Oleh: Defri Cahyo Husain
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Website Manggala 2021-2022
Beberapa pekan lalu, ada dua tulisan terbit di Website Manggala yang menyatakan bahwa tingkat minat baca Orang Indonesia masih rendah, berdasarkan data dari UNESCO yang menyebutkan Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia.
Dalam tulisan itu menekankan, menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Sisanya? Kebalikan dari itu, berarti 999 orang malas membaca.
Di sisi lain, saya juga menemukan studi yang sama, yaitu dari Program Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang Kemendikbud luncurkan sejak 2016 lalu, dengan 3 parameter yang menjadi faktor rendahnya tingkat literasi Indonesia: 1) minimnya akses baca di sekolah, 2) minimnya akses di masyarakat, dan 3) rendahnya perilaku membaca dibandingkan dengan mengakses media lainnya.
Berangkat dari situ, saya merasa tertarik membahas hal itu dalam ruang lingkup Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir)-apalagi saat ini (12/11/2021) adalah Peringatan Hari Gerakan Nasional Membaca, apakah benar Masisir termasuk dalam kategori ‘malas membaca’?
Narasi ‘Malas Membaca’ Hanyalah Mitos Belaka?
Data dari UNESCO dan banyak data-data lain yang serupa itu tentu sudah melalui penelitian empiris. Namun, saya sebenarnya sangat tidak setuju jika kita langsung mengambil kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia-dalam hal ini tentu Masisir termasuk-itu malas membaca, apalagi hal tersebut dijadikan faktor penyebab rendahnya tingkat literasi kita.
Terus terang, anggapan seperti itu bagi saya sangat gegabah dan terkesan menyakitkan. Untuk itu, mari kita coba menelisik kembali narasi pesimis berbunyi “Malas Membaca” yang telah diatur dalam mindset kita sejak lama itu.
Jika ditinjau dari segi terminologi, malas adalah rasa tidak antusias atau enggan mengeluarkan usaha atau energi. Faktanya, tidak ada seorang pun yang benar-benar enggan mengeluarkan usaha pada segala hal, termasuk membaca. Bahkan ketika menghindari untuk melakukan sesuatu pun, itu sudah merupakan bentuk usaha.
Jadi sejak awal sebenarnya narasi tersebut sudah keliru, alias hanya sebuah mitos belaka. Alih-alih menjadi fakta, ia justru mengurangi rasa bahagia, menjatuhkan harga diri individual/masyarakat, dan membuat orang yang dilabeli ‘malas’ menutup diri dari peluang mengembangkan dirinya.
Penelitian MBM Bantah Narasi ‘Masisir Malas Membaca’
Beberapa hari lalu saya mengadakan Penelitian Minat Baca Masisir (MBM) melalui angket yang telah disebarkan lewat Grup-grup WhatsApp (WA), Cerita WA, dan Pesan Siaran WA ke sebanyak 406 Kontak Masisir saya. Ternyata hipotesis saya benar, MBM itu membantah narasi berbunyi “Masisir Malas Membaca” yang sering saya dengar dari mulut ke mulut di kalangan Masisir sendiri.
Berdasarkan angket Penelitian MBM berbentuk google form itu, dari 141 responden, sebanyak 86% orang menyatakan senang membaca buku ataupun diktat kuliah. Terlepas dari alasan tidak semua Masisir yang berjumlah 10.000-an itu mengisi angket MBM; lupa, sibuk, angket itu tidak sampai kepadanya, atau apa pun, saya tetap berani mengatakan bahwa banyak dari Masisir yang suka membaca, dan sedikit yang tidak.
Lantas pertanyaannya, apakah rasa senang atau suka membaca buku itu akan berbuah menjadi tindakan? Tentu saja iya! Orang tidak akan suka jika ia tidak ingin melakukannya. Meskipun dalam sehari misalnya hanya bisa membaca buku beberapa menit saja: di waktu luang, tempat kegiatan, atau ketika di dalam bus sambil menunggu berhenti, setidaknya itu sudah merupakan bentuk tindakan membaca.
Hal itu terbukti juga dalam angket tersebut, sebanyak 76% orang menyatakan, setiap hari mereka menyempatkan membaca buku atau diktat kuliah walaupun hanya beberapa menit saja.
Dan tentu, selera baca masing-masing orang juga berbeda-beda. Ada yang lebih tertarik membaca buku-buku fiksi, seperti Novel, Antologi Cerpen, Antologi Puisi dll, ada juga yang suka membaca buku-buku nonfiksi atau diktat kuliah. Ketika membaca sesuatu yang bukan menjadi seleranya, kebanyakan orang pasti akan merasa bosan.
Berangkat dari semua itu, saya menilai, anggapan bahwa Orang Indonesia, Masisir khususnya, itu malas membaca adalah sesuatu yang gegabah. Kita sebenarnya bukan malas, hanya saja mungkin beberapa dari kita jarang punya waktu luang, atau minimnya akses untuk membaca buku-buku sesuai selera kita.
Urgensitas PMIK Bagi Minat Baca Masisir
Menyambung dari penjelasan saya di atas, salah satu faktor seseorang jarang bisa membaca adalah keterbatasan uang, dimana buku yang diminati barang kali terasa cukup mahal, sedangkan ia sendiri mungkin punya banyak keperluan penting juga yang harus dipenuhi.
Maka tak jarang orang lebih memilih jalan rasional dengan mengakses “Jual Buku Bajakan” yang harganya relatif lebih rendah dibanding aslinya. Bahkan, beberapa dari kita mungkin suka menikmati bacaan buku bajakan berbentuk soft file PDF yang bisa diunduh gratis di beberapa situs Web. Terlepas dari haram atau halalnya tindakan tersebut, saya tidak ingin membahas hukumnya di sini.
Tidak hanya itu, di era yang sudah serba-serbi digital ini, kita tentu mengenal yang namanya aplikasi iPusnas, dimana kita bisa membaca buku yang ada di situ, di mana pun dan kapan pun. Hanya saja, beberapa orang atau bahkan saya sendiri, mungkin merasa kurang menikmati bacaan dalam format digital, jika dibandingkan dengan membaca format kertas secara langsung.
Untuk itulah gunanya ada perpustakaan. Di kalangan Masisir sendiri, kita mengenal Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo (PMIK) yang terletak di lantai 4 gedung Wisma Nusantara, Rabea el-Adawea.
Namun sayang, PMIK yang harusnya menjadi solusi bagi mereka yang ingin membaca buku secara gratis atau tidak begitu menikmati bacaan digital itu justru tidak banyak dikunjungi. Hal itu berdasarkan Penelitian MBM tadi, ketika ditanya apakah tahu dan sering mengunjungi PMIK untuk membaca buku, 77% orang justru menjawab “tidak”.
Tidak hanya itu, saya juga meminta data dari staf PMIK sendiri sebagai perbandingan terkait jumlah kunjungan PMIK dalam dua bulan terakhir. Ternyata, saya menemukan di bulan September yang berkunjung ke sana hanya 267 kunjungan, dan bulan Oktober menurun jadi 137 kunjungan.
Saya mengatakan kunjungan, yah, bukan pengunjung, jadi dari jumlah itu terdapat kemungkinan adanya orang yang sama dengan waktu kunjungan yang berbeda. Sehingga bisa saya katakan, jumlah pengunjung PMIK masih terbilang sedikit.
Menurut saya alasannya sederhana: PMIK terlalu jauh untuk dijangkau oleh semua Masisir, apalagi bagi mereka yang tinggal di Darrasah. Apakah Masisir salah? Tentu saja tidak! Tidak ingin pergi ke tempat yang jauh bukan berarti kita malas membaca, ‘kan? Saya justru membayangkan, seandainya PMIK punya perpustakaan berjalan, atau setidaknya menerapkan sistem tausil (pengiriman) bagi yang ingin membaca buku, pasti daftar kunjungan atau peminjaman buku di situ akan meningkat.
Oleh karena itu, dari semua penjabaran di atas, saya berpandangan bahwasanya keliru besar jika secara tergesa-gesa kita menyimpulkan Masyarakat Indonesia atau Masisir khususnya itu malas membaca. Hal itu hanyalah mitos belaka.
Faktanya, sudah jelas bukan banyak dari kita yang senang membaca? Hanya saja faktor waktu, tempat, dan suasana itulah yang menentukan sering atau jarangnya kita membaca. Lagi-lagi, tergantung bagaimana cara kita ingin merealisasikan rasa senang terhadap membaca buku itu menjadi sebuah tindakan nyata. Allãhua’lam bishawwãb.