Esai, Opini  

Revitalisasi Peran Santri untuk Ibu Pertiwi

Sebagaimana yang kita ketahui, tanggal 22 Oktober adalah hasil yang didapat oleh kaum santri dan para alim ulama atas jasa besar mereka dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Penghormatan yang diberikan negara melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 ini ditetapkan kemudian sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Alhasil, Oktober pun disemarakkan oleh berbagai bentuk acara ke-santri-an di setiap tahunnya.

Akan tetapi di tahun 2020, semarak peringatan HSN agaknya tak seramai tahun-tahun yang lampau. Tentu kita sadar akan fakta bahwa pandemi yang sudah bertegur sapa sejak hampir sepuluh bulan silam, yang akhirnya memaksa aktivitas khalayak menjadi terbatas di dunia maya. Maka, adalah keniscayaan bahwa peringatan HSN menjadi salah satu korbannya.

Seperti tidak cukup hanya menjadi korban pandemi, peringatan HSN juga menjadi korban dari kemeriahan demontrasi menolak RUU Ciptaker yang baru saja disahkan oleh DPR RI. Maksud saya begini, jika kita melihat trending topik twitter sejak awal Bulan Oktober, tagar-tagar yang muncul bukanlah #HariSantriNasional2020 atau semacamnya, akan tetapi tagar seperti #TolakOmnibusLaw, #DPRRIKhianatiRakyat, dan tagar-tagar sejenis. Tapi tenang, tidak separah itu, kok! Setidaknya di hari-H HSN tagar #HariSantriNasional2020 masih masuk top ten trending twitter.

Kembali ke pembahasan awal. Di sini saya mencoba melihat dua fakta yang sama-sama terjadi di bulan Oktober di tahun 2020, yaitu kontroversial RUU Ciptaker dan HSN. Tak bisa dipungkiri bahwa problem-problem kontroversial yang terjadi dalam lingkup negara bisa dianggap sebagai sebuah batu hambatan. Dan yang namanya “problem”, esensinyaa pasti akan terus bertambah dan menumpuk menjadi gunung apabila tidak dibersihkan hingga tuntas.

Nah, jika kita mecocokkan fakta dengan analogi ini, maka gunung itu ibarat kejatuhan eksekutif negara. Bisa kita bilang, Ibu Pertiwi hari ini tidaklah dalam keadaan yang stabil karena banyaknya batu-batu hambatan yang terus bermunculan tanpa adanya pembersihan.

Pertanyaannya, kita para santri, di mana peran kita?

Santri dalam Sejarah

Jauh sebelum kemerdekaan, saat Nusantara masih dikuasai dan dimonopoli oleh kolonial, para ulama dan santri adalah pihak yang selalu memegang teguh prinsip anti penjajahan. Prinsip ini dibangun di atas pijakan bela agama, sebab penjajahan kolonial dinilai mengganggu tegaknya syiar Islam. Ada banyak perlawanan yang para ulama dan santri lakukan demi mengusir Belanda, dan salah satu yang menjadi  perang besar sepanjang historis Indonesia meledak: Perang Diponegoro. Pasukan Pengeran Diponegoro selain dipenuhi oleh para ulama dan satri dari berbagai penjuru jawa, ia juga diikuti oleh para bangsawan. Saat Pangeran Diponegoro tertangkap pun, ulama dan peran santrilah kemudian menjadi penerus pasukan untuk melawan Belanda.

Tak hanya sebelum kemerdekaan, pasca proklamasi pun para ulama dan santri masih aktif dalam tugas mereka menjaga tanah air. Resolusi Jihad yang digaungkan oleh KH Hasyim Asy’ari berhasil menggerakkan para masyarakat terutama para santri untuk melaknakan “perang suci” setelah mengetahui gelagat Nederlandsch indische Civiele Administratie (NICA) untuk mengambil alih Nusantara yang merupakan bekas penjajahan Jepang sebagai pihak yang kalah dalam Perang Dunia II.

Begitulah tantangan zaman yang terjadi 75 tahun yang silam. Adapun di abad ke-21 ini, kita para santri tidak lagi perlu dipusingkan dengan penjajahan fisik. Tantangan yang kita hadapi di jaman ini adalah sesuatu yang berbeda. Seperti yang sudah saya singgung di pembukaan, kita hari ini bertemu dengan berbagai persoalan mulai dari pandemi Covidi-19, beragam RUU dari legislatif negara beserta kontroversinya, dll. Sebagai seorang santri, di mana peran santri dan apa yang harus kita lakukan?

Revitalisasi Peran Santri sebagai Calon Ulama

Perlu diingat bahwa santri adalah orang-orang yang mempelajari agama Islam. Kalau di Indonesia sepertinya lebih identik dengan mereka yang belajar di pesantren-pesantren atau yang belajar langsung kepada para kiai. Untuk itu sudah jelas bahwa para santri adalah calon-calon ulama di masa depan.

Tentu kita semua setuju bahwa ulama merupakan rujukan umat Islam. Titelnya sebagai pewaris para nabi mengaharuskan seorang ulama memiliki prinsip yang hanif dan keilmuan yang mumpuni. Selain itu pula, ulama juga memiliki posisi sebagai pengontrol sistem sosial, mulai dari pemerintahan hingga edukasi masyarakat.

Dalam ranah perpolitikan misalnya, ulama memiliki posisi sebagai penasehat spiritual. Dalam pemikiran politik Imam Ghazali, agama dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena keterikatan mereka seperti dua hati yang tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, peran antara ulama dan umara perlu berjalan secara beriringan. Umara membutuhkan ulama sebagai sumber keputusan yang dilandasi oleh hukum agama juga sebagai penasehat yang memantau agar lini pemerintahan tetap berada dalam koridor Islam. Di sisi lain pula, ulama membutuhkan umara untuk mendukung segala aspek keagamaan seperti pendidikan dan peradilan.

Kemudian dalam ranah sosialisasi kepada masyarakat, posisi ulama adalah sebagai guru. Adalah tugas ulama untuk membentuk lingkungan islami dalam negara serta beramar makruf nahi munkar.

Sebagai contoh praktisnya, mari kita hadirkan kasus pandemi Covid-19. Ulama berperan besar untuk memberikan pertimbangan terkait kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan umara sebagai langkah perventif penyebaran wabah. Jika keputusan yang dikeluarkan oleh umara sudah benar sesuai dengan koridor syara, maka tugas ulama selanjutnya adalah menenangkan masyarakat secara emosional. Ini merupakan sinergi yang menghasilkan kestabilan untuk bangsa.

Lain halnya apabila ulama hanya terfokus pada kontrol masyarakat tanpa diimbangi dengan kontrol umara. Kalau kita misalkan ditindas dan respon ulama hanyalah perintah untuk bersabar, tentu hal tersebut tidak menyelesaikan masalah dan hanya akan menambah beban emosional saja. Kalau contoh faktanya, ya Omnibus Law yang sempat saya singgung di pembukaan tadi.

Begitulah pentingnya peran ulama sebagai pemegang kontrol pemerintah dan masyarakat. Oleh sebab itu, untuk kita para santri yang merupakan cikal bakal ulama di masa depan, hendaknya kembali menguatkan prinsip-prinsip dan ideologi kita sebagai santri. Kembali memperkuat keilmuan dan pemahaman Islam, serta kokoh menghadapi realitas yang ada di tengah-tengah kita. Juga berhati-hati agar tidak mudah terpengaruh hal-hal yang melencengkan kita dari jalan Islam, hingga kelak kita bisa menjadi ulama-ulama yang hanif dan membawa kebaikan Islam ke seluruh penjuru dunia. Selamat Hari Santri!

Wallahu A’lam bis Shawwab.

Baca Juga Artikel Lainnya: “Pancasila dalam Pandangan Buya Hamka”

Oleh : Ayu Husni

Penulis adalah Mahasiswi Tingkat 3 Fakultas Ushuludin Prodi Hadis Universitas Al-Azhar  Kairo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *