Hai Kamu! Mari kita memutar lagu lama yang tak pernah usang, sebuah kata yang terus diulang menjelang perpisahan dengan tahun. “Huft…” Begitukah nafas panjang yang terempas setelah dikecewakan deretan target yang disusun penuh semangat tahun lalu? Mungkin lebih tepatnya rencana pertemuan setiap akhir tahun dengan “si kecewa”. Ups… Jangan-jangan konspirasi yang benar tentang pandemi ini sebenarnya adalah kehendak Sang Mahakuasa agar 88% orang yang menjadikan resolusi sebagai ritual tahunan untuk melahirkan “nihil” terbungkam. Cukup sudah banyak omongnya, kapan mau direalisasikan?
“Manis ya kata-kata kamu. Tapi buat apa?” Setidaknya itu khayalan yang muncul saat membaca sebuah statement seorang psikolog mengenai jawaban dari pertanyaan yang sudah pasti diincar para ahli SEO, “Bagaimana agar resolusi tercapai?”
Banyak website menawarkan angka-angka yang barangkali bisa jadi keberuntungan, dari satuan hingga belasan. Tapi yang lebih memikat (setidaknya bagi saya) bukan jumlah, yang memikat adalah yang ber-hati.
Sang Psikolog menekankan, “Membuat resolusi / target itu justru lebih baik di hati. Percuma hanya dituliskan tapi tidak menstimulus untuk aksi. ”
Pernyataan itu mungkin saja sedikit mengguncang jiwa para plannerlover yang masih jatuh bangun untuk mencapai target yang telah dituliskannya. Tapi tenang saja. Menulis target, menata strategi sekalian journaling tetap bermanfaat, hanya saja kita perlu hati-hati atas pelepasan hormon bahagia yang telah menghadirkan perasaan palsu, memuaskan hati dengan menebak-nebak bagaimana rasa saat mencapai target-target itu. Bukannya melahirkan tekad, eh si hati malah bikin nyaman berleha-leha.
Kenapa harus hati, sih? Sebab ia yang melahirkan tekad dan menuntun pada aksi. Masih ingat dengan Azam? Masih dong.. Masisir pasti ingat. Itu lho, yang punya kode 3:159.
فإذا عزمت فتوكل على الله.
Allah berfirman:
“Maka Apabila kamu bertekad hendaklah bertawakal pada Allah.” (Qs. Ali Imran (3:159).
Imam Ath-Thabary bilang bahwa si Azam ini jika kita miliki (dalam bentuk tekad apapun) harus dilakukan dengan konsisten hingga sampai pada yang ditekadkan/ditargetkan.
Hai Kamu! 2021 telah kita masuki, tak terasa si kecil SARS-nCov-2 akan berusia setahun, ya. Penasaran sih apa resolusinya dia, apakah akan melakukan ekspansi lagi atau melakukan percepatan mutasi? Yang jelas resolusi kita sebagai manusia adalah meniadakan resolusi si virus itu. Kenormalan baru telah digaungkan, gelombang dua sudah mulai bergulir di beberapa tempat, kebijakan social distancing masih bercokol, tapi keramaian, keusilan, dan kelakar “Ah udah ga ada corona, ga usah takut” jangan buat kita berhenti sedia masker ya.
Harapan pandemi segera usai adalah andil kehendak-Nya dan seluruh elemen masyarakat. Selain paramedis, kita pun bisa turut andil tetap memperhatikan protokol kesehatan, minimal cuci tangan dan pakai masker.
Sebab esok belum pasti, lebih baik antisipasi. Paragraf ini terlalu serius ya?
Oke deh, Jika jiwa bebasmu merasa terkekang untuk melakukan perlawanan pada sesuatu yang tak tampak seperti si covid ini, anggap saja masker itu cuma buat sesekali berefleksi.
Ada untungnya pakai masker. Hidung kita (Masisir) yang tawadhu ini gak terlalu insecure lah kalo lagi bareng sama orang-orang pribumi. Meski sedikit tersendat, kurang lega bernafas, memang sesejuk apa sih Mesir? Pakai masker saat lewat di proyek pembangunan kubry, dijamin gak bakal nyesel bisa nangkis butiran debu.
Ada untungnya pake masker. Mulut kita yang komat-kamit ngedumelim khozinah yang antriannya gak ada habisnya bisa gak keliatan. Lumayan banget dong biar ga meresonansi energi negatif sama orang di sekitar kita.
Ujung-ujungnya keluhan itu hanya kita yang dengar, kembali ke hati dan ditunjukkan oleh nurani, bahwa koreografi yang diperlukan hanya melengkungkan bibir melawan gravitasi, ketemu deh hikmahnya.
Ada untungnya pake masker. Lagi-lagi si mulut gak bisa kongkalikong tanpa suara dengan mulut lain saat sedang merencanakan sebuah keusilan. Meskipun sakit hati ya, atas kabar duka Bapak Pejabat Bansos korupsi di saat seperti ini. Coba saja saat sebelum memangku jabatan pakai Bapaknya pake masker. (Bakal ga korupsi gitu? Jawab di hati masing-masing).
Ada untungnya pakai masker. Lagi-lagi (dan lagi) si mulut memang banyak banget kerjaannya. Kali ini dia gak bisa julid lagi pada ukhti-ukhti yang sudah lebih akrab dengan saudarinya si masker. Tidak hanya untuk objek tertentu, masker lumayan cukup untuk setidaknya menahan kita untuk mengucap kata-kata yang tidak berguna. Nampaknya itu lah kesempatan yang Allah beri agar mengurangi khilaf dalam berkata. Jangankan bisa terkekeh bersama, berdekatan saja perlu berjarak.
Demikianlah. Menyelaraskan diksi dan aksi tidak se-enjoy makan nasi. Tak ayal, berat di diksi ringan di aksi justru neraka yang menjadi konklusi. Lalu, tak perlu lagi kah kita membincang, berkoar, berderai kata, dan menuliskan resolusi?
Tidak juga.
Asalkan bisa seperti Tuan Shabir yang berlaku tulus dan mengaku tulus pada Hayati atau seperti kesaksian berdiksi dan beraksi ala Al-Mutanabbi yang abadi dalam syairnya dan membekas pada insan-insan di zamannya.
Selamat beresolusi!
Baca Juga Puisi Lainnya: “Ruang Relung, Assalamualaikum 2021”
Oleh: Resa Amelia Utami