori sastra kuno, terutama seputar fungsi puisi dan peranannya terhadap kenyataan.

Teori-teori Plato dibangun diatas dasar pendirian filsafatnya terhadap kenyataan yang bersifat hirarki. Kita mengenalnya dengan mimesis (peneladanan, pembayangan atau peniruan). Misalnya : pikiran dan nalar manusia meniru penggambarannya terhadap kenyataan. Jadi seni bagi plato adalah manisfestasi perasaan dan sudut pandangnnya terhadap kenyataan.

Bagi Plato tidak ada pertentangan antara idealisme dan realisme dalam seni.maka dari itu menurutnya seni harus truthfull, benar dan seniman harus memiliki sifat-sifat modest, rendah hati dan sadar bahwa dengan seni ia hanya mampu menggambarkan atau mendekati kenyataan yang ideal dari jauh. Menurut Plato seni menimbulkan nafsu sedangkan manusia yang berasio harus meredakan nafsunya.

Anggapan itu ditentang oleh sang murid sekaligus lawan filsafatnya, Aristoteles. Aristoteles dalam banyak kasus memiliki pandangan yang berbeda dengan gurunya, sedikit banyak dipengaruhi prinsip filsafat yang juga berbeda terutama mengenai filsafat ide. Aristoteles berpandangan bahwa seni mensucikan jiwa manusia lewat proses khatarsis,penyucian. Bagi Aristoteles karya seni memiliki dampak melalui pemuasan estetik . dengan itu keadaan jiwa dan budi penikmat atau pelakon seni justru meningkat, merekapun cenderung lebih berbudi.

Dalam memposisikan seni terhadap kenyataan, Aristoteles beranggapan bahwa penyair tidak meniru kenyataan, tidak mementaskan manusia yang nyata atau peristiwa sebagaimana adanya. Seniman mencipta dunia dan kenyataannya sendiri. Apa yang terjadi dalam ciptaannya selalu masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu dan sekaligus mencerahi segi dunia nyata tertentu. Karya seni menurutnya menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan tentang aspek atau situasi manusia yang tak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan jalan lain.

Sastra dan Psikologi : Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud

Bagi aktivis psikoanalisis, istilah kepribadian lebih tertuju pada alam bawah sadar (unconscious) yang membuat struktur berpikir didominasi oleh emosi. Untuk memahami kepribadian seseorang, perlu diperhatikan gelagat simbolis dan perasaan terdalam orang tersebut.

Kepribadian juga merupakan persoalan jiwa pengarang yang paling asasi. Pribadi pengarang akan sangat mempengaruhi ruh karyanya. Kepribadian seseorang ada yang berifat normal ada pula yang abnormal. Salah satu yang mempengaruhi kepribadian seorang pengarang- yang sangat diyakini Freud- adalah pengalaman masa kecil dimana masa anak-anak adalah masa awal tumbuhnya keinginan, pengalaman dan hasrat terpendam.

Dua teori Sigmund Freud yang ditulis di dua buku berbeda (Interpretation of Dream dan Pengantar Umum Psikoanalisis) menjadi acuan dalam meneliti sastra secara psikologis. Dua teori tersebut adalah : Teori alam bawah sadar dan teori interpretasi mimpi.

Tak sadar adalah apa yang tidak terjangkau alam kesadaran (Milner, 1992 : 78). Dalam tragedi Hamlet karya William Shakesphere contohnya, Hamlet merasa bersalah karena mendambakan wanita yang sama dengan dambaan pamannya, yaitu ibunya sendiri. Tindakannya membunuh Ophelia sebenarnya ditujukan kepada ayahnya. Kita memahami hasrat tersembunyi Hamlet yang berada di alam bawah sadarnya adalah membunuh ayahnya, yang juga manifestasi keinginannya membunuh sang paman. Itu yang dinamakan gejala hysteria.

Menurut Freud hasrat tak sadar selalu aktif, dan bisa muncul kapan saja. Dan karenanya Psikologi sastra amat penting, karena meski karya sastra adalah produk dari suatu keadaan jiwa dan pemikiran dan berada dalam situasi setengah sadar namun juga sangat ditentukan oleh proses kreatif alam sadar

Freud juga menghubungkan karya sastra dengan mimpi. Sastra dan mimpi dianggap memenuhi hasrat dan kepuasaan secara tak langsung. Karya seni seperti juga mimpi bukanlah terjemahan langsung sebuah realita. Oleh karenanya pemahaman terhadap eksistensinya harus melalui interpretasi. Perbedaan keduanya adalah bahwa mimpi merupakan akumulasi symbol dan tanda-tanda figuratif yang tumpang tindih, sementara sastra adalah deretan bahasa yang bersifat linier

Mimpi mempunyai peranan khusus dalam studi psikologi sastra. Inti pengamatan Freud adalah bahwa sastra lahir dari mimpi dan fantasi. Freud juga percaya bahwa mimpi dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Menurutnya mimpi merupakan representasi dari konflik dan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu Bagaimana dengan Sastra Islam?

Bersambung: Sastra Islam : Perbandingan Psikologis-Bagian 2

*Penulis adalah pemimpin redaksi Majalah Manggala 2017-2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *