Oleh : Azrul Faisal Kazein*
Lalu Bagaimana dengan Sastra Islam?
Sastra yang lahir di tanah Arab tidak serta merta disebut sastra Islam. Karena tidak semua karya berbahasa Arab ditujukan untuk mengajak kepada perenungan dan aplikasi ajaran Islam. Sedangkan Sastra Islam sudah seharusnya memuat ajaran-ajaran Islam baik dalam bentuk prosa maupun bait-bait puisi.
Dalam perkembangannya pengkategorian tersebut cenderung kurang menguntungan untuk dunia sastra sendiri, baik sastra Islam maupun sastra Arab. Hal ini didasarkan pada satu pemikiran bahwa banyak karya sastra Arab yang menggambarkan keragaman perilaku dalam kehidupan masyarakat muslim, khususnya di negara-negara Arab. Meski ditulis dengan gaya Bahasa yang baik dan indah, namun tidak dikategorikan sebagai sastra Islam karena memuat konflik dan bertema kejahatan, adapula yang memasukan unsur sexualitas.
Sastra Islam yang dihadapkan pada kenyataan di era modern cukup menghadirkan pertanyaan : bila memang memiliki prinsip khusus, lalu bagaimana mengaktualisasikannya?
Pada prinsipnya aktualisasi sastra dalam sastra Islam berbeda dengan mazhab sastra Barat. Dalam sastra Islam diyakini bahwa manusian memiliki potensi yang besar untuk mengisi kehidupan yang panjang, memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam segala kondisi dan situasi lintas sejarah, memiliki tujuan yang signifikan, jelas dan mendalam. Sementara dalam mazhab sastra Barat kehidupan sastra lebih kepada kebebasan berekspresi, dan hak individu untuk bersuara, mengesampingkan aspek spiritual sebagai seorang hamba.
Aktual dalam sastra Islam juga diartikan sebagai pandangan yang lebih umum dan bersifat manusiawi baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun politik.
Dalam pembahasannya mengenai realita sastra terhadapa kenyataan, sastra Islam cenderung muncul sebagai sintesis. Meski bergumul pada dunia yang diciptakan sang pengarang namun sastra Islam juga mengedepankan ilmu tasawuf yang berfungsi mensucikan jiwa dan mengetengahkan tujuan ilahiyyah, mengajak kepada misi Islam yang universal dan moderat
Islam menjunjung tinggu estetika, namun tetap berpegang pada etika. Dalam mengaplikasikan Teori psikoanalisis Sigmund Freud, seorang yang sedari kecil mempelajari agama Islam, baik teoritis mupun praktis dan mendapatkan contoh yang ideal dari lingkungan muslimnya jika suatu waktu dia menghasilkan karya, secara tak sadar karya itu akan menjadi refleksi ajaran islam yang dipahaminya. Sigmund Frud selalu menekankan fungsi pengalaman masa kecil sebagai asas dasar dari ide cerita setiap sastrawan, meski di era postmodern semakin banyak peneliti yang menyanggahnya.
*Penulis adalah pemimpin redaksi Majalah Manggala 2017-2018