Esai, Opini  

Urgensi Menguasai Bahasa Asing bagi Penuntut Ilmu

Ilustrasi bahasa-bahasa asing. (Sc: bogor.tribunnews.com)
Ilustrasi bahasa-bahasa asing. (Sc: bogor.tribunnews.com)

Oleh: Muhammad Rifky Handadari Raharjo

Penulis adalah Kru Esai Website Manggala 2021-2022

Dunia telah memasuki era global, informasi bergerak cepat dari satu belahan dunia ke belahan yang lainnya. Hal tersebut menuntut semua orang–khususnya penuntut ilmu–untuk selalu up-to-date dengan segala informasi dan perkembangan terkini dari segala sisi.

Oleh karena itu, kita sangat butuh kepada kunci yang dapat membuka pintu-pintu informasi yang bersebaran di semua media, dan kunci tersebut adalah menguasai bahasa asing. Dalam tulisan kali ini, saya ingin mengerucutkan urgensi menguasai bahasa asing bagi penuntut ilmu agama Islam, lebih khusus lagi bagi seorang Azhari.

Perkembangan dan kemajuan umat manusia telah menyebabkan banyaknya masalah atau hal-hal baru yang belum ada sebelumnya. Tentu, Islam sebagai agama yang tak tergerus oleh zaman akan selalu beradaptasi terhadap semua itu, sehingga tetap bisa melahirkan hukum agama yang berjalan beriringan dengan setiap keadaan.

Meskipun begitu, yang menjadi masalah untuk kita adalah sebuah fakta bahwa inovasi-inovasi yang muncul di abad-abad belakangan ini berasal dari dunia barat. Sebagai contoh, mari kita bahas masalah sewa rahim. Sebagaimana dikatakan Dr. Hafizhah Badr Abdul Hamid dkk dalam Qadhaya Fiqhiyah Mu’ashiroh (Fiqh Kontemporer), bahwa sewa rahim tersebar pertama kali di negara-negara barat, seperti Inggris, Canada, dan lain sebagainya.

Tak hanya itu, kalau kita berkaca jauh ke belakang, maka akan kita temukan bagaimana para ulama terdahulu banyak mengadopsi ilmu pengetahuan dari non-Arab. Ilmu logika (Mantiq) Aristoteles misalnya, yang diadopsi dari filsafat yunani, hingga menjadi alat pemicu perkembangan budaya dan intelektual Islam. (Purwanto, 2019: 32)

Logika Aristoteles ini telah memberikan banyak jasa bagi keilmuan agama Islam, karena pengambilan hukum melalui ilmu ushul fiqh tidak bisa lepas dari ilmu tersebut. Semuanya kembali lagi kepada fakta bahwa ilmu logika Aristoteles yang kita dapat hari ini telah melalui proses terjemah yang begitu panjang dari bahasa asalnya ke Bahasa Arab, kemudian diterjemahkan lagi ke berbagai macam bahasa, sehingga kita dapat menemukannya juga saat ini dalam Bahasa Indonesia.

Setelah berkaca jauh ke belakang, mari kita kembali lagi ke era kita sekarang. Saat ini kita masih memiliki banyak sekali ulama atau cendekiawan muslim yang kiprahnya sangat memukau karena kemampuannya menguasai bahasa asing. Kita memiliki sosok dr. Zakir Naik dan Syekh Ahmed Deedat misalnya, dua tokoh yang ahli dalam bidang perbandingan agama dan banyak meluruskan kesalahpahaman tentang Islam, baik di timur maupun barat. Kedua tokoh tersebut menggunakan bahasa inggris–sebagai bahasa internasional–dalam dakwahnya, sehingga apa yang disampaikan lebih cepat tersebar ke seluruh dunia dan lebih mudah dipahami juga tentunya.

Di lingkup Al-Azhar sendiri kita tidak kekurangan teladan, karena tidak sedikit syekh-syekh Al-Azhar yang pernah mengenyam pendidikan di belahan dunia yang berbeda. Ada sosok sepuh seperti Prof. Dr. Hasan al-Syafi’i, sebagaimana yang dilansir dari website resmi Muslim Elders Indonesia, beliau adalah sosok yang menyelesaikan program doktoralnya di Universitas London, dan dengan bekal Bahasa Inggrisnya, beliau banyak menelaah karya-karya ilmiah, budaya barat, juga isu-isu yang digunakan kaum orientalis untuk menyerang islam.

Bahkan Grand Syekh Al-Azhar saat ini; Syekh Ahmad al-Thayyib pun juga dikenal sebagai tokoh yang lancar berbahasa Prancis dan Inggris. Buah dari kepandaiannya itu telah berhasil menerjemahkan banyak referensi berbahasa Prancis ke Bahasa Arab.

Lihatlah, betapa menguasai bahasa asing membantu para tokoh Islam memajukan agamanya. Olehnya, penuntut ilmu agama Islam harusnya menguasai bahasa asing juga, khususnya Bahasa Arab sebagai wasilah awal untuk memahami teks-teks agama. Penguasaan terhadap Bahasa Arab adalah sesuatu yang bersifat primer. Di luar bahasa Arab, sifatnya hanya sekunder, tetapi cukup mendesak di zaman yang serba cepat seperti hari ini.

Maka menurut saya, mempelajari sampai bisa menguasai bahasa asing memiliki urgensitas tersendiri bagi semua umat muslim, khususnya kita yang penuntut ilmu agama. Sebagaimana yang sudah disinggung di paragraf pertama, menguasai bahasa asing merupakan jawaban dari tantangan zaman modern seperti hari ini.

Bagi seorang Azhari khususnya, kemampuannya tersebut dapat bermanfaat lebih untuk menyebarkan gagasan-gagasan moderat yang dibawa oleh Al-Azhar. Sebab satu hal yang harus kita yakini, yaitu gagasan yang Al-Azhar bawa ini dapat memperbaiki wajah Islam di mata dunia; Islam yang moderat, penuh kasih sayang, dan jauh dari perilaku anarkis.

Oleh karena itu, kalau bukan kita yang menyebarkan gagasan ini, siapa lagi? Kalau semuanya saling menunggu untuk memulai, pada akhirnya tak akan ada yang memulai. Toh, mempelajari Bahasa Arab bukan berarti kearab-araban, begitu pun mempelajari Bahasa Inggris bukan berarti kebarat-baratan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *