Esai, Opini  

Pers Masisir Ataukah Kearifan Lokal yang Butuh Undang-undang?

pers masisir

“Media dituntut oleh UU untuk memberikan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Pejabat juga harus belajar menilai media secara benar. Media mana yang dituduh over dosis. Saya khawatir media-media yang dituduh itu justru yang profesional, yang melakukan kontrol dan investigasi.” (Pers Berkualitas, Masyarakat Cerdas, Bekti Nugroho Samsuri, 2013). Begitulah ucapan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika memberikan sambutan, mengajak pers Indonesia untuk melakukan refleksi, dan menyatakan dukungan kepada kemerdekaan pers.

Saat ini di kalangan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir), sedang hangatnya isu pembentukan Undang-undang (UU) Pers bagi insan pers Masisir dan tim satgas UU Pers yang telah dibentuk oleh Badan Perwakilan Anggota (BPA) PPMI Mesir beberapa waktu lalu. Saya mendengar langsung dari ketua tim satgas UU Pers sendiri, ketika kumpul bersama perwakilan media-media Masisir dan tim satgas, alasan dibentuknya tim satgas untuk merancang UU Pers itu dikarenakan adanya aspirasi dari beberapa media yang ingin menggolkan UU Pers Masisir.

Dari sini saya bertanya-tanya, apakah benar perlu menggolkan UU Pers di kalangan Masisir, padahal di Indonesia sendiri sudah ada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengaturnya secara terperinci? Lalu, beberapa waktu lalu juga ada beberapa dari kita yang menyuarakan aspirasinya soal kearifan lokal, bukankah itu perlu yang namanya UU juga?

Asal Muasal Munculnya Aspirasi untuk Menggolkan UU Pers

Sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita bahas dulu asal muasal mengapa muncul aspirasi beberapa orang dari kita untuk menggolkan UU Pers. Aspirasi tersebut sebenarnya sudah lama muncul, tetapi baru disambut baik setelah adanya isu pemberitaan kasus Asusila Masisir yang beberapa waktu lalu sempat diterbitkan oleh salah satu media di Masisir.

Faktanya, reaksi terhadap pemberitaan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Pihak pro mendukung adanya pemberitaan itu dengan alasan fungsi media sebagai kontrol sosial, agar kita berpikir seribu kali jika ingin melakukan perbuatan yang sama. Sedangkan pihak kontra mengatakan tidak boleh memberitakan hal privasi seperti itu dengan alasan kearifan lokal melarangnya, agar Masisir—khususnya yang sudah jadi alumni—tidak dipandang buruk di mata masyarakat di Indonesia.

Menurut saya, sangat wajar jika dalam sebuah pemberitaan—apalagi berita yang kontroversial—menimbulkan sikap pro dan kontra. Namun sangat disayangkan, ketika beberapa orang dari kita yang kontra, mendiskriminasi orang-orang yang pro, khususnya pihak media yang memberitakan itu.

Saya setuju jika hanya sekadar adu argumen. Tetapi yang terjadi justru perlakuan yang berbeda terhadap pihak media yang memberitakan, misalnya diundang ke sana-ke mari tanpa menggunakan regulasi yang ada—yaitu mengirim surat undangan dengan menyertakan posisinya sebagai apa dan hubungannya terhadap berita yang diterbitkan, apalagi pihak yang mengajak ketemu adalah orang dari lembaga perwakilan masyarakat. Tidak hanya itu, bahkan sampai ada perencanaan tidak sehat yang menurut saya malah melukai hak tiap orang dalam bermasyarakat dan bermedia.

Kearifan Lokal Ataukah Egoisme yang Salah Kita Artikan?

Saya pernah berdiskusi dengan beberapa teman saya terkait pengertian kearifan lokal. Rata-rata dari mereka menjawab kurang lebih sama dengan yang umum dikemukakan oleh Wikipedia: “Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri.”

It’s fine. Saya pun memahami itu. Namun yang masih menjadi pertanyaan saya hingga saat ini  adalah, kapan kearifan lokal bisa disebut dengan kearifan lokal? Jika dalam kasus di atas saja masih ada sikap pro dan kontra, bisakah itu disebut kearifan lokal? Tentu di masing-masing daerah pasti berbeda-beda kearifan lokalnya, tapi ketika kita masuk ke kearifan lokal seluruh Masisir, bukankah harus ada persetujuan dari semua elemen Masisir bahwa itu adalah kearifan lokal?

Saya kasih contoh saja soal larangan kepada orang asing menyoroti isu militer dan politik Mesir. It’s oke, kita semua sebagai orang asing yang berada di Mesir sepakat bahwa hal tersebut dilarang, kearifan lokal kita mengatakan demikian. Lantas, mengapa pemberitaan yang masih menimbulkan pro dan kontra itu, beberapa dari kita menyebutnya kearifan lokal tanpa adanya persetujuan yang jelas dari semua Masisir?

Contoh lain, beberapa waktu lalu, ada berita dari media yang sama, yang mengkritik KBRI Kairo karena waktu itu belum menyediakan Safe House bagi WNI yang terdampak Covid-19. Dari yang saya lihat waktu itu, banyak dari Masisir yang ikut membagikan dan mendukung pemberitaan tersebut, dikarenakan mereka tidak termasuk dari bagian yang dikritisi.

Ada juga berita yang terbit di media lain di Masisir, tentang rekan-rekan Indonesia di asrama Buuts yang mendapat teguran dari Penasihat Grand Syekh Al-Azhar, yang menurut salah seorang teman saya di Buuts, itu merupakan aib bagi mereka. Jadi pertanyaan saya, mengapa tidak ada larangan atau kearifan lokal terhadap dua contoh berita di atas itu? Apakah hanya jika kita termasuk dari orang yang dikritisi, baru beberapa dari kita akan menyebutnya sebagai kearifan lokal?

Saya curiga, jangan sampai kearifan lokal yang selama ini kita gaung-gaungkan justru salah kita artikan. Untuk itu, saya tertarik sedikit membahas hal tersebut dengan teori yang dikemukakan Rachel (2004); Egoisme. Ada dua konsep yang ia perkenalkan berhubungan dengan egoisme, yaitu egoisme psikologi dan egoisme etis.

Egoisme psikologi menurutnya adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri, dengan tidak adanya tindakan yang sesungguhnya bersifat altruisme, atau tindakan yang mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan kepentingan dirinya. Sedangkan paham egoisme etis  adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri. Jadi yang membedakan ‘tindakan berkutat diri’ dengan ‘tindakan untuk kepentingan diri’ adalah pada akibatnya terhadap orang lain. (Teori-teori Etika Lengkap dengan Penjelasannya, paridoartikel.blogspot.com, diakses pada 15 Desember 2020)

Dari penjelasan di atas saya mulai waswas, jangan sampai kita yang berkutat dengan kepentingan nama baik kita di mata orang lain, dengan tidak memedulikan hak dan fungsi media sebagai kontrol sosial, malah masuk dalam kategori egoisme psikologi—yang menurut saya tidak baik, lalu bersembunyi di balik kearifan lokal.

Kemudian media yang mementingkan hak dan kewajibannya ketika melihat sebuah isu, lalu menimbulkan dampak kontrol sosial bagi kepentingan publik, justru masuk dalam kategori egoisme etis—yang menurut saya baik. Lagi-lagi hal ini kembali ke kutipan mantan presiden SBY yang saya sampaikan di awal tulisan ini, yaitu kekhawatiran beliau terhadap media-media yang dituduh justru adalah media yang melakukan tindakan profesional.

Salah satu cara profesional yang dimaksud—dalam pasal 2 Kode Etik Jurnalistik juga menyinggung hal tersebut—memang menghormati hak privasi. Namun, hak privasi yang bagaimana dulu? Buku Pers Berkualitas Masyarakat Cerdas sendiri menjelaskan, keharusan pers menghormati hak privasi bukan berarti pers sama sekali dilarang memberitakan kehidupan pribadi. Sepanjang kasus privasi tersebut dinilai menyangkut kepentingan publik, pers dibenarkan mengungkapnya.

Masisir sebagai Representasi Indonesia

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, kita (Masisir) adalah bagian dari Indonesia yang untuk sementara waktu menetap di Mesir, dan suatu saat pasti akan kembali ke tanah air. Juga, Indonesia merupakan negara demokrasi. Maka secara logika dapat saya katakan, kita (Masisir) adalah bagian dari negara demokrasi. Jadi, apakah etis jika kita kembali ke Indonesia nanti, tapi kita selama di Mesir saja tidak menghargai yang namanya demokrasi, dan lebih memilih memperturutkan egoisme psikologi kita? Dalam hal ini, tentu yang saya maksud adalah pers, yang mana di Indonesia sendiri sudah diakui sebagai pilar demokrasi keempat.

Begitu juga dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers itu, tentu sudah sesuai dengan ideologi, hukum, dan kearifan lokal yang berlaku di seluruh masyarakat Indonesia, tidak hanya di beberapa daerah saja. Jadi, bukankah sudah seyogyanya kita mengikut UU dan kearifan lokal berlaku di Indonesia secara umum? Kalaupun nanti ada kearifan lokal khusus yang hanya ditemukan di kalangan Masisir, tidak apa-apa, asalkan ada kejelasan apakah semua Masisir sepakat bahwa itu adalah kearifan lokal atau tidak.

Berdasarkan data yang saya dapat dari tim satgas UU Pers BPA PPMI Mesir, salah satu kajian aspirasi mereka untuk menggolkan UU Pers Masisir adalah kearifan lokal. Namun jika kearifan lokal di Masisir saja masih belum jelas, buat apa menggolkan UU Pers Masisir? Untuk itu menurut saya, hal yang harusnya kita lakukan sekarang ini bukanlah menggolkan UU Pers Masisir, tetapi mensosialisasikan dan memahamkan Masisir tentang UU Pers yang sudah final dan berlaku di Indonesia itu.

Oleh karena itu hemat saya, UU Pers memang sangat penting, tapi tidak perlu untuk membuat UU Pers baru di Masisir, karena sudah ada UU Pers yang berlaku di Indonesia. Sesuatu yang sangat memerlukan UU sekarang ini menurut saya adalah kearifan lokal tadi, karena tidak adanya kejelasan terkait hal itu. Tentu saja, ketika saya bilang “Kearifan lokal membutuhkan UU”, tidak secara harfiah benar-benar butuh UU, tapi secara makna, kearifan lokal itu benar-benar butuh kejelasan. Allãhu a’lam bishawwãb.

Baca Juga Artikel Lainnya: “KPI: Komoditas Media Masisir?”

Oleh: Defri Cahyo Husain

Penulis adalah pimpinan redaksi Majalah Manggala 2020/2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *