Oleh: Farid Hamdani
Penulis adalah Editor Majalah Manggala 2021-2022
Berbicara tentang literasi dan kebudayaan di era saat ini, khususnya saya pribadi melihat bahwa perkembangan zaman yang terjadi begitu pesat berdampak pada kedua hal tersebut. Entah dampaknya positif atau negatif, yang jelas kita sebagai anak bangsa mau tidak mau tentu dituntut untuk memelihara atau menjaga keduanya. Untuk itulah perlunya bagi kita menyegarkan kembali pemahaman literasi dan kebudayaan ini.
Sebelum lebih jauh lagi pembahasanya, saya ingin mengajak pembaca untuk mengenali apa arti kebudayaan dan literasi. Menurut KBBI, kebudayaan adalah pikiran, akal budi, atau suatu kebiasaan yang sukar diubah. Sedangkan literasi sendiri merupakan kemampuan menulis dan membaca.
Meskipun begitu, makna literasi sebenarnya memiliki pemahaman yang lebih kompleks dan dinamis, tidak hanya terbatas yang saya sebutkan di atas. Dari sini, saya ingin menegaskan bahwa budaya membaca dan literasi sangatlah penting, sehingga kita dituntut untuk tetap eksis terhadap kedua budaya tersebut.
Kita tau sejak munculnya peradaban manusia, literasi sebenarnya sudah ada, dalam artian bahwa budaya tersebut adalah cara manusia untuk berkomunikasi, Tentunya disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan zamannya. Bukti peradaban manusia juga tercatat pada prasasti, tulisan-tulisan di dinding gua, kitab, atau lembaran kulit binatang. Hanya profesi tertentu—seperti arkeolog atau ahli sejarah—yang bisa membacanya.
Peradaban dan kebudayaan manusia yang terus berkembang juga berpengaruh terhadap literasi. Mengapa demikian? Sebab menurut saya, literasi adalah sebuah cermin kebudayaan. Dengan kata lain, manusia yang melek literasi bisa dikatakan sebagai manusia berbudaya.
Selain itu, ia juga dapat dijadikan sarana menyebarluaskan budaya. Itulah mengapa saya tegaskan di awal bahwa literasi jangan hanya diidentikan dengan baca dan tulis saja, tetapi juga bisa dikatakan literasi budaya.
Membentuk literasi sebagai sebuah budaya bukanlah sebuah hal yang mudah. Masyarakat Indonesia menurut saya masih dominan dengan budaya lisan. Faktanya, orang bisa betah mengobrol atau berbicara berjam-jam, tetapi belum tentu kuat disuruh menulis atau membaca selama itu.
Aktivitas literasi akan melahirkan manusia yang berbudaya, baik itu budaya membaca, menulis, mengemukakan pendapat secara santun, membangun pikiran secara konstruktif, serta budaya-budaya lainya. Literasi yang baik tentunya adalah narasi yang dibangun bukan dengan ilusi atau fantasi, tapi berdialog dengan realitas yang terjadi.
Untuk itu, budaya membaca dan menulis merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Membaca misalnya; dapat menimbulkan pemahaman baru bagi si pembaca. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa hal itu memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan karakter atau pemikiran seseorang setelah lingkunganya.
Hal ini dikarenakan dalam tiap-tiap buku terdapat gagasan maupun konsep tentang suatu teori, khususnya teori sosial yang dikemukakan oleh para ahli dalam satu buku dapat menggugah jiwa pembaca sehingga menjadi penganut dari teori tersebut.
Namun bagi kaum kritis, buku selain untuk menambah wawasan, juga menjadi sarana perangsang untuk menimbulkan berbagai koreksi terhadap konsep yang matang. Dari berbagai konsep tersebut, kemudian dapat memicu lahirnya suatu konsep atau tesis baru dalam bentuk buku sehingga budaya pemikiran bergerak maju dan berkembang.
Begitu pun budaya menulis yang menjadikan seseorang bisa mencurahkan pikiran atau gagasan kepada semua orang, dimana dengan tulisan tersebut, ia dapat memberikan kontribusi yang sangat besar kepada lingkungan sekitarnya.
Namun ironisnya di balik semua itu, melansir dari Kompasiana.com, bahwa berdasarkan penelitian UNESCO, Indonesia menempati urutan kedua dari bawah soal literasi tingkat dunia. Artinya, data tersebut menunjukan betapa memprihatinkannya minat baca masyarakat Indonesia, hanya 0,001%. Bisa dikatakan dari 1000 warga Indonesia, hanya terdapat 1 orang yang rajin membaca.
Tidak hanya itu, berdasarkan studi most Littered Nation In The world yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal membaca dan menulis. Indonesia tepat berada dibawah Thailand yang berada diperingkat ke-59 dan di atas Bostwana yang berada di peringkat ke-61.
Di sisi lain menurut laporan perusahaan media asal Inggris dalam laporan “Digital 2021; The Latest Insight Inti The state of Digital” yang diterbitkan pada 11 Februari 2021 menyebutkan, jika diambil rata-rata keseluruhan, Orang Indonesia menghabiskan waktu 3 jam 14 menit sehari untuk mengakses media sosial.
Maka tak perlu heran jika saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang masih mudah sekali terjaring atau menjadi sasaran empuk dari beragam informasi hoax, provokasi, dan fitnah yang semua berakibat pada kegaduhan maupun kerugian.
Menumbuhkan kesadaran membaca sebenarnya dapat dimulai dari keluarga, setelah itu lingkunganya. Misalnya, orang tua menyediakan buku bacaan di rumah. Hal tersebut tentu saja diimbangi dengan kerelaan orang tua menyisihkan uang untuk membeli buku. Di sinilah peran orang tua sangat diperlukan untuk membangun budaya literasi.
Pada akhirnya, hanya individu berkualitaslah yang mampu bertahan dan menenangkan situasi serta mengembalikan kebudayaan membaca dan menulis. Di akhir, saya ingin mengingatkan kepada pembaca untuk tetap bisa menjaga budaya literasi dengan memulai membaca buku apa pun dan tulislah sesuatu yang didapatkan dari buku tersebut. Wallahu a’lam. Salam Literasi!