Menjadi murid daring dari Dr. Nur Rofiah di WAG Ngaji Keadilan Gender Islam tidak menjadikan saya bulat menggelorakan feminisme, terlebih hidup di lingkungan yang menganggap konsensus semacam itu tabu dan tidak ada yang mesti dipermasalahkan. Untuk sampai menjadi sebuah paham yang telah berhasil mencetuskan International Woman Day, menjadi garda terdepan pendukung sahnya RUU-PKS, dan gerakan lain dibutuhkan motivasi yang sangat kuat meskipun kemudian hari tujuannya bisa berbeda-beda yang mewujud sekte-sekte feminis tertentu (liberal, radikal, dll). Sikap ini merupakan hasil refleksi bagaimana mencuatnya gerakan perlawanan perempuan Barat yang menjarah kultur patriarki. Lalu apakah itu sejalan dengan sebagaimana muslimah sejati harus bersikap?
Perempuan Indonesia yang agak lebih legawa dari Barat akhirnya melahirkan sosok Kartini dengan gerakan yang lebih lembut khas perempuan, yang kita kenal dengan emansipasi. Meskipun kemudian penghargaan atas surat-surat yang terhimpun dari “Habis Gelap Terbitlah Terang” berupa perayaan tahunan tanggal 21 April masih banyak diperdebatkan oleh para pengagum gerilya Rohana Kudus, Cut Nyak Dien , atau bahkan Rahmah El-Yunusiyah.
Sebuah Seminar Feminisme Muslim dari Dr. Alimah Qibtiyah yang pernah saya ikuti juga membuat lebih berbaik sangka terhadap konsep feminisme, karena dinarasikan lebih islami. Bahwa ternyata Islam sendiri tidak pernah memosisikan perempuan sebagai objek berkonotasi negatif. Penjelasan selanjutnya dari Dr. Alimah tak ubahnya sikap memaknai Al-Quran secara kultural-historis bukan hanya tekstual-konteks, sebagaimana dalam makalah Dr. Nur Rofi’ah perihal “Universalitas Islam dan Lokalitas Al-Quran”.
Neng Dara Afifah dalam bukunya Muslimah Feminis: Penjelajah Lintas Etnis, menolak konsep “Kompetisi” agar dapat menyandingkan Islam dengan feminisme. Ujarnya, kompetisi hanya dapat dilakukan saat dua lawan berada pada start yang sama, sedangkan mengukur laki-laki dan perempuan dalam keadaan setara dan dapat melakukan kompetisi malah tercapai kebalikan dari tujuan gaung feminis yang menggugat keadilan.
Pemikiran Neng Dara tak ubahnya sikap yang saya ambil, sebagai perempuan yang mengalami lingkungan agamis kemudian mempelajari narasi-narasi heroik ala perempuan yang berangkat dari kesengsaraan dan kengerian akibat ulah hegemoni laki-laki. Jika mencermati novel kontroversial dari seorang feminis asal Mesir Nawal El-Sadawi yang berjudul “Perempuan di Titik Nol”, semangat feminisme berangkat dari kepedihan yang teramat dari pengalaman hidup seorang perempuan. Demikian lah, jika Neng Dara dan saya yang tidak mengalami penderitaan itu secara langsung dan tidak mendalam dalam pengkajian. Namun, justru sikap ini dapat menjadi opsi dari pada kemunculan gelombang kontra feminisme di tubuh para muslimah, seperti yang kentara di sebuah komunitas Muslimah Media Center.
Dalam channel Youtube MMC ada sebuah video yang berisi pembuktian peningkatan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sejak lahirnya paham feminisme. Dalam narasinya ditegaskan, bahwa gerakan perempuan selama ini sia-sia, tidak berdampak signifikan terhadap kebaikan perempuan itu sendiri. Sayangnya, hal ini tidak bisa kita telan mentah-mentah, sebab ada hal-hal lain yang menyebabkan kita tidak bisa menggeneralisir gagalnya sebuah pergerakan perempuan.
Gerakan kontra feminisme ini dapat mewujud beragam ekspresi, dari hanya sekadar menolak hingga menarik jarak dengan memunculkan istilah Mujahidah, yang mana secara leksikal dapat diartikan seorang pejuang. Adapun secara istilah dapat mewakili karakter perempuan tangguh, kuat, berprinsip tanpa harus melibatkan atau menggaungkan feminisme.
Hal ini sangat disayangkan, karena semakin memperumit permasalahan. Feminisme sebagaimana yang diucapkan seorang influencer Gita Sav dapat diartikan secara sederhana dengan sebuah gerakan membangun kekuatan di antara perempuan (woman power) dan menjadikan patriarki sebagai musuh, semata-mata penguatan internal gender tersebut.
Woman Power juga berhasil digaungkan oleh Najwa Syihab. Selama ini, perempuan dengan prefensi indeks kognitif lebih tinggi rasa dibanding rasio, seringkali sulit membangun sinergi di antara sesamanya. Hal ini tentu akan mengakibatkan terjadinya hambatan dalam mewujudkan kebaikan bersama yang lebih dari pengakuan entitas dan gengsi, seperti pendidikan, kebebasan berkreatifitas, dan hal lainnya. Tanpa ditafsirkan dengan cara aktivis feminis menafsirkannya, ayat-ayat Al-Quran telah adil dalam memberikan bagian itu terhadap perempuan.
Terlebih hari ini dunia bahkan Indonesia tengah begitu sensitif dengan hal-hal yang pro Islam. Seperti kata jihad yang bisa bermakna luas tapi distigma sebagai ancaman dan intoleransi. Selain menangkal paradigma tersebut, upaya yang dapat kita lakukan adalah bagaimana mencari jalan tengah dari segala perdebatan dan menghentikan perseteruan dengan tidak mesti menggunakan nama baru. Sebagaimana konsep moderasi dalam Islam, kemoderatan adalah posisi di mana kita dapat melihat yang di puncak dan yang di lembah secara jernih, berdiri sendiri sebagai sebuah cara pandang dan bukan gerakan baru.
Jika feminisme sendiri sebagaimana dikatakan Dr. Alimah dapat mewujud tersedianya kebutuhan-kebutuhan perempuan dengan mudah di berbagai swalayan atau toko kecil (misalnya pembalut), maka sejatinya impact–nya untuk kebaikan dan kenyamanan perempuan (yang sebenarnya tidak sedang berkompetensi atau mencederai entitas laki-laki), maka tidak seharusnya kita kontra dengan keseluruhan konsep feminisme. Terlebih kualifikasi Dr. Alimah sebagai Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Aisyiyah cukup menjadi jaminan bahwa Islam tidak benar-benar anti dengan feminisme.
Ketangguhan, mandiri, kuat dan banyak karakter positif yang lahir dari ideologi feminisme dan yang juga menjadi semangat para pengampu nama Mujahidah, sebenarnya adalah muslimah itu sendiri. Seorang perempuan yang terikat dengan karakter muslim, dengan komitmen pembawa ajarannya sebagai ‘penyempurna akhlak umat’ sudah lebih dari cukup untuk menyadari keadilan yang diberikan Islam kepada mereka, hanya saja untuk mencapai keinsafan itu banyak jalan, termasuk di dalamnya feminisme.
Hari ini sebagai muslimah sejati yang memiliki niat jihad dalam hatinya dapat menjadi pribadi yang tangguh, kuat, dan berprinsip yang peduli terhadap isu-isu perempuan semata-mata mengekalkan keadilan dan sinergi positif sesama perempuan untuk membangun peradaban yang gemilang, agar adagium “Perempuan Tiang Negara” bukan sekadar bualan.
Wallahu a’lam bishawab.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Pendidikan Islam, Cetak Wanita Berkarir Surga”
Oleh : Resa Amelia Utami
Penulis adalah Editor Manggala 2020/2021