Esai, Opini  

KPI: Komoditas “Media” Masisir?

KPI: Komoditas “Media” Masisir?

Tak ada angin tak ada hujan, sebulan yang lalu terbit sebuah tulisan menggelitik yang dipublikasikan di kolom surat pembaca salah satu media yang ‘punya nama’ di Masisir. Saat presiden inisiatornya pun baru saja demisioner, tulisan itu hadir amat heroik mewakili suara-suara sumbang yang mengiringi rebornnya KPI (Komisi Peduli Interaksi) ke lingkungan Masisir secara praktis, dan tidak lagi berupa lembar SK BPA-MPA tahun 2006. Bagai banjir yang datang tiba-tiba, narasi yang membawakan tema “KPI mengganggu Ruang Privasi Masisir” amat mengusik benak, padahal sebagai saksi hidup perjalanan KPI hingga dapat dikatakan setahun pertamanya sudah harmoni, bagaimana bisa masih ada sumbang seperti itu?

Namun, sebagaimana yang saya dapat dari hasil diskusi dengan rekan editor Majalah Manggala KPMJB, sebuah opini tidak dapat bernilai hitam-putih, salah atau benar. Begitu juga yang dikatakan Ketua KPI saat saya memintanya untuk menghubungi direksi media terkait, untuk segera melakukan take down  terhadap opini yang sebagian besar data pendukungnya tidak relevan dengan kondisi terkini saat opini tersebut dipublikasikan.

Setelah dilakukan upaya tabayyun, direksinya mengatakan bahwa opini serta data yang tercantum di dalamnya merupakan hasil dari reportase bulan November tahun lalu, dan postingan itu dimaksudkan untuk memenuhi target tahunan dan melengkapi Laporan Pertanggung Jawaban. Mendengar informasi itu saya tak habis pikir, pun membawa ingatan pada reportase media lain di Masisir yang memuat informasi yang salah pada dua acara yang saya terlibat di dalamnya. Apakah demikian, rupa integritas dari jurnalis-jurnalis yang lahir dari “waktu sisa” perjalanan menimba ilmu di rahim kampus yang memeluk erat nuansa Islam?

Tulisan itu telanjur membawa kilas balik yang coba saya ingat kembali, saat diamanahi menjadi salah satu delegasi Wihdah dalam mewujudkan KPI. Gejolak pro-kontra memang benar-benar terasa, bak seorang pasien yang memiliki penyakit baru di dunia medis, kondisi sang pasien yang mengkhawatirkan perlu tindakan paramedis, meskipun pada kenyataannya diskusi mereka mungkin belum usai bahkan untuk menentukan itu penyakit berbahaya atau bukan. Begitulah, yang terjadi di meja diskusi para senior di Forum Dialog Masisir (FDM) dan eksekutif Masisir, dalam upaya menyembuhkan suatu kondisi baru yang dianggap anomali.

Forum MLC (Masisir Leader Club) saat itu menjadi ajang bagi berbagai elemen Masisir dalam  menyuarakan aspirasinya mengenai kondisi anomali yang harus menjadi tanggung jawab bersama. Pada momen ini tim KPI menyerap sedemikian rupa gegap gempita persetujuan dan gelegar amarah penolakan untuk membuat divisi khusus yang menjadi ujung tombak penyelesaian permasalahan yang ada terkait interaksi. Sehingga poin-poin yang sekarang telah baku menjadi batas-batas interaksi benar-benar dipertimbangakan secara matang dari hasil diskusi MLC, serta beberapa audiensi terhadap berbagai ormas afiliasi di Masisir, kekeluargaan, dan senior.

Adapun batas-batas interaksinya sebagai berikut:

  1. Tidak berduaan di salah satu tempat berikut: tertutup, sepi, gelap, dan jauh dari pandangan orang;
  2. Tidak berduaan di tempat umum tanpa ada kepentingan syariat dan/atau adat;
  3. Pertemuan yang tidak sesuai dengan batas-batas interaksi seperti: membuka aurat, memandang aurat, dan kontak fisik;
  4. Perkumpulan berpasang-pasangan dengan lawan jenis secara sengaja tanpa ada kepentinngan yang dibenarkan syariat dan/atau adat;
  5. Batas-batas di atas berlaku juga untuk Presiden dan Anggota KPI.

Poin-poin di atas tak ubahnya sebuah intisari dari Al-Quran dan al-Sunah  yang jamak diketahui telah mengatur sedemikian rupa tentang interaksi antar sesama manusia baik sesama jenis atau lawan jenis. Adakah poin yang mengganggu privasi? Bahkan jika boleh mengutip tulisan penulis dari opini itu yang menyebutkan bahwa “KPI seakan menyerupai polisi syariat atau Emak-emak yang berusaha mengatur ketat pergaulan anaknya” adalah sebuah wacana yang sangat diwanti-wanti oleh Pimpinan BPA PPMI Mesir 2019-2020 untuk tidak menjadi model KPI, pada pertemuan pertama sejak Tim KPI dibentuk. Barangkali penulis out of record tentang ini.

Perwakilan media masisir pada saat MLC mengungkapkan bahwa anomali yang terjadi baiknya tidak dijadikan sebuah komoditas redaksi, sebab ia akan merusak citra Masisir terlebih dunia daring tidak pernah bisa memberi batas teritori bagi pembaca Masisir saja. Namun, pada kenyataanya KPI seolah menjadi kudapan hangat dalam setiap dialog, bukan hanya media. Seperti munculnya meme, dan gurauan tentang “Awas ada KPI!” di beberapa kelompok mahasiswa yang hendak berkegiatan di malam hari. Pernah juga ada yang mengkambinghitamkan KPI dalam sebuah peristiwa peneguran pasangan suami-istri yang tengah berjalan di malam hari. Padahal tindakan menegur tersebut keluar tidak ada dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) KPI. KPI seringkali menjadi target tuduhan setiap kebijakan yang “sensitif”, tak terkecuali kebijakan jam malam yaang menjadi garapan tim Keamanan PPMI yang juga diinisiasi oleh Keputrian Nusantara bersama Wihdah PPMI Mesir.

Dengan segala dinamika yang telah dialami selama setahun proses reborn itu saya ingin sekali menjawab pertanyaan banyak orang tentang satu hal, pertanyaan yang sama dari sebuah vlog Masisir yang berisi dialog dengan Ketua LBH yang berfokus pada keadilan terhadap perempuan. Sang moderator bertanya, “Untuk apa ada KPI?” Setelah sang ketua mengaku bahwa di antara tim KPI beberapa kali melakukan konsultasi kepada lembaganya. Padahal memang banyak pihak yang dirujuk tim KPI untuk dapat bergerak sesuai syariat dan seobjektif mungkin.

Jadi untuk apa ada KPI? Jika orang-orang apalagi mahasiswa yang notabene sudah dewasa tahu betul hukum interaksi yang benar sesuai islam? Izinkan saya pun bertanya, untuk apa pemerintah Indonesia membentuk KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) jika para penguasa itu tahu bahwa di dalam teks, adat, dan agama mana pun mencuri adalah hal yang tidak bisa dibenarkan? Realitasnya, korupsi itu benar terjadi, pun anomali dalam berinteraksi pun telanjur terjadi.

Lebih dari itu, Masisir sebagai mahasiswa Indonesia yang mayoritas berkampuskan Al-Azhar, sudah tahu betul bagaimana peranannya sabagai hamba. Bukan sekadar untuk beribadah, tetapi juga amanah untuk berdakwah, menjadi duta-duta Al-Azhar dalam menyebarkan indahnya rahmat Islam ke seluruh penjuru dunia. Adanya KPI tak ubahnya sebuah representasi dari Qs. Al-Ashr ayat tiga, tentang kemestian saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, bukan saling menghakimi.

Maka dari itu, keberadaan opini yang sampai saat ini (08/08) telah mencapai 222 views itu sangat disayangkan untuk menjadikan KPI sebagai komoditas, dan dipublis hanya karena melengkapi Laporan Pertanggung Jawaban, terlebih narasi yang dibawa amat bertentangan dengan prinsip organisasi Islam yang menaungi media tersebut.  Sebuah PR besar bagi kita yang hendak menekuni bidang jurnalitik tetapi memiliki identitas Islam untuk bertindak secara adil dan menempatkan dengan tepat indenpendesi sebuah media.

Penulis berdalih bahwa dengan isu kemunculan KPI ini PPMI di bawah Presidennya pada periode 2019-2020 dianggap terlalu ikut campur segala aspek dan abai terhadap kegiatan berbau akademik dan keilmuan. Untuk membantah ini rasanya saya tidak terlalu bernafsu, tapi harusnya PPMI juga digugat karena telah melakukan kegiatan promosi budaya seperti atmosfer Indonesia, dsb, padahal itu sudah jadi tanggung jawab Atdikbud KBRI.

Menjadi seorang mahasiswa, beban moral kita bukanlah sekadar memenuhi tanggung jawab akademik tapi lebih dari itu adalah mengimplementasikan teori-teori yang dipelajari ke dalam kehidupan sehari-hari. Dan interaksi adalah adalah bentuk nyata dari teori mengenai moral yang dipejari institusi pendidikan formal. Jika boleh mengutip perkataan seorang teman,  mahasiswa tidak terbatas pada akademik tapi juga social movement, mahasisawa terjun ke lingkungan di sekitarnya dan melakukan analisis dengan kritis terhadap setiap permasalahan yang terjadi.

KPI sebagai lembaga khusus yang dikendalikan langsung oleh Presiden PPMI dapat berhenti dan berlanjut sesuai kebijakan Presidennya. Pada periode 2020-2021 ini Presiden PPMI suportif atas eksistensi KPI. Maka dari itu, diharapkan opini serupa yang menjadikan KPI sebagai komoditas tidak ada lagi. Lagi pula, berhenti saling mengingatkan sebab bias ‘mengganggu privasi’ akankah dapat menjamin kelak kita terbebas dari pertanyaan Allah, Mengapa saudaramu kaubiarkan maksiat? Wallahu a’lam bishawwab.

Baca Juga Artikel Lainnya: “Masisir di Darrasah Suspect Covid-19”

Oleh: Resa Amelia

Penulis adalah Divisi Kajian dan Riset Komisi Peduli Interaksi (KPI) PPMI Mesir 2019-2020, Ketua PII Wati Mesir (Pelajar Islam Indonesia) 2018-2020, dan Pemimpin Redaksi Buletin Wihdah PPMI (2020-2021), Kru Terobosan 2017-2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *