Perkembangan Ilmu al-Quran akan terus berkembang mengikuti setiap lini zaman. Para ulama dan sarjanawan Islam terus berusaha mencari rahasia-rahasia yang dikandung dalam al-Quran. Maka bukan suatu hal yang baru jika terdapat perbedaan pandangan dalam perkembangannya. Perbedaan pandangan tersebut dapat dijumpai tatkala menyelami pembahasan para ulama terkait ilmu nasakh dalam al-Quran.
Dalam sejarah perkembangannya, kemunculan ilmu nasakh sebagai teori masih menyisakan rentetan dialektika. Terdapat perbedaan dalam memahami konsep nasakh dalam al-Quran antara generasi awal dengan generasi setelahnya (Maarif, 2024). Perbedaan paham ini menyulut para ulama untuk kembali membahas dan meneliti kembali keabsahan konsep nasakh secara fundamental yang telah ditetapkan oleh generasi sebelumnya. Hal ini dikarenakan pergeseran kecenderungan pendekatan pembacaan al-Quran di era kontemporer yang bermula pada teks menjadi konteks (Fikri, 2021).
Pemahaman akan Ilmu nasakh sangat memengaruhi penafsiran ayat al-Quran, mengingat ilmu ini merupakan salah satu ilmu sentral dalam tradisi penafsiran al-Quran. Oleh karena itu, para ulama menaruh perhatian sangat besar kepada ilmu ini hingga menjadikannya sebagai salah satu pra-syarat yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Pernyataan tersebut dapat dijumpai diberbagai literatur ilmu al-Quran klasik maupun kontemporer (Suyuti, 2008). Menimbang diskursus ini sangat menarik, dalam esai yang sederhana ini penulis ingin menganalisis corak penafsiran nasakh perspektif ulama kontemporer.
Sejarah Perkembangan Term Nasakh
Istilah nasakh sudah dikenal sejak masa para sahabat dengan adanya riwayat-riwayat yang menunjukkan pengajaran nabi Saw terkait nasakh dalam beberapa peristiwa. Namun, pengertian nasakh mengalami pergeseran makna seiring berjalannya waktu. Nasakh pada masa sahabat memiliki makna yang lebih luas dan longgar dibanding dengan makna yang dipahami oleh generasi setelahnya. Nasakh pada masa ini dipahami sebagai penjelas mencangkup takhsis al-am, bayan al-mujmal, atau taqyid al-mutlaq baik yang (al-istisnai’ dan taqyid), dikatakan nasakh karena memiliki kesamaan dalam penghapusan hukum terdahulu (Az-Zuhri, p. 24). Pergeseran makna nasakh kepada maknanya yang lebih sempit terjadi ketika nasakh menjadi sebuah teori yang dibangun di atas ilmu tertentu, di mana nasakh menjadi salah satu teori bagi ilmu al-Quran dan usul fikih (al-Alwani, 2006).
Cikal bakal pergeseran makna nasakh dimulai pada abad 3 H di tangan Imam al-Syafi’ (204 h). Ia digadang-gadang sebagai pelopor yang membakukan nasakh menjadi teori yang lebih definitif dan terstruktur. Ia juga menetapkan kaidah nasikh mansukh dalam al-Quran tatkala terjadi pertentangan makna pada ayat-ayat (al-Jabary, 1986). Pada era ini nasikh mansukh bukan lagi sekedar istilah (musthalah) melainkan menjadi sebuah teori. Paham teori nasakh mendapatkan perhatian cukup besar dalam diskursus ilmu al-Quran dan ilmu ushul fikih yang terus mengalami perkembangan dalam wacananya. Atas hal ini, ilmu nasakh mendapatkan kesepakatan para ulama atas kebolehannya. Dapat disimpulkan teori nasakh pada periode ini dipahami sebagai penghapusan hukum syara’ oleh dalil lain yang datang belakangan (Suyuti,2008).
Meskipun demikian, pemahaman ini tidak mendapatkan panggung kesepakatan yang cukup lama. Para ulama sepakat akan keberadaan nasakh dalam syariat Islam namun tidak sepakat akan keberadaan nasakh dalam al-Quran dengan makna yang dimaksud oleh para ulama klasik (mutaakhir) dan para fuqaha serta mufassir yang hidup setelah masa khalifa Rasyid dan Bani Umayyah (al-Jabary, 1986). Di Antara ulama kontemporer (modern) yang menolak nasakh dalam al-Quran di antaranya; Syeikh Abduh, Syekh Muhammad al-Ghazali, Syaikh Muhammad Abu Zahrah dll.
Hakikat Nasakh dalam Al-Quran
Sebagaimana uraian di atas dapat dilihat bahwa nasakh mengalami pergeseran makna, bermula dipahami sebagai istilah (musthalah) menjadi sebuah teori yang memiliki makna lebih sempit. Para ulama berselisih pendapat mengenai teori nasakh khususnya penerapannya dalam al-Quran. Para ulama setelah imam as-Syafi’i cenderung mengamini teori nasakh dalam al-Quran sebagaimana pengertiannya terhadap nasakh. Sedangkan sebagian ulama kontemporer ada yang cenderung menolak teori nasakh dalam al-Quran sebagaimana yang dipahami ulama klasik dengan beberapa alasan hasil penelitian ulang mereka akan teori ini.
Ulama klasik memandang ayat-ayat yang berkonotasi nasakh sebagai landasan adanya teori nasakh dalam al-Quran, seperti yang terdapat pada al-Baqarah (2:106) (al-Qathan, 2005). lain halnya dengan ulama klasik yang memandang ayat tersebut sebagai bukti kuat akan berlakunya teori nasakh dalam al-Quran, ulama kontemporer cenderung menafsirkan ayat-ayat tersebut tidak selalu bermakna penghapusan, melainkan sebagai penjelasan ekternal atas teks tertentu (al-Jabary, 1986), Perubahan penafsiran ini diinisiai oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 H) kemudian diikuti beberapa ulama setelahnya. Menurut Syekh Muhammad Abduh yang dimaksud dengan “الأية“dalam surat al-Baqarah (2:106) tidak tertuju kepada ayat al-Quran melainkan kepada bukti kenabian yaitu mukjizat. Oleh kerena itu tidak tepat jika dijadikan sebagai landasan adanya nasakh dalam al-Quran (al-Jabary, 1986).
Syekh Muhammad al-Ghazali (1917-1996 M) berpendapat yang dimaksud dengan “الأية“dalam surat al-Baqarah (2:106) adalah syariat nabi terdahulu. Beliau berargumentasi dengan melihat konteks dan kecocokan ayat sebelum dan setelahnya. Menurutnya sabab nuzul ayat ini berkaitan dengan seorang yahudi yang menolak mengikuti syariat nabi Muhammad Saw. kemudian mengatakan bahwa hukum nabi Musa as tidak mungkin terganti dengan syariat nabi Muhammad Saw. maka Allah Swt. menurunkan ayat ini sebagai bantahan atas anggapan mereka. Penasakhan al-Quran akan syariat nabi terdahulu tidak dapat dijadikan sebagai dalil adanya nasakh dalam al-Quran (Al-Ghazali,Kayfa Nata’amal ma’a al-Quran).
Menurut Syekh Muhammad Abu Zahra (1898- 1974 M) surat al-Baqarah (2:106) tidak menunjukkan keberadaan nasakh dalam al-Quran melainkan sebatas kemungkinannya. Ayat ini merupakan jumlah syarat dan jawab, “ما” merupakan salah satu isim syarat dan “نأت بخير منها” merupakan jawab. Maka ayat ini tidak menunjukkan terjadinya nasakh dalam al-Quran. Kemudian kata “أو ننسها” memiliki beberapa qira’ah lain dengan riwayat yang sahih yaitu “أو ننسأها” yang bermakna kami akhirkan, sehingga yang dimaksudkan pada ayat adalah kami tidak menurunkan ayat kepada nabi atau rasul, atau menangguhkannya, kecuali kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sepadan dengannya. Ini menunjukkan bahwa mukjizat al-Quran lebih baik dari mukjizat-mukjizat sebelumnya seperti mukjizat nabi Musa as dan nabi Isa as. Mukjizat mereka adalah peristiwa yang terjadi dan berlalu, berakhir dengan berakhirnya waktu mereka dan hanya mempengaruhi jiwa mereka yang menyaksikan dan melihatnya. Sedangkan mukjizat al-Quran tetap abadi, menantang semua generasi hingga hari kiamat (Abu Zaha, Zahra at-Tafasir).
Menurut Ahmed Hijazi As-Saqa dalam bukunya Laa Nasakh Fi al-Quran, beliau meyakini bahwa anggapan Ijma muslim akan berlakunya teori nasakh dalam al-Quran adalah anggapan yang tidak berdalil. Teori ini ditolak tidak hanya oleh Abu Muslim al-Asfahani, melainkan ulama-ulama sebelum dan sesudahnya yang juga menolak teori ini seperti Fakhr al-Din al-Razi, al-Bazwadi, Ibn Hazm dll. Bagaimana dengan anggapan adanya kontradiksi antara ayat-ayat seperti yang ada dalam ayat-ayat syariat, juga terdapat dalam ayat-ayat akidah, kisah, dan lain-lain. Lalu, mengapa mereka menerima adanya penyesuaian dalam ayat-ayat akidah dan kisah-kisah tetapi tidak menerima penyesuaian dalam ayat-ayat syariat? (Assaqa, Laa Nasakh Fi al-Quran).
Tidak ada cara untuk dapat mengetahui adanya nasakh dalam al-Quran, karena tidak ada satupun dalil al-Quran dan as-Sunnah yang menunjukkan secara jelas adanya nasakh dalam al-Quran. Oleh karena itu, nasakh menyalahi sesuatu yang asli (خلاف الأصل (karena ia membutuhkan dalil penguat agar dapat diterima, namun kenyataannya tidak ada satupun bukti konkrit yang menguatkannya. Selain itu, pembahasan mengenai nasakh menurut istilah para ulama mutaakhir (klasik) yang datang setelah masa Khulafaur Rasyidin dan Bani Umayyah dianggap sebagai salah satu kesalahan besar dalam sejarah ilmu-ilmu al-Quran. Bagaimana mungkin ayat al-Quran dapat dinasakh dengan dalil yang tidak diketahui keshahihannya dan kemutawatirannya, padahal al-Quran hanya dapat dibuktikan dengan riwayat mutawatir (al-Jabary, al-Nasaikh wa al-Mansukh Bayna al-Nafy wa al-Ithbat).
Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah Ra. Ia berkata, “Diantaranya yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang diketahui itu menyebabkan pemahraman, kemudian dinasakh dengan lima susuan yang diketahui”. Riwayat ini kerap kali dijadikan sebagai contoh nasakh bacaan dan hukum bersamaan dalam al-Quran. Riwayat ini tidak diriwayatkan melainkan hanya diriwayatkan oleh Aisyah, seperti yang diketahui bahwa al-Quran hanya dapat dibuktikan dengan riwayat mutawatir maka riwayat ini tidak bisa dijadikan dalil teori nasakh. Seandainya riwayat ini mutawatir, maksud perkataan Aisyah “Ketika Rasulullah wafat “lima susuan” ini termasuk ayat al-Quran” mungkin itu adalah kesalahpahaman dari apa yang didengar oleh perawi darinya, dan mungkin yang dimaksud oleh Aisyah adalah bahwa sejak masa pra-Islam, sudah ada aturan pengharaman dengan sepuluh kali susuan, dan orang-orang telah mewarisi ini sebagai bagian dari warisan dari agama Ibrahim, maka ketika Islam datang, terjadi perubahan sehingga pengharaman menjadi dengan lima kali susuan yang diketahui secara jelas (al-Jabary, al-Nasaikh wa al-Mansukh Bayna al-Nafy wa al-Ithbat).
Syekh Ali Jum’ah menegaskan teori nasakh dalam al-Quran membuka dua kemungkinan berbahaya. Pertama, dari segi teks para orientalis dan musuh Islam lainnya akan menganggap adanya perubahan dan pengurangan dalam al-Quran. Kedua, dari segi hukum, teori nasakh dapat mencederai konsep universal yang dimiliki al-Quran. Menyikapi permasalahan ini, Syekh Ali Jum’ah mencoba memberikan ide bagaimana jika ayat yang dianggap sebagai mansukh (yang diganti) ketetapan hukumnya masih berlaku sesuai dengan kondisi tertentu dan ayat nasikh (yang mengganti) berlaku pada situasi yang berbeda. Menurutnya perbedaan ini lahir dikarenakan tuntutan situasi dan kondisi yang berbeda (Maarif, 2024).
Dengan melihat selayang panjang dialektika teori nasakh ini, kita dapat melihat esensi konsep nasakh dalam al-Quran menurut perspektif ulama kontemporer. Konsep yang dipaparkan ulama kontemporer lebih dekat dengan kebenaran. Meski demikian, pada tulisan ini penulis tidak menafikan pemahaman ulama klasik akan konsep nasakh dalam al-Quran. Penulis berharap dengan tulisan ini dapat mengenalkan khazanah al-Quran kontemporer yang mungkin masih dianggap asing oleh sebagian penggiat ilmu al-Quran.
Oleh: Hizbi Dzilarsy Priatna
Penulis adalah Kru Website Manggala 2024-2025