Esai, Opini  

Menyikapi Posisi Sahabat dalam Perang Jamal dan Shiffin

Fitnah

Di balik gemilang masa para sahabat,  ada peristiwa yang memilukan berupa fitnah dan cobaan  dikenal sebagai Fitnah Kubro atau fitnah besar. Peristiwa ini dimulai dengan badai fitnah mengguncang hebat di masa pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan yang berujung pada terbunuhnya sang Khalifah. Kemudian badai fitnah itu menelurkan dua perang saudara yang memilukan, yaitu Perang Jamal dan Perang Shiffin. Ketika itu pedang yang terhunus di antara para sahabat adalah cobaan. Namun benarkah intrik tersebut dilatarbelakangi oleh ambisi merebut kekuasaan?

Baik Perang Jamal maupun Shiffin, keduanya terjadi pada tahun yang sama yaitu 38 H. Perang Siffin terjadi berselang 6 bulan setelah Perang Jamal, adapun persamaan secara garis besar kenapa terjadi adalah karena sebab orang munafik yang menebar fitnah di antara sahabat Nabi. Pertumpahan darah peperangan saudara itu terjadi dalam Islam. Sejarah mencatat Perang Jamal menghilangkan nyawa tidak lebih dari 200 orang. Adapun perang Shiffin ini setidaknya sampai merenggut 75.000 nyawa.

Peperangan ini bukan atas pilihan mereka, keluarnya mereka pada hari itu bukan akan melakukan peperangan, maka ada penyesalan atas apa yang terjadi setelah peperangan. Sebagai mana Sayyidah Aisyah sangat menyesal atas keputusannya untuk terlibat dalam perang melawan Ali. Baginya, itu merupakan kesalahan ijtihad dalam metode memperbaiki keadaan masyarakat. Di ambang wafatnya, Aisyah berkata, “Andai saja aku tidak pernah diciptakan di muka bumi ini, Andai saja aku adalah sebatang pohon yang bertasbih kepada Allah dan melaksanakan kewajibannya.”

Begitu pula Amirul Mukminin dalam al-Fitan, Nu’aim bin Hamad, Ali menyesali atas apa yang terjadi ketika melihat pedang telah disiapkan, dia berkata “Kalaulah sekiranya aku tiada dengan rentang waktu 20 tahun sebelum kejadian ini.”

Kembali kepada pertanyaan, benarkah intrik tersebut dilatarbelakangi oleh ambisi merebut kekuasaan? Dalam buku Tamam al-Minnah fi Fiqh Qital al-Fitnah Syekh Muhammad bin Abdullah al-Imam menegaskan, Perang Shiffin dan Jamal bukan bentuk dari ambisi kekuasaan dan politik atau karena motif duniawi. Insiden itu tak lain adalah fitnah dan cobaan. Kita tentu tidak diperkanankan untuk berburuk sangka terhadap sahabat. Apalagi terburu-buru memukul rata bahwa karakter sahabat enggan berdamai dan memilih jalan konflik.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw bahwa al-sahabah kulluhum udul. Sahabat, tetap menyandang gelar udul, berintegritas dan kredibel, meski mereka terlibat dalam fitnah tersebut. Sunni memandang posisi sahabat sangat strategis dan vital. Bangunan risalah yang diturunkan dari Rasulullah Saw secara turun menurun itu memosisikan sahabat sebagai muara dan hulunya. Menyerang sahabat, sama saja meruntuhkan fondasi itu.

Dalam kitab Risalah ila Ahl ats-Tsughr karya Imam Abu Hasan al-Asy’ari, konflik yang menimpa sahabat baik pada Perang Jamal, atau Perang Shiffin tak serta merta menggugurkan hak-hak istimewa mereka. Para ulama Sunni sepakat untuk tetap berbaik sangka dan tidak menghujat mereka. Ia juga menjelaskan dalam Kitab al-Ibanah fi Ushul ad-Diyanah bahwa insiden antara Ali bin Abi Thalib, Zubair bin al-Awwam dan Aisyah, atau antara Ali  dan Muawiyah itu murni dilatarbelakangi oleh ijtihad, dan bukan ambisi duniawi.  Mereka adalah para ahli ijtihad dan bukan tertuduh. Allah SWT dan Rasul-Nya telah memuji para Sahabat. Jangan sampai terjerumus untuk mencela mereka.

Apa yang dilakukan para sahabat tak bisa dikategorikan sebagai fasik atau kafir karena dalam konteks ijtihad, tidak bisa divonis sesat atau keluar dari agama. Para Ulama Ahlu Sunnah berkesimpulan untuk menahan diri serta berhati-hati, atas apa yang terjadi antara para sahabat Nabi. Pun, rida pada mereka semua, serta berkeyakinan bahwa mereka juga berijtihad dalam mencari kebenaran yang jika benar mendapat dua pahala, dan jika salah mendapat satu pahala.

Imam Hasan Al-Bashri ditanya tentang perang saudara yang terjadi di antara para sahabat Nabi, beliau menjawab: “Perang saudara itu yang mengalaminya para sahabat Nabi Muhammad dan kita tidak, mereka mengetahui dan kita tidak. Mereka bersepakat dan mengukuti mereka tepat bagi kita. Mereka berselisih dan diam diri tepat bagi kita.”

Sudah sepatutnya hadirnya sejarah menjadi pelajaran bagi umat setelahnya. Begitu pula yang dilakukan oleh umat setelah para sahabat, seperti tabi’in dan pengikut tabi’in, dan semoga kita pula menjadikannya pelajaran. Bahwa para sahabat Nabi lebih tahu tentang apa yang terjadi di antara mereka. Kita cukup mengikuti apa yang mereka sepakati, dan diam dari apa yang mereka perselisihkan.

Bagaimanapun, sahabat Nabi juga manusia. Di samping begitu banyaknya kontribusi serta keutamaanya, mereka tetap berijtihad mencari kebenaran. Allah menginginkan hal lain dari mereka, ketika mereka dibebani semua ujian berat ini. Semoga kita tidak menyia-nyiakan pelajaran ijtihadnya mereka, apalagi sampai menuduh dan berkomentar yang tidak-tidak.

Baca Juga Artikel Lainnya: “Tiga Peristiwa Heroik dalam Perang Dzatu Riqa’

Wildan Ilham Al-Farisi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *