Saya masih ingat, kali pertama bertemu perempuan yang sedang terbaring ini. Di sebuah bazar buku terbesar di kota Kairo.
Dia berdiri di depan stan buku favorit saya. Pakaiannya serba hitam, dengan kacamata bulat dan jilbab yang tergerai panjang.
Belum ada Mahasiswa Indonesia yang bertahan di stan buku itu lebih dari sepuluh menit. Sebagian besar hanya lewat, beberapa melihat-lihat, beberapa langsung urung melirik judul-judulnya.
Saya pikir perempuan ini juga tak ada bedanya dengan mereka, mahasiswa-mahasiswa yang tak punya nyali dalam membaca. Membaca karena ujian semester, membaca karena disuruh, atau membaca karena wifi sedang habis.
***
Saya masih ingat, kali pertama bertemu perempuan yang sedang terbaring ini. Di sebuah bazar buku terbesar di kota Kairo.
Jam tangan saya masih bertengger damai, saya amati lamat-lamat. Ini sudah masuk menit ke 9:57 perempuan itu berdiri. Senyum saya tipis, Hati saya riang tiada dua, karena tiga detik lagi, perempuan itu pasti akan pergi. Bosan dengan buku-buku di depannya.
Saya menghitung dalam hati, “3…2…1…loh?”
Mata saya membesar. Tak percaya apa yang sedang terjadi. saya menengok ke jam tangan berulang kali. Perempuan jilbab hitam itu masih berdiri di sana, di stan paling keramat seantero bazar buku Kairo.
Dan perempuan itu berhasil menaklukkannya. Berhasil menaklukkan hati saya.
Jelas, dia spesies perempuan langka.
***
Saya masih ingat, kali pertama bertemu perempuan yang sedang terbaring ini. Di sebuah bazar buku terbesar di kota Kairo.
Saya masih ingat rasanya. Degup jantung tak karuan, senyum simpul tertahan. Saya masih ingat betapa bimbangnya saya memilih pertanyaan pertama untuknya.
Pengalaman berkenalan seperti apa yang harus digunakan bagi saya yang tidak pernah jatuh cinta selain kepada buku?
“Halo, boleh kenalan ga?”
“Aduuh, kamu hidup di tahun berapa sih?” jawab otak saya. Oke, akan saya ganti.
“Assalamualaikum ukhti, bolehkah berta’aruf sama ukhti,”
“Aduuh, orang yang sholat subuh jam 9 dan masih belepotan ngomong Assalamualaikum sepertimu mau cari jodoh seperti malaikat? Ampun deh” jawab otak saya lagi. Kali ini ada benarnya.
“Bapak kamu pasti bukan wakil presiden Madagaskar ya? Kok tahu? Soalnya bapak kamu pasti suka baca buku”
“Aduuh, itu terlalu berbahaya,” otak saya menimpali.
***
Saya masih ingat, kali pertama bertemu perempuan yang sedang terbaring ini. Di sebuah bazar buku terbesar di kota Kairo.
Saya mendekat, berdiri di rak sebelahnya, berpura-pura mengambil buku, seolah-olah ikut membaca. Saya memilih pertanyaan yang paling aman.
“Suka Paulo Coelho juga?”
Perempuan itu menoleh. Itu kali pertama saya melihat wajahnya dari dekat. Satu kata: teduh.
“Hah?” tanyanya memastikan.
“Suka Paulo Coelho juga?” ulang saya.
“Ooh, iya nih. Jarang aja nemu stan buku yang punya koleksi Coelho selengkap ini.”
Saya menunggu dia balik bertanya, tapi jauh panggang daripada api. Dia sudah kembali sibuk dengan buku-buku.
“Sejak kapan?” tanya saya lagi.
“Hah?” dia menoleh.
“Sejak kapan suka Paulo Coelho?”
“Ooh, udah lama. Sejak Ayah meninggal.”
Saya terdiam sejenak.
“Meninggal kenapa?”
Dia menutup buku yang dipegangnya, lalu mengangkat wajah. Mata kami bertemu.
“Kayaknya ini bukan percakapan yang baik deh untuk dua orang yang baru bertemu.”
Saya mengangguk.
Setelah hening sesaat, dia balik bertanya.
“Kamu sendiri kenapa nanya? Suka Coelho juga?”
“Hah?” kali ini giliran saya yang meng-‘hah’.
“Selain suka buku, kita sama-sama punya masalah pendengaran juga ya?” katanya ketus. Saya tertawa kecil, menggaruk kepala yang tak gatal.
“Iya, suka Coelho juga. Tapi belum lama, baru dua tahunan ini,” jawab saya.
“Emang suka baca bukunya sambil dibalik gitu atau…?”
“Eh?”
Kali ini, canggung saya menjadi-jadi. Buku yang sedari tadi saya pegang, ternyata terbalik atas bawah. Dalam skenario macam apa seorang pembaca buku membaca dalam keadaan buku terbalik.
Aduh, ingin sekali saya menghilang saat itu juga.
***
Saya masih ingat, kali pertama bertemu perempuan yang sedang terbaring ini. Di sebuah bazar buku terbesar di kota Kairo.
Pertemuan kikuk itu terjadi 5 tahun yang lalu. Saat kami sama-sama masih mahasiswa. Saya mengambil magister bahasa, dan dia magister hukum.
“Saya ingin keliling dunia, Salman. Dan almarhum ayah dulu hanya mengizinkan putri satu-satunya ini ke luar negeri kalau untuk urusan pendidikan,” jawab Salma saat saya tanya kenapa bisa sampai ke Kairo.
“Mimpi terbesarmu keliling dunia, Sal?” tanya saya lagi.
“Banyak!”
“Terbesar itu hanya satu”
“Aduh, semuanya besar, Man!”
“Apa?”
“Nih ya! Saya ingin ziarah kubur”
“Lah kan di sini udah sering”
“Aduh, dengerin dulu dong” kesalnya. Saya meminta maaf.
“Nih ya, saya ingin ke makamnya Tan Malaka di Kediri, makamnya Pram di Jakarta, dan Marx di London,” jelasnya.
“Terus terus?”
“Saya ingin ke Sulawesi, lihat lukisan pertama di dunia”
“Terus?”
“Terus ke Vietnam, lihat terowongan yang dulu dipakai saat perang lawan Amerika. Saya ingin ngerasain langsung masuk ke sana.”
“Terus terus?”
“Lama-lama kamu kayak tukang parkir ya?” Kami pun tertawa bersama. Dia lebih cantik saat tertawa.
“Kamu…mimpimu apa, Man?” dia balik bertanya.
“Saya?”
“Iya, kamu Salman!”
“Saya ingin jadi penulis cerita,”
“Oh iya?”
“Iya”
“Kenapa?”
“Karena cerita bisa hidup lebih lama dari kita.”
Dia mengangguk tersenyum. “Kalau nanti bukumu terbit, saya harus jadi pembeli pertamanya.”
“Tidak usah, nona! Kamu akan saya kasih gratis, plus tanda tangan, plus rahasia menjadi penulis ganteng dan keren seperti saya.”
“Dasar!”
***
Saya masih ingat, kali pertama bertemu perempuan yang sedang terbaring ini. Di sebuah bazar buku terbesar di kota Kairo.
Kami menjadi dekat selepas pertemuan di bazar buku itu. Kami nyaman dengan panggilan saya-kamu ala ala film Ada Apa Dengan Cinta.
Saya selalu ada untuknya, dan dia juga selalu ada untuk saya. Saya ada saat pipa air rumahnya mampet, saya ada saat dia pindahan rumah, saya ada saat dia harus berdebat panjang dengan pedagang yang culas pada pendatang asing, dan —yang hampir sekali seminggu, saya ada saat dia bercerita tentang buku baru yang habis dibacanya. Buku yang paling kanan sampai yang paling kiri lenyap dibacanya. Nyari membacanya boleh juga.
Saya selalu hafal bagaimana dia membaca, posisi tangan kanan menyangga dagu, jari telunjuk mengetuk pelan sampul buku.
Saya adalah pendengar yang baik. Dan dia adalah pemilik buku yang pelit. Setiap kali bukunya saya pinjam, dia akan memperingati, “Awas ya! Jaga bukunya baik-baik. Mereka sudah seperti anakku sendiri,” ucapnya sambil mengepalkan tangan kanannya di depan wajah saya. Saya mengiyakan sambil tertawa. Dia pun ikut tertawa.
Kami adalah dua orang yang pintar membaca buku, tapi bodoh urusan perasaan.
“Kamu kenapa sering bantuin saya, Man? tanyanya di suatu sore.
Saat itu, kami sedang melakukan ritual mingguan dengan beribadah membaca di satu perpustakaan di pinggir sungai Nil.
“Salma, begini ya. semua laki-laki di dunia itu selalu ingin merasa diandalkan. Laki-laki enggak pernah takut akan apa pun…”
“Oh ya?”
“…kecuali takut tidak berguna. Makanya saya bantuin kamu, supaya ada gunanya lah,” Dia pun mengangguk-angguk mendengar itu.
Kami sama-sama anak tunggal. Dan sama-sama yatim piatu. Dia jelas tahu bagaimana rasanya jadi saya.
***
Saya masih ingat, kali pertama bertemu perempuan yang sedang terbaring ini. Di sebuah bazar buku terbesar di kota Kairo.
Sejak saat itu kami dekat. Tapi takdir memang tak selalu berpihak kepada kami, kedekatan itu tidak bertahan lama, karena jelas hubungan semacam ini dilarang oleh agama. Kampus kami adalah pusat studi agama seantero dunia. Dan dia adalah salah satu mahasiswi terbaiknya.
Salah seorang temannya memberitahu kabar kedekatan kami kepada keluarganya. Kakek, nenek, om, tante, bahkan tetangga dan tukang sayur sekitar rumahnya pun murka saat tahu Salma dekat dengan mahasiswa miskin yang bertahan hidup dengan menjadi penulis lepas seperti saya ini.
Salma segera mengajak saya bertemu. Di sebuah kedai kopi di pinggir Kairo. Dari tadi kepalanya menunduk seperti menyembunyikan sesuatu, wajahnya juga agak pucat hari ini. Mungkin dia gugup. Tapi, gugupnya Salma adalah membetulkan posisi kacamata sekali setiap sepuluh detik. Bukan seperti ini, seperti orang mau mati saja. Mungkin juga hanya demam, pikir saya. Semua orang pernah demam, kan?
Jemarinya sibuk mengaduk pelan teh lemon kesukaannya. Teh yang dipesan tanpa gula, lalu ditambahnya sendiri satu dua sendok madu dari botol kecil dalam tasnya.
“Jadi bagaimana?” tanyanya.
“Jadi bagaimana apanya?” saya balik bertanya.
“Ya kita”
“Kita baik-baik saja”
“Bukan itu, Man”
“Lalu apa?”
“Aduuh, kamu banyak baca buku, tapi masih saja dungu ya?”
“Hah? Kamu juga dungu, nggak ada angin nggak ada hujan nanya jadi bagaimana” dia emosi. Saya pun emosi.
Sepuluh detik kami diam-diaman sampai suaranya memecah sepi.
“Kemarin malam om telepon,” jelasnya. “Ada kerabat almarhum ayah datang ke rumah. Menanyakan, apakah saya sudah menikah atau belum. Lalu…” ucapnya terputus.
“Lalu?”
“Lalu, saya dijodohkan dengan anak kerabat almarhum Ayah.”
Saya tahu arah obrolan ini kemana. Kami sudah 27 tahun. Ini semester terakhir kami.
Pertanyaan yang sangat wajar ditanyakan untuk anak perempuan tunggal yang tinggal sendiri di rantau orang. Dan pertanyaan yang wajar pula untuk saya yang jangankan menikah, bisa makan, minum, dan baca buku saja sudah syukur.
Saya hanya tidak menyangka, perempuan paling kiri yang saya temui ini, yang selalu berkoar-koar saat ada yang tertindas, yang berapi-api setiap pemerintah bikin kebijakan aneh, yang menjunjung tinggi persamaan hak dan anti-kapitalisme. Sekarang, dia tunduk di hadapan takdir bahwa ia adalah seorang perempuan 27 tahun.
***
Saya masih ingat, kali pertama bertemu perempuan yang sedang terbaring ini. Di sebuah bazar buku terbesar di kota Kairo.
Namanya Salma, nama saya Salman. Kami tidak sekali dua kali berdebat panjang. Mulai dari yang paling ringan seperti, “Kusyari mana yang paling enak di kota Kairo” hingga yang paling berat seperti,”harusnya sistem pemerintahan yang paling ideal itu seperti apa”
Kami sering berdebat, tapi belum pernah yang seperti ini. Biasanya tidak ada yang ingin mengalah. Kami punya ego yang sama tingginya.
Tapi untuk kali ini, untuk pertama dan terakhir kalinya, saya pun mengalah. Persis seperti Samsul Bahri di hadapan Siti Nurbaya. Persis seperti Zainuddin di hadapan Hayati. Melawan hanyalah kesia-siaan.
***
Saya masih ingat, kali pertama bertemu perempuan yang sedang terbaring ini. Di sebuah bazar buku terbesar di kota Kairo.
Waktu melesat seperti peluru yang ditarik dari pelatuknya.
Lima tahun sejak pertemuan di kedai kopi itu.
Lima tahun sejak kami lulus.
Lima tahun saya tidak mendengar kabarnya lagi.
Sekarang saya sudah jadi penulis. Persis seperti yang dulu saya ceritakan kepada Salma. Tulisan-tulisan saya mengalir jauh ke banyak negara, dibaca jutaan orang, diterjemahkan ke banyak bahasa. Mengikuti jejak Paulo Coelho yang dulu bukunya kami baca.
Adalah saya yang sekarang ada di hadapan ranjang rumah sakit. Lima tahun sejak perpisahan itu. Salma terbaring lemah, wajahnya pucat, pipinya kurus, kaki kirinya hanya sampai tempurung lutut, sisanya entah kemana.
Salma yang beda jauh dari Salma 5 tahun yang lalu.
Di sebelah saya, pria botak yang mengaku Om-nya Salma. Dia lah yang memberitahu saya untuk pertama kalinya. Dia hubungi teman-teman kuliah kami, dia hubungi penerbit tempat saya bekerja, meminta dihubungkan ke saya, “Segera ke rumah sakit, mas Salman! Darurat! Salma!” pesan yang singkat untuk membuat saya terburu-buru, berkemas dari Bandung ke Jakarta.
“Dia mengidap kanker tulang, Osteosarcoma. Vonis dokter umurnya sisa dua bulan lagi. Minggu lalu, tepat dua bulan itu. Dokter pun takjub dengan semangatnya untuk bertahan. Suatu malam dia sadar, hanya bicara satu kata berulang-ulang, Coelho…Coelho…Coelho. Awalnya Om bingung, sampai Om menemukan sebuah buku di tasnya. Ditulis oleh nama yang disebut oleh Salma, judulnya Veronica Decides to Die,” jelas om botak.
“Sejak kapan, Om? Sejak kapan sakitnya?”
“Lima tahun yang lalu”
“Lima tahun yang lalu?” saya kaget mendengarnya.
“Itu kan pertama kali saya bertemu dengan dia, Om!”
“Betul, Salma sudah cerita semuanya tentang kamu. Tentang kalian. Dia berbohong, Salman. Tidak ada pernikahan. Tidak ada perjodohan. Dia pulang karena ingin berobat. Dia ingin kamu bahagia dengan perempuan yang sehat dan sempurna. Dan Om dilarang untuk memberitahu kamu yang sebenarnya. Tapi, Om tidak tega kalau Salma harus pergi sebelum ketemu kamu dulu,” jelas sudah semua yang terjadi.
Seorang suster memanggil Om Botak keluar, mengurus satu dua hal. Tinggal kami saja dalam ruangan itu.
“Kenapa, Sal?” tanya saya memecah sunyi. Yang ditanya juga diam saja. “Lima tahun, dan saya tidak tahu. Tidak satu pun dari semua obrolan kita yang mengarah ke sini, Sal. Harusnya saya tahu. Harusnya saya tanya lebih banyak. Harusnya saya…”
Tiga detik sepi sebelum pertanyaan kedua dituangkan, “Kau tau, Sal? Kita itu sama-sama titisannya Paulo Coelho. Bedanya, saya Coelho saat the Alchemist terbit di Amerika. Dan kamu adalah Coelho saat terapi electroconvulsive di Brazil. Menyakitkan, tidak adil memang, tapi begitulah takdir. Hidup kita hanyalah serangkaian takdir yang kadang bertemu, lebih banyak berpisah.”
Saya menatap wajahnya lamat-lamat. Merekam setiap lekuk di sekitar mata, tahi lalat mungil di pipi kiri, dan bibir merah muda yang mulai pudar.
Bisa jadi esok lusa, saya tak pernah lagi melihat wajah itu. Wajah perempuan yang saya temui lima tahun lalu, di sebuah bazar buku terbesar di kota Kairo.
Oleh: Irfan Amrullah Prasetyo
Penulis adalah Koordinator Cerita Pendek Website Manggala 2024-2025