Bak menuangkan minyak tanah dalam api, gejolak akibat pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron dinilai menghina Islam dam menimbulkan kecaman dari banyak pihak, tak terkecuali Grand Syekh Azhar, Syekh Ahmad Tayyeb. Sejatinya, polemik ini dimulai sejak awal Oktober. Dilansir dari France24.com, (5/20), Presiden Prancis itu mengatakan Islam berada dalam krisis karena posisi ekstremisme yang menguat. Dia mengumumkan pemerintah akan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) pada bulan Desember yang bertujuan untuk memperkuat sekularisme di Prancis, melawan apa yang dia sebut sebagai “separatisme Islam” di negara itu.
“Islam di Prancis harus dibebaskan dari pengaruh asing,” katanya, menjanjikan pengawasan yang lebih baik terhadap pembiayaan masjid.
“Apa yang kita perlu lawan adalah separatisme Islam,” kata Macron, dalam pidato yang disampaikan di pinggiran barat laut Paris, Les Mureaux, dikutip dari Washington Post. Macron mengatakan separatisme Islam sebagai proyek ideologi politik-agama yang nyata dan terwujud melalui penyimpangan berulang dari nilai-nilai republik.
Kasus Kartun Nabi Muhammad Saw.
Tidak lama setelah menyampaikan pernyataan itu, sebuah tragedi terjadi pada Jumat (16/10). Seorang guru sejarah di Prancis, Samuel Paty (47), dipenggal di daerah Eragny oleh seorang pemuda pendatang dari Chechnya, Abdoullakh Abouyezidovitch (18).
Dilansir dari CNN.com, hal tersebut dipicu lantaran dia sempat membahas kartun Nabi Muhammad Saw. di dalam kelas yang kemudian menuai kontroversi. Topik pembelajaran itu lantas diceritakan oleh sejumlah murid muslim kepada orang tua mereka. Peristiwa itu pun ramai diceritakan di media sosial. Paty yang melihat unggahan itu kemudian sempat mengadu ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik.
Disis lain, Abouyezidovitch disebut melihat unggahan itu di media sosial dan merencanakan membunuh Paty. Dia lantas mendekati murid-murid di SMU du Bois d’Aulne untuk mengenali incarannya, dengan imbalan uang. Pemuda itu kemudian menyerang Paty saat pulang kerja hingga tewas. Abouyezidovitch kemudian ditembak mati oleh polisi karena dianggap mengancam lantaran membawa senjata mainan yang dikira senjata api.
Alih-alih menengahi, usai kejadian itu Macron langsung mendatangi lokasi. Dia menyatakan pelaku adalah seorang muslim radikal. Dia mengelukan Paty sebagai seorang martir karena mengajarkan kebebasan berpendapat.
Tak lama berselang, Macron kembali memantik perdebatan setelah menyampaikan pernyataan pada Jumat (23/10), pekan lalu. Dia mengatakan Islam adalah agama yang mengalami krisis di seluruh dunia lewat akun Twitternya.
Kecaman Grand Syekh Azhar
Atas berbagai pernyataan dan sikap Presiden Prancis itu, Grand Syekh Azhar, Syekh Ahmad Tayyeb mengutuk kampanye sistematis yang menargetkan Islam dan melibatkan simbol-simbol Islam dalam konflik politik. Pernyataanya itu diunggah melalui jejaring sosial Facebook dan Twitter pada Ahad (25/20). Ungahan dituliskan dalam bahasa Arab, Inggris, dan Prancis.
“Kami tidak akan menerima simbol agama kami menjadi korban kampanye pemilu di arena politik,” kata Syekh Tayyeb dilansir dari Ahram Online, Senin (26/10).
Syekh Tayyeb mengecam tindakan jahat yang menghina Nabi Muhammad Saw. Serta menolak segala bentuk penghinaan yang ditunjukkan kepada Nabi umat Islam.
“Saya katakan kepada mereka yang membenarkan penghinaan terhadap Nabi umat Islam, masalah sebenarnya terletak pada ideologi munafik dan agenda kecil kamu,” tegas Syekh Ahmad Tayyeb.
“Saya juga ingin mengingatkan anda (Presiden Prancis), bahwa tanggung jawab tertinggi seorang pemimpin adalah menjaga perdamaian sipil, serta menjaga kerukunan sosial, menghormati agama, menghindari perselisihan, dan tidak menyulut konflik atas nama kebebasan berekspresi,” tambah imam besar itu.
Ia menyebut, Islam tidak ada sangkut pautnya dengan pemenggalan seorang guru Prancis, Samuel Paty, pada Jumat lalu. “Sebagai seorang muslim dan Syekh Azhar, saya menyatakan bahwa ajaran Islam dan Nabi Muhammad tidak bersalah atas kejahatan teroris yang keji ini,” kata Syekh Tayyeb, dilansir laman Alarabiya.
“Tapi di saat yang sama, saya menekankan bahwa menghina agama dan menyerang simbol sucinya dengan dalih kebebasan berekspresi adalah sebuah standar ganda intelektual dan undangan terbuka untuk kebencian,” tegasnya.
Seruan Boikot Produk Prancis

Selain menuai kecaman, seruan untuk memboikot barang-barang Prancis berkembang di seluruh dunia setelah komentar Presiden Emmanuel Macron terhadap Islam dan muslim. Dilansir dari libyaobserver.ly, High Council of State (HCS) atau Dewan Tinggi Negara Libya telah menyerukan penghentian hubungan ekonomi dengan perusahaan Prancis, dan membatalkan kontrak Total Prancis untuk mengoperasikan ladang minyak Waha Marathon.
HCS juga mengutuk pembunuhan guru bahasa Prancis tersebut. Mereka menyatakan insiden itu bertentangan dengan ajaran Islam, dan akibat kebijakan rasis Macron.
Tidak hanya di Libya, aksi pemboikotan produk Prancis juga berlangsung di Kuwait dan Qatar. Dilansir dari republika.co.id, puluhan toko di Kuwait membuktikan pemboikotan dengan mengunggah foto di media sosial yang memperlihatkan sejumlah pekerja mengeluarkan keju olahan Prancis dari rak.
Kemudian di Doha, seorang koresponden AFP melihat sejumlah pekerja jaringan supermarket Al Meera mengeluarkan selai St. Dalfour buatan Prancis dari rak pada Sabtu (24/10) kemarin. Bahkan, mereka juga mengeluarkan ragi Saf-Instant.
Baca Juga Artikel lainnya: “Al-Azhar dan Perdamaian Antara Agama”