Ada banyak acara kebanggaan yang dapat diikuti oleh Masyarakat Indonesia di Mesir (Masisir), salah satunya termasuk Cairo International Book Fair (CIBF) atau Ma’ridh yang pengunjungnya memiliki corak karakteristik khusus dan fenomenal.
Ma’ridh sendiri sudah menjadi acara rutinan. Ia menjelma sebagai cerminan sempurna kegiatan Masisir. Mulai dari seminar ilmiah, pameran seni hingga ngedate bersama doi pasangan sah ramai menyatu padu dalam acara ini. Sangat mewarnai, sehingga tak heran jika CBIF ini sangat seksi dikunjungi oleh hampir semua entitas Masisir dari manca kalangan.
Berbagai paradigma logis melandasi alasan mengapa acara ini ramai. Ia telah sukses mengimplementasikan konsep Bhineka Tunggal Ika, yang barangkali amalgamasinya ini dapat menginspirasi organisasi-organisasi Masisir yang kerap sepi pengunjung saat mengadakan kegiatan. Dengan ragam melimpah dalih layaknya menentukan Capres. Jenis-jenis pengunjung ini terkategorikan sedikit banyaknya sebagai berikut ini. Cekidot!
Seniman Melankolis
Setelah berpusing-pusing riang menjalani ujian kemarin, adanya pameran buku ini menjadi ajang refreshing murah. Karcis seharga 5 Pound dan ongkos kurang lebih 20 pound, menjadi kesempatan gurih bagi tipe jenis ini untuk menghampiri ruang-ruang seni, seperti kaligrafi, pentas musik, bahkan seni karikatur yang dapat ditemui di stand Al-Azhar.
Ia mampu meratapi lukisan selama 10 sampai 15 menit, sambil memegang dagu dengan mata yang serius. Hanya orang tertentu saja nampaknya yang dapat melakukan ini. Entah apa yang diperhatikan, warna, goresan, lukisan, atau pikiran yang dapat mencipta kesan artistik orang-orang padanya. Mereka biasanya jarang cekrak-cekrek. Tetapi sekali HP bobanya itu dikeluarkan, maka ia akan langsung memata-matai sekitar sambil memperagakan pose mana yang aesthetic bin esoteris.
Ada istilah “Ustaz Gadungan”, begitu pula dalam konteks ini. Terdapat seniman yang melenceng dari jalannya. Ia datang bak model internasional yang siap sedia memegang HP, setiap tempat diabadikannya. Membeli kopi dan pizza italia untuk diseruput dan membincangkan seputar kontribusinya untuk bangsa, negara dan agama. Lalu setelah selesai, ia pulang dan upload story bersamaan dengan caption:
“Alhamdulillah, sudah mengunjungi pameran buku terbesar kedua di dunia,” dengan satu buku di tangannya, agar terlihat beli dan ngga malu-malu amat.
Organisatoris Sat-set
Pamflet mulai tersebar di grup-grup WhatsApp, demi Masisir yang tahu tujuan dalam membeli buku. Begitulah langkah pertama yang ditempuhnya. Acara semacam ini patutlah diapresiasi. Sebab, pencerahan harus selalu ada. Sangat sulit membeli buku yang pas dibeli di ma’ridh, di samping banyak buku yang kita dapat temui juga di maktabah belakang Azhar.
Menjadi muthawwif ma’ridh dadakan kadang kala menjadi risiko yang harus ditanggungnya. Saya yakin Anda ngga akan salah sebut Surah Al-Kahfi buku kok, karena selalu ada tulisannya di cover depan kan? Haha. Tidak hanya organisasi, komunitas kajian, teman Mabar hingga teman satu kelas DL pun biasanya mengadakan.
Pada akhirnya kegiatan itu hanya mulus diawal-awal saja. Tatkala dokumentasi pertama, memasuki gedung ma’ridh, satu-dua maktabah telah dilewatinya. Kemudian setelah itu, anggota-anggota akan menghilang dengan sendirinya. Sudah menjadi hal lumrah dan ngga mengagetkan. Sebab sebagaimana naluriah hidup, orang-orang akan lebih mementingkan kebutuhannya sendiri. Hal ini telah menjadi hukum alam yang tak terelakkan.
Intelektual Flamboyan
Ini yang barangkali dicita-citakan teman saya, Cikuy Kerad dalam tulisannya “Ini 6 Hal Penting yang Harus Kamu Perhatikan Sebelum Datang ke Maradh, Jangan Lupa Dicatat Ya!”, mengharapkan Masisir sekalian agar lebih siap dalam menghadapi badai buku. Walaupun demikian, sepertinya yang disarankannya itu hanya berlaku bagi kalangan tertentu. “Gimana mau nyiapin duit, kalau ngga ada duit sekarang, ya ngga keburu.” Jika anda merasakan ini, jangan berkecil hati! Anda masih bisa menjadi seniman melankolis yang melenceng, meratapi buku-buku dengan sesekali bertanya harga lalu pergi dan tak kembali lagi.
Balik lagi, intelektual flamboyan ini dapat kita saksikan biasanya ia membawa koper bagasi yang siap diisi oleh jastip buku yang sudah disiapkan list nya jauh-jauh hari atau kebetulan mendapati buku yang bagus. Biasanya ada ikhtilaf prinsip disini. Mereka yang berprinsip beli buku sebanyak mungkin, karena kalau dia ngga baca pun, nanti anaknya bisa baca-baca, dan begitu seterusnya hingga cucu-cucunya. Ada pula yang membeli sesuai dengan kebutuhan study.
Tetapi terkadang ngga sesempurna itu. Kita juga dapat menemukan mereka yang asal saja dalam membeli, yang penting keliatan banyak beli buku. Lalu MVP nya adalah mereka yang tergiur, memburu buku-buku murah dan gratisan, yang biasanya dapat kita temui di Maktabah Wizarah Tsaqafah, Maktabah Ashriah atau semacamnya. ‘Ala kulli haal, Insyaallah ia termasuk golongan predator yang melahap segala macam buku, bukan kolektor yang membeli banyak buku saja lah yaa. Insyaallah, Qobul….!
Si Paling Produktif (Jastipers dan Content Creator)
Prinsip “Dimana saya melihat, maka disitu akan jadi cuan” benar-benar terimplementasikan oleh para Businessman Masisir. Hidangan emas yang siap saji, dibagasikan ke Indonesia agar bertranformasi menjadi pundi-pundi uang. Paten sangat, ngga ada obat. Pasalnya jargon pameran terbesar kedua di dunia ini menjadi nilai tawar lebih yang aduhai nan sangat menjual.
Tetapi, saya heran mengapa ngga ada stand math’am Indonesia. Barangkali jika ada, kan saya bisa modus nraktir ke cewe Mesir. Stand bazar pula nampaknya hanya didominasi kitab yang berasal dari penerbit daerah-daerah Arab. Beberapa buku berbahasa Inggris. Hanya beberapa dari Asia seperti Korea, Tiongkok dan Jepang. Nampaknya kawan saya Pajaruddin (CEO Kafe Baca) harus belajar dari para Jastipers yang memanfaatkan momen. Ia bisa memelopori untuk ikut berpartisipasi dalam membuka stand buku-buku Indonesia.
“Hallo Hallo barudak, jadi kita sedang berada di pameran buku muslim terbesar di dunia, disini kita harus merefleksikan diri, memotivasi diri untuk terus membaca dan berkarya. Pergerakan bukan hanya dengan tenaga dan uang saja, tetapi juga menyumbangkan pikiran sehingga karya kita bisa dipejeng di rak-rak Ma’radh ini.” Ungkap Yudha Hidayat, teman saya, muthawwif handal, sekaligus merangkap sebagai selebgram yang Insyaallah hidupnya ngga pernah rebahan.
Begitulah kira-kira beberapa jenis pengunjung ma’ridh yang dapat kita lihat dan perhatikan. Akan ideal rasanya jika kita hidup di Mesir, menerapkan jenjang tahunnya berdasarkan urutan diatas. Tahun pertama menjadi seniman melankolis. Kemudian tahun kedua menjadi organisatoris Sat-set. Sedangkan tahun ketiga menjadi intelektual flamboyan. Dan tahun terakhir menjadi si paling produktif. Haha. Itulah juga sebabnya mengapa acara ini sangat representatif sehingga sangat ramai dikunjungi.
Walakhir, teringat salah satu puisi Sapardi Djoko Darmono:
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Oleh: Faiz Abdurrahman
Koordinator Rubrik Esai Manggala 2023-2024
Editor: Nabil Khairi Irtifa