Oleh: Muhammad Rifky Handadari Raharjo
Penulis adalah Kru Esai Website Manggala 2021-2022
Mendapat gelar Azhari bukan hanya tentang pernah mengenyam pendidikan di Al-Azhar, tetapi juga bagaimana ruh Azhari yang telah diwariskan oleh para pendahulu tertanam dalam diri kita. Di antara ruh Azhari yang cukup melekat adalah produktifitas ulama-ulamanya dalam menulis kitab atau karya tulis.
Sebut saja Syekh Ali Jum’ah, yang telah menulis lebih dari 50 buku dan ratusan artikel, atau Prof. Quraish Shihab yang telah menulis tidak kurang dari 70 buku. Beliau-beliau ini pun sekarang masih hidup di tengah-tengah kita, yang artinya warisan ruh Azhari tersebut masihlah hidup.
Bisa menulis sendiri dimulai dari minat membaca. Lalu bagaimana minat baca Masisir sekarang ini? Teman saya, Defri, sebelumnya telah menyinggung mengenai hal ini dalam tulisannya yang berjudul ‘Masisir Malas Membaca, Mitos ataukah Fakta?’. Mengejutkannya adalah, tidak benar ungkapan yang mengatakan Masisir malas membaca. Bahkan dari 141 responden, 86% menyatakan senang membaca buku dan 76% masih menyempatkan diri untuk membaca buku.
Akan tetapi, mempunyai minat baca tidak lantas diartikan bisa menulis. Ada pun berapa persentase masisir yang bisa atau aktif menulis mungkin perlu penelitian lebih lanjut lagi. Namun saya tidak ingin membahas hal itu sekarang, yang ingin saya bahas adalah urgensitas kita sebagai Azhari atau Masisir secara khusus dalam hal menulis.
Tak dapat dipungkiri, karya tulis ilmiah atau buku selalu menjadi rujukan ilmu pengetahuan. Bayangkan jika para Azhari ini menulis sebuah tulisan yang membawa nilai-nilai kebaikan dari Al-Azhar dan menjadi rujukan umat. Oleh karena itu, menulis adalah salah satu wasilah dakwah yang dapat mencerdaskan umat. Tentu sudah menjadi tugas kita semua untuk membentengi kaum muslim di negeri kita tercinta dari pemikiran ekstrimisme ataupun liberalisme, dan menyebarkan pemikiran tawasuth (moderat) yang kita bawa dari Al-Azhar lewat tulisan adalah salah satu solusinya.
Sejarah pun telah membuktikan bagaimana sebuah rujukan ilmu pengetahuan dapat merubah suatu bangsa yang besar. Misalnya naskah-naskah asing dari Yunani yang diterjemahkan ke Bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah memberikan pengaruh yang begitu luar biasa terhadap ilmu pengetahuan dan ideologi masyarakatnya. Sampai-sampai mempengaruhi Al-Ma’mun, Khalifah kala itu, cenderung berpikir secara filosofis, khususnya filsafat Aristoteles (Jamaluddin, 2015: 78). Pemikirannya yang mengedepankan akal dirasa selaras dengan mazhab Muktazilah dan puncaknya ia menjadikan Muktazilah sebagai mazhab resmi negara kala itu.
Sebenarnya tidak perlu melihat terlalu jauh, mari kita lihat Negeri kita sendiri yang melarang dan membatasi ideologi Komunisme. Bahkan buku-buku yang berhaluan kiri tersebut dilarang dari peredaran. Atau mungkin kalau ingin melihat yang dekat dengan kita sebagai Masisir, tentu kita semua sudah mengetahui ada beberapa buku atau bahkan penulis yang dilarang karya-karyanya dijual di toko buku, seperti buku-buku yang berideologi Ikhwanul Muslimin (IM) atau yang ditulis oleh tokoh-tokoh IM tersebut, misalnya adalah buku karya Sayyid Qutb dan Syekh Yusuf Qaradawi.
Tak hanya sampai di situ, bahkan otoritas Mesir pun sampai melarang buku-buku yang dianggap berideologi ekstrimis tersebut di seluruh perpustakaan masjid yang ada di Mesir. Semuanya disebabkan oleh satu hal; trauma masa lalu yang dialami oleh suatu bangsa. Itulah di antara beberapa bukti bahwa ideologi atau pemikiran seorang tokoh yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan dapat mempengaruhi suatu bangsa dan menjadi rujukan dalam bertindak kedepannya.
Dari sini setidaknya dapat disimpulkan satu di antara beberapa urgensitas kita untuk mulai menulis. Karena semua yang mendapatkan kesempatan untuk menuntut ilmu di Al-Azhar kelak akan menjadi duta Al-Azhar di kampung halamannya masing-masing, dan tentu saja duta Al-Azhar bukan hanya sebuah icon belaka, melainkan juga sebuah tanggung jawab untuk menyebarkan moderasi beragama yang diajarkan oleh guru-guru kita di sini kepada masyarakat.
Karena penulis yakin, ajaran dari Al-Azhar ini tidak berlawanan dengan ideologi bangsa Indonesia, apalagi sampai merubah ideologi yang sudah ada. Oleh karena itu, dengan menjadikan tulisan-tulisan Azhari sebagai rujukan dalam beragama artinya kita ikut andil dalam menjaga dan merawat NKRI dari perpecahan.
Response (1)