Nikmatnya Ngabuburit di Masjid Al-Azhar Bahkan Setelah Ramadhan Usai

(Sc: english.ahram.org.eg)

Oleh: Fadhil Syukrillah

Penulis adalah Kru Warta Manggala 2022/2023

Masjid Al-Azhar, sebuah bangunan dengan seluruh sejarah keilmuannya yang mampu memikat hati siapapun untuk datang, mulai dari sekedar berfoto ria di dalamnya atau bahkan ada yang selalu ingin dekat dengannya, menyelami samudera keilmuan dan budi pekerti luhur masyayikh-nya. Maka tak heran bila kita melihat wisatawan sedang berswafoto dan para pelajar yang sedang khusyu’ mendengar petuah guru atau sekadar istirahat di pelatarannya.

Beberapa hari lalu saya menyengaja untuk ngabuburit di pelataran Masjid Al-Azhar sembari menunggu sholat maghrib. Tenang, nyaman, dan syahdu, begitulah kira-kira suasananya. Tentu saja saya dapat masuk tanpa perlu menunjukkan barcode atau mengantre yang (kadang) sedikit berdesak-desakkan seperti halnya beberapa minggu lalu.

Duduk di pelatarannya sambil memandangi sekitar, diselingi dengan berswafoto dengan beberapa bocah setempat atau sekedar diminta memotret turis dengan background menara kembar Masjid. Menyenangkan bukan? Mungkin sedikit berbeda dengan keadaan sebulan lalu, yang ramai dengan hilir mudik pria dan wanita ber-name tag hijau di lehernya serta para masyayikh azhar—hafidzahumullahu ta’ala.

Saya juga heran ke mana perginya orang-orang yang beberapa minggu belakangan senang sekali menghabiskan waktu sorenya di masjid ini. Di mana mereka sekarang? Sangat menyenangkan rasanya melihat mereka duduk bersama sambil berdiskusi, membaca Al-Qur’an, atau sekedar menggulir layar gawai miliknya.

Saya juga tak sekali melihat foto teman-teman di sosial media dengan background Al-Azhar dan sebungkus nasi kotak dengan tulisan “Alhamdulillah ‘ala Ni’matil Azhar”. Ke mana sekarang foto-foto itu? Apakah “Nikmat azhar” hanya terbatas pada bulan lalu saja? Memang benar, saya tak bisa menghukumi itu sebatas dengan melihat sosial media, tapi setidaknya itu bisa menjadi indikator bahwa anggapan itu bisa saja terjadi—Naudzubillahi min dzalik.

BACA JUGA: “Ramadan dan Sekat Kaya-Prasejahtera

Itu isi pikiran saya ketika duduk memandangi pelataran masjid yang kini sepi. Sayup-sayup suara lantunan tilawah terdengar dari dalam masjid, sepertinya itu cukup untuk membuat ngabuburit kali ini mampu menenangkan pikiran. Sangat cocok untuk murajaah hafalan, jadwal ujian qur’an sudah keluar, bukan?

Mungkin yang berbeda dari beberapa minggu yang lalu, ngabuburit kali ini tak ditemani oleh seporsi nasi biryani dan lauknya yang berlimpah, sebuah porsi makan yang aneh menurut mahasiswa pas-pasan seperti kami. Anak rantau yang tak pernah sarapan pagi, entah karena baru bangun di siang hari atau sengaja jama’ ta’khir sarapan ke makan siang demi bertahan di krisis akhir bulan. Itu saja sepertinya, sisanya sama. Tak ada yang berubah dari Masjid Al Azhar, kenyamanannya dan suasananya selalu dapat menentramkan jiwa.

Jangan lupakan juga keindahan menara dan kubahnya, terlebih jika dibalut dengan cahaya lembut isyarat pamit sang mentari, yang biasanya dulu kerap kali diabadikan oleh saya dan teman-teman demi sorotan instagram yang terisi, tentunya dengan caption andalan saya “Senja di Mesir ga pernah gagal ya!”

Ah, malah jadi melebar kemana-mana ya. Intinya, ada perasaan sedih yang menyelinap di hati ketika melihat perbedaan sekarang dan bulan Ramadan yang baru saja berlalu. Bukankah kita semua tau pada sepanjang tahun digelar ratusan majlis ilmu di masjid ini, lantas mengapa kita hanya mendatanginya hanya pada setiap sore di bulan Ramadan saja? Apakah seporsi nasi biryani itu lebih menggoda daripada kunci kehidupan dunia akhirat yang sering dibagikan di sini? Silahkan dijawab oleh pribadi masing-masing.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *