Sejak dulu Wanita Dijajah di Sastra, Wanita Tidak Dijajah di Sastra sejak dulu

Oleh: Mahardika

Di suatu selasa yang dingin, di tengah-tengah puncak kemalasan, saya memutuskan untuk pulang ke Bu’uts untuk sekedar mengambil bon makan. Di bis 24 jim yang ramai itu, saya berbincang dengan senior saya mengenai sastra. Topik obrolan kami menyebar kemana-mana (meskipun masih pada satu lanskap yang sama), dimulai dari pembicaraan mengenai Monty tiwa dan film keramatnya dilanjutkan dengan pengaruh film Bourne bagi film-film action zaman sekarang dan berujung pada pembicaraan mengenai Feminisme dalam sebuah karya sastra.

Membicarakan sebuah karya sastra dan kaitannya terhadap feminisme, mungkin dapat menyadarkan kita bahwa tokoh wanita seringkali hanya diletakkan sebagai objek. Para penulis yang mayoritas seorang pria terkadang terlihat semena-mena dalam pengobjekannya terhadap wanita. Serupa dengan apa yang saya katakan, beberapa tahun silam, Kolodny mengatakan bahwa biasanya mereka yang menekuni bidang sastra pasti menyadari bahwa pada umumnya karya sastra adalah hasil tulisan dari laki-laki. Dan biasanya pula, para penulis laki-laki menampilkan streotip wanita sebagai istri yang setia atau ibu yang baik, tapi terkadang kita juga dapat menemukan seorang wanita digambarkan sebagai sosok yang buruk seperti seorang pelacur.

Pada kasus seperti ini, kita menemukan bahwa wanita hanya dijadikan objek erotis untuk memenuhi hasrat seksual si penulis belaka. Dan satu hal yang makin memperkeruhnya, karya-karya sastra yang menampilkan pengobjekkan terhadap wanita, adalah karya sastra yang terkenal. Karena tentunya kita juga sudah dapat menyadari, bahwa karya sastra yang diciptakan dari tangan seorang laki-laki lebih banyak yang terkenal dari pada sebuah karya sastra yang diciptakan dari tangan seorang wanita. Dan dari sini pula kita juga seharusnya sudah sadar, bahwa ketidakadilan yang mengatasnamakan gender bukan hanya terjadi pada ranah sosial saja, tapi pada ranah-ranah lain, salah satunya sastra.

Mengetahui ketidakadilan yang terjadi pada wanita di dunia sastra, saya semakin penasaran untuk mengulik lebih jauh mengenai peranan wanita dalam dunia sastra itu sendiri dan bagaimana upaya mereka dalam mengatasi ketidakadilan yang menimpa mereka. Karena pada awalnya, sebagai orang yang masih awam, saya mengira hal-hal seperti itu bukanlah termasuk hal yang penting. Tapi lambat laun saya mengerti, bahwa penggambaran semena-mena yang dilakukan terhadap tokoh wanita adalah hal yang salah dan bahkan sudah dapat dik ategorikan kebiadaban dan ketidakadilan. Tapi barangkali pada tulisan saya kali ini, saya harus menentukan satu pertanyaan yang akan saya jawab, karena kita tahu, ruang yang dimiliki sebuah buletin tidak seluas ruang yang disediakan di internet. Dan saya akan mencoba menjawab pertanyaan mengenai upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan ini.

Sebagai pengantar, saya akan memberikan sedikit definisi mengenai karya sastra. Jakop Sumardjo dalam bukunya yang berjudul “Apresiasi Sastra” mengatakan bahwa karya sastra adalah sebuah usaha dalam merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa. Sastra adalah rekaman dengan bahasa yang disampaikan kepada orang lain. Karya sastra tersebut bisa berupa sebuah prosa (Novel atau cerpen) ataupun puisi. Jadi karya sastra bukan hanya sekedar kata-kata yang disusun si penulis dan nirmakna. Karena karya sasta adalah usaha si penulis dalam merekam isi jiwanya. Dibutuhkan pengkajian ulang dan penafsiran-penafsiran untuk menghetahui maksud dari karya tersebut. Untuk mengkaji dan menafsir sebuah karya, ada sebuah ilmu lain yang bercabang dari ilmu sastra, yaitu ilmu kritik sastra. Kritik sastra memungkinkan suatu karya dapat dianalisis, diklarifikasi dan akhirnya dinilai.

Dan sebagai pengkritik karya sastra, dalam mengkaji sebuah karya sastra, kita tidak bisa menyangkal bahwa kita belum bisa melepaskan diri dari cara pandang yang bersifat parsial.  Maka saat mengkaji karya sastra seringkali fokus setiap pembaca akan selalu berbeda. Seorang psikolog dalam membaca karya sastra mungkin akan memerhatikan hal-hal yang menyentuh aspek psikologi saja. Begitupun kita, entah dengan latar belakang apa, dalam membaca karya sastra mungkin kita hanya akan memerhatikan hal-hal yang menyentuh aspek yang kita ketahui. Karena kecendungan yang berbeda dari setiap pembaca, maka muncul berbagai macam pendekatan kajian sastra. Dan salah satunya (sembari menjawab pertanyaan saya di atas mengenai upaya yang dilakukan untuk permasalah gender tersebut) adalah pendekatan feminism atau yang sering disebut sebagai kritik sastra feminism.

Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Menurut Djajanegara, kritik sastra feminisme berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan.

Kritik sastra feminisme merupakan aliran baru dalam sosiologi sastra. Lahirnya bersamaan dengan kesadaran perempuan akan haknya. Kritik sastra feminis bertolak dari permasalahan pokok, yaitu anggapan perbedaan seksual dalam interpretasi dan perebutan makna karya sastra. Kritik feminis bukan merupakan kecaman terhadap salah satu kritik sastra, melainkan pandangan yang lebih menunjuk pada aneka ragam cara dalam perbincangan konsep perbedaan social.

Kritik sastra feminis diibaratkan dengan quilt, dengan dasar pemikiran bahwa kritik sastra feminis adalah alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca sebagai perempuan, mengarang sebagai perempuan, dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan. Kritik sastra feminis ini memberikan tempat yang layak bagi para perempuan di dunia kesusastraan.

Dalam meneliti citra wanita dalam karya sastra penulis wanita, perhatian biasanya dipusatkan pada cara-cara atau proses yang mengungkapkan tekanan-tekanan yang diderita si tokoh wanita. Oleh karena telah menyerap nilai-nilai patriarkal, mungkin saja seorang penulis wanita menciptakan tokoh-tokoh wanita dengan stereotip yang memenuhi persyaratan masyarakat patiarkal. Sebaliknya, kajian tentang wanita dalam tulisan laki-laki dapat saja menunjukkan tokoh-tokoh wanita yang kuat dan mungkin sekali justru mendukung nilai-nilai feminism.

Berdasarkan teks di atas, dapat disimpulkan bahwa apa yang dikehendaki pengkritik sastra feminis adalah hak yang sama untuk mengungkapkan makna-makna baru yang mungkin berbeda dari teks-teks lama. Karena dengan mengungkangkan makna lain dari teks-teks lama yang seringkali berpihak kepada lelaki dan mengubahnya dengan sudut pandang wanita, akan menghasilkan keadilan bagi kedua gender agar tidak akan ada lagi kebiadaban dalam pengobjekan yang terjadi pada dunia sastra selama ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *