Oleh: Fakhri Abdul Gaffar Ibrahim
Penulis adalah Penanggung Jawab Manggala 2021-2022
Berbicara mengenai konflik Rusia-Ukraina yang pecah menjadi konflik bersenjata 24 Februari lalu pada hakikatnya bukanlah hal baru. Sebelum perang di tahun ini terjadi, eskalasi ketegangan antara kedua pihak sebenarnya mulai memanas di tahun 2014, dimana wilayah Krimea masuk menjadi teritorial Rusia. Perang yang pecah kali ini merupakan perang Eropa yang paling masif dalam 80 tahun terakhir semenjak PD II, dimana Rusia melancarkan serangan skala penuh ke arah Ibu Kota Ukraina, Kyiv, dengan alasan demiliterisasi wilayah dan denazifikasi.
Ada hal menarik yang membedakan antara perang di abad lalu dengan sekarang, apa itu? Ya, perkembangan teknologi yang menjadikan informasi sebagai komoditi dan sumber daya yang strategis telah membuat adanya medan baru dalam konflik ini, yaitu Perang Informasi. Menariknya adalah banyak perusahaan Big Tech Company, seperti Google, Meta, Twitter, Space-X ikut secara langsung ke dalam konflik ini. Pertanyaannya adalah, seperti apa keterlibatan mereka dan apa yang harus kita waspadai dari mereka?
Akar Konflik Rusia-Ukraina
Sebelum kita membahas perang informasi atau media warfare dalam konflik ini, seyogyanya kita harus memahami akar konflik dari kedua belah pihak secara singkat. Rusia dan Ukraina berbagi sejarah yang panjang satu sama lain. Keduanya merupakan negara yang dominan pada abad pertengahan di wilayah Eropa Timur dan Baltik, bahkan pernah menjadi satu bagian dalam kekaisaran Rusia dan Uni Soviet. Keduanya menjadi entitas yang berbeda setelah Uni Soviet runtuh dan Ukraina menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1991.
Perlu digarisbawahi, Ukraina merupakan kawasan yang penting bagi Rusia dimana berbagai fasilitas nuklir Soviet dan jalur pipa Gazprom ke Eropa terletak di sana. Untuk itu mempertahankan pengaruhnya di wilayah adalah harga mahal bagi Putin. Hal ini pernah ditegaskan olehnya pada 10 Februari 2007, Putin menyampaikan pidato penting di Konferensi Keamanan Munich, dimana dia mengkritik ekspansi NATO pasca-Perang Dingin ke arah timur sebagai provokasi serius yang berisiko memicu perlombaan senjata dan melanggar janji Barat untuk tidak berkembang.
Jika kita melihat konflik ini dari perspektif realisme dalam studi Hubungan Internasional, yang mana berasumsi bahwa pada hakikatnya tatanan dunia ini terus bergerak ke arah anarki, dan masing-masing aktor internasional akan mempertahankan diri guna melestarikan eksistensi dan kepentingannya.
Maka tepat rasanya apa yang dikatakan oleh Robert Service, Profesor sejarah Rusia di St. Anthony’s Collage dan Oxford bahwa setidaknya ada kesalahan strategi yang menyebabkan krisis ini berujung bentrok senjata. Di antaranya: Kesepakatan strategis antara Amerika Serikat dan Ukraina pada 10 November 2021 yang mana di Section 2 dari kesepakatan ini membahas mengenai dukungan AS terhadap Ukraina untuk bergabung di Nato dan menegaskan kedaulatannya di Krimea. Hal ini bagi Putin merupakan provokasi atas kedaulatan Rusia.
Perang Informasi dalan Konflik Bersenjata Rusia dan Ukraina
Konteks perang di era ini semakin kompleks dan beragam dibandingkan satu abad lalu. Perkembangan teknologi informasi dan kerja sama ekonomi lintas teritorial meningkatkan ketergantungan satu pihak dengan pihak lainnya. Ini terbukti dengan terjadinya perang dingin setelah perang dunia dua yang secara tidak langsung berkonflik dengan senjata tapi dengan berbagai instrumen, baik itu Spy Warfare, Economic Warfare, Proxy Warfare maupun Media Warfare.
Media Warfare atau perang informasi setidaknya punya pengaruh yang signifikan, terutama dalam dua dekade ini, dimana perusahaan teknologi mempunyai pengaruh yang besar dibandingkan era-era sebelumnya. Hal ini semakin nyata terjadi pada dekade ini; media sosial Facebook dan Twitter pernah menjadi katalisator aktivis arab spring yang menghasilkan gejolak revolusi.
Kembali ke perang Rusia-Ukraina, ketika Rusia mulai melakukan serangan di tanggal 24 Februari 2022. Keesokan harinya, Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Transformasi Digital Ukraina, Mykhailo Fedorov menulis pesan kepada CEO Apple Tim Cook, untuk berhenti memberikan layanannya kepada Rusia, yang diunggah di Twitternya.

Tidak hanya Apple, Federov juga meminta perusahaan Big Tech lainnya untuk ikut berperang bersama Ukraina dalam menghadapi Rusia. Sebut saja Google, Netflix, Space-X dan Meta yang diminta untuk memberikan dukungan serta bantuan, baik berupa pemblokiran akses terhadap Rusia ataupun kemudahan akses bagi Ukraina.
Sementara itu mengutip dari reuters.com, Russia meminta para Tech Company untuk menyensor ketat media sosial dan arus informasi lainnya di dalam negeri. Terkhusus Google Alphabet Inc (GOOGL.O) berhenti menyebarkan apa yang disebutnya ancaman terhadap warga Rusia di platform berbagi video YouTube, sebuah langkah yang dapat menandakan pemblokiran layanan di wilayah Rusia.
Respons Big Tech Company dalam Konflik
Para raksasa teknologi telah memperlihatkan respons atas konflik ini. Sebagaimana Space-X Elon Musk dengan memberikan bantuan Starlink kepada Ukraina, sehingga negara tersebut masih bisa terhubung dengan internet, walaupun akses komunikasi telah dikuasai Rusia. Sementara itu, Microsoft telah bekerja sama dengan pemerintah Ukraina, dengan memberikan peringatan dari peretasan dan membatasi unduhan layanan media pemerintah Rusia dari platform aplikasi mereka.

Begitu juga dengan jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Youtube dari Google membatasi akses media yang dikelola oleh pemerintah Rusia ke platform iklan. Google juga menonaktifkan fitur yang menampilkan citra satelit dari Ukraina beserta jalan dan lalu-lintas di aplikasi Google Map. Selain itu, Google juga memblokir outlet-outlet yang pro Rusia untuk beriklan di Google adsense, sehingga itu menjadi pukulan tersendiri bagi pendapatan mereka.
Dari respons mereka terhadap permintaan kedua pihak, terlihat jelas bahwa keterlibatan mereka dalam konflik adalah hal yang nyata. Dari sisi yang dibela adalah Ukraina, karena memang mayoritas Big Tech Company ini dari Amerika yang notabenenya adalah NATO.
Standar Ganda Mereka dan Apa Artinya Bagi Kita?
Perusahaan-perusahaan dalam perang memang bukanlah hal yang baru. Sebut saja Gucci, Luis Vuiton dan Adidas yang pernah menjadikan seragam tentara Nazi Jerman paling stylish. Atau Rolls Royce dan Ford membuat mesin pesawat untuk sekutu. Namun ketika itu para raksasa industri tidak langsung terjun ke dalam medan konflik. Sementara dalam konteks perang informasi, tindakan yang diambil oleh para Big Tech Company yang kita bahas terjadi pergeseran, dimana mereka terlibat langsung dalam kemelut konflik.
Di sisi lain, kita dapat melihat betapa berpengaruhnya para raksasa teknologi ini, dapat dilihat dari permintaan Federov kepada mereka tepat setelah invasi berlangsung. Jelas sekali bahwa itu adalah isyarat kepada kita seberapa kuat dan berpengaruhnya mereka dalam perang ini. Bisa kita lihat, sekarang Informasi merupakan komoditi utama yang bisa digunakan untuk berbagai tujuan, bahkan sampai dengan invasi dan perang.
Lalu Apa artinya bagi kita? Perlu digarisbawahi bahwa kebanyakan perusahaan teknologi ini dimiliki oleh Amerika Serikat. Kita tahu bahwa kerap kali mereka tidak konsisten dengan nilai demokrasi yang katanya mereka usung. Melihat salah satu konflik global sebelumnya, mengutip dari theguardian.com, Facebook dinilai bertanggung jawab di Myanmar karena membiarkan ujaran kebencian tersebar dengan luas dan membuat 10 ribu warga Rohingya tewas.
Apakah perusahaan teknologi ini akan bergerak ketika itu berkaitan dengan kepentingan Amerika? Yang pasti berkaca dari peristiwa yang ada, kita tidak dapat berharap kepada mereka untuk menolong kita. Sebagaimana kita tahu kekuatan mereka bisa menjadi game changer geopolitik regional maupun global. Tanpa disadari, kita sudah bergantung dengan Big Tech Company ini. Bayangkan jutaan data pribadi rakyat Indonesia—yang bisa jadi adalah kita— sudah tersimpan rapi dalam database mereka. Mereka tau apa yang kita sukai, posisi tokoh kunci kita, kelebihan dan kekurangan masyarakat kita. Apa jadinya bila suatu saat ada bangsa atau pihak yang menggunakan mereka untuk menginvasi kita?