Oleh: Jaka Riansah
Penulis adalah Kru Manggalapedia Website Manggala 2021-2022
Bukan hal yang tabu ketika mendengar kalimat ‘Azhari’ beredar di kalangan Masisir. Biasanya kalimat ini sering disematkan kepada mereka yang merupakan lulusan Al-Azhar atau bahkan kepada mereka juga yang masih mengenyam pendidikan di kampus tersebut. Usut punya usut, ternyata hal ini merupakan bentuk penghargaan sekaligus kebanggaan tersendiri bagi orang tersebut, melihat kemasyhuran dan keagungan dari Al-Azhar itu sendiri.
Berbicara tentang Masisir, meskipun kepanjangannya sudah jelas Mahasiswa Indonesia di Mesir secara umum, tapi secara spesifik dimaksudkan untuk diaspora Indonesia yang mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo. Mengingat urgensitas dari memahami Masisir itu sendiri, penulis rasa tidak salah untuk menyingkap kembali esensi Masisir, terlepas dari hal-hal yang melekat pada mahasiswa itu sendiri.
Berikut mengenai kata ‘Azhari’, dalam sepengetahuan penulis secara hemat dapat dimaknai dengan dua hal: Pertama, seorang Azhari merupakan sekelompok mahasiswa yang sedang menimba ilmu atau alumni Universitas Al-Azhar.
Kedua, seorang Azhari adalah sekelompok orang yang disifati dengan “Berakidah Asy’ari, Bermazhab dalam Fiqh, Mengambil Tarekat Sufi dalam Tawajjuh-nya kepada Tuhan”, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Dr. Ali Jum’ah:
الازهري : اشعري العقيدة مذهبي الفقه صوفي التوجه
Secara sadar, pemahaman mengenai kata Azhari dan Masisir menggiring penulis ke dalam sederet pertanyaan; Siapa Azhari? Apa sangkut paut Masisir dengan kata itu? Apakah Azhari hanya dikhususkan untuk Masisir? Semisal benar, di mana keadilan Tuhan yang tidak menjadikan sebagian mahasiswa yang lain sebagai Masisir? Lalu, layakkah Masisir disematkan sifat tersebut?
Sebagai Masisir, penulis secara langsung ingin menjawab poin besar dari pertanyaan ini, mengenai kelayakan Masisir disematkan sifat Azhari. Namun, sejenak yang membuat penulis terdiam adalah kesenjangan yang disediakan dari pernyataan Syekh Ali Jum’ah, melihat realitas Masisir yang memang tidak memasuki kriteria dari pemaparannya mengenai Azhari. Hal inilah, yang pada akhirnya mendorong saya pribadi menulis artikel ini.
Meninjau pertanyaan pertama yang mempertanyakan Azhari, penulis menyuguhkan dua buah definisi yang secara eksplisit berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hal ini, karena penulis menganggap bahwa suatu hal boleh jadi disifati dengan lebih dari satu hal, mengingat bedanya cara bagaimana seseorang memandang hal tersebut.
Maka dengan anggapan ini, penulis ingin memaparkan beberapa kemungkinan: apakah ada kekeliruan dalam salah satu definisi tersebut sehingga mengharuskan kita memilih satu definisi dan menghilangkan yang lain? Atau kedua definisi tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda dan memungkinkan untuk disatukan? Bahkan boleh jadi kedua definisi tersebut salah?
Hemat penulis, mengingat sebuah kaidah yang dipaparkan mengenai sikap menghadapi dua hal yang bertentangan secara eksplisit, penulis menggunakan kaidah masyhur dalam Ilmu Hadits: الجمع مقدم من اسقاط احدهما, sebagaimana tinjauan saya dalam sisi lain mengenai nisbah antara dua pengertian ini merupakan ‘umum wa khusus wajhiy’, sehingga memberikan isyarat untuk menggabungkan dua definisi ini secara inplisit. Sampai sini paham?
Dari sini, penulis menganggap bahwa beberapa pertanyaan setelahnya memiliki kemiripan dalam hal sistematis pemikiran, dalam menjawab pertanyaan mengenai hubungan Masisir dan Azhari yang memiliki dinamika persis seperti pertanyaan sebelumnya, dan bagaimana menyikapi pertanyaan pengkhususan sifat Azhari untuk Masisir, yang merupakan disinformasi secara eksplisit. Begitu pun dengan letak keadilan Tuhan dalam klasifikasi kecenderungan kurang baiknya sanggahan manusia. Coba berpikir!
Setelah mengurai beberapa pertanyaan dan menjawab secara dramatis, saya mengajak pembaca kembali ke dalam jurang kebingungan yang merupakan kebohongan mengenai tanda tanya besar, “Layakkah Masisir dihukumi dengan kata Azhari?”
Hal ini secara eksplisit terjawab melalui tulisan teman saya dengan judul “Azhari Tapi Tak Bisa Menulis?” yang terbit di Manggala, sebagaimana juga dipaparkan secara jelas dalam tulisan sebelumnya di website yang sama tentang riset yang diadakan mengenai Minat Baca Masisir (MBM).
Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang akan menjadi perhatian bagaimana teman saya menyatakan sifat Azhari yang melekat dalam diri Pak Prof. Quraisy Shihab yang juga merupakan alumni Universitas Al-Azhar, dan keragu-raguannya mengenai ketidakpekaan menulis di kalangan Masisir yang bisa dikategorikan sebagai masalah. Namun dengan mengambil sudut temanya, maka Masisir ini masih dikategorikan sebagai Azhari.
Dalam hal ini, sangata jelas bahwa penulis memberikan sifat Azhari kepada Pak Quraisy Shihab dengan Masisir yang masih memiliki ketidakpekaan dalam menulis dari sudut pandang yang berbeda. Jika meninjau pengertian Azhari yang kedua, maka selayaknya masisir yang kurang peka dalam menulis tidak disifati dengan Azhari. Sudah paham?!
Oleh karena itu, urgensi dari memahami esensi Masisir itu sangat penting, sebagaimana pentingnya esensi Azhari yang menaungi besarnya nama Al-Azhar yang kini masyhur menjadi hukum untuk kata Masisir. Kemudian, hal inilah yang akan secara sendirinya mengalir bagaimana kelayakan Masisir dihukumi dengan kata ‘Azhari’.