Masih segar di ingatan, bagaimana PPI Dunia menyambut Hari Batik Nasional dengan mengadakan Batik Heritage Ambassador Photo Contest 2020. Masih juga segar di ingatan, bagaimana organisasi di Masisir baik PPMI Mesir, berbagai kekeluargaan, dan afiliasi lainnya menyebarkan e-pamflet peringatan Hari Batik Nasional. Pun, masih segar di ingatan, bagaimana kawan Masisir tak mau kalah turut meng-upload gambar diri dengan pakaian batik yang boleh jadi diambil sejak setahun silam atau bahkan lebih.
Hemat saya, ketiga fenomena tersebut tidak lepas dari adigium bahwa batik adalah budaya Indonesia, identitas bangsa. Bahwa batik adalah warisan para leluhur, dan dengannya kita patut berbangga. Bahwa mengenakannya—batik asal mana pun itu—merupakan simbol cinta dan bangga pada identitas bangsa. Menariknya, hal tersebut masih diamini oleh para mahasiswa diaspora yang jauh dari bumi nusantara sana.
Lantas, awang pikiran saya membawa pada memori pelajaran sejarah seputar islamisasi nusantara di masa aliyah silam. Lalu awang pikiran itu membawa saya bernostalgia dengan mereka, para wali sanga yang terbilang melintasi dan mewarnai ranah budaya nusantara guna menyebarkan agama Islam. Alhasil, semua itu membawa saya pada sebuah tanya. Adakah pengaruh Islam terhadap batik di tanah kelahiran saya?
Batik dan Akulturasi
Bicara soal batik, artinya bicara soal kain bergambar yang secara khusus dibuat dengan menuliskan malam pada kain tersebut, kemudian diproses dengan cara khas lagi istimewa. Berbicara soal batik, artinya berbicara soal Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity (Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-bendawi) milik negara +62 menurut ketetapan UNESCO 2009 silam. Pun, bicara soal batik, artinya bicara soal budaya dan identitas bangsa Indonesia yang telah mendunia bahkan sejak abad ke-13 M.
Lalu kembali ke fokus utama; apakah ada pengaruh Islam terhadap batik beserta motifnya? Maka di sini, untuk menjawab soal ada pengaruh Islam terhadap batik ataukah tidak, artinya perlu membahas soal akulturasi. Akulturasi sendiri menurut UK Essays, Suinn dan Khoo, adalah proses yang dapat terjadi ketika dua atau lebih budaya berinteraksi. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi.
Dengan begitu, akulturasi begitu subur terjadi di kawasan pesisir. Sebab pesisir, atau daerah seputar garis pantai merupakan tempat yang ramai didatangi saudagar dari belahan dunia mana pun. Terlebih, bila kita coba tarik lebih fokus pada kasus batik, motif batik pesisir memiliki warna dasar putih dengan motif yang lebih berwarna. Bentuk motifnya pun datang dari bentuk flora dan fauna yang sangat bervariasi. Yang demikian itu sebab masyarakat pesisir lebih banyak terpengaruh pada budaya luar nusantara seperti India, China, Arab, Persia, Turki, dan lainnya.
Senada dengan itu, interaksi antara saudagar muslim dan penduduk nusantara telah terjalin sejak abad 7 M (Buya Hamka dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, 1963). Lantas hadirnya Islam diperkuat dengan kedatangan wali sanga pada abad ke-14. Islamisasi terjadi, Islam pun lambat laut menjadi tren beragama lalu membudaya. Sederhananya, hemat saya, bukan tidak mungkin bila di sana terdapat pengaruh Islam terhadap budaya nusantara, termasuk batik. Namun hal ini masih menyisakan tanya, benarkah begitu?
Harmonisasi Islam dan Batik
Membudayanya Islam di nusantara memberikan corak pada kebudayaan bangsa Indonesia. Islam memberi kaca mata prinsip hidup yang baru di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Maka hipotesa saya, ketika prinsip hidup itu berkembang atau terwarnai oleh Islam, batik pun tidak mustahil menjadi demikian.
Hipotesa ini agaknya mendapat angin segar usai saya membaca sebuah jurnal ilmiah kajian antropologi. Judulnya, “Motif Batik Tegal: Pengaruh Mataram, Pesisiran dan Islam,” karya Siti Maziyah. Dijelaskan, bagaimana Tegal yang merupakan wilayah pesisir menghasilkan berbagai motif batik hasil perpaduan antarbudaya, baik itu dengan Cina, Belanda, maupun Islam yang dibawa oleh saudagar dari berbagai negara.
Dari jurnal tersebut, saya ingin menggarisbawahi topik seputar wong kaji, alias orang yang berhaji. Di mana mereka yang notabenenya pedagang ini—usai meyempurnakan rukun Islam yang kelima—memiliki girah yang tinggi guna menegakan Islam. Sedang Islam yang mereka pahami tidak mengindahkan gambaran makhluk hidup secara sempurna. Alhasil, wong kaji mengkreasikan motif batik Tegal dengan gambaran makhluk hidup tak sempurna.

Sebut saja motif batik Tegal jago mogok, terinspirasi dari ayam jago yang indah tapi tidak disertai penggambaran sempurna kepalanya. Kemudian ada juga motif kepyuran, terinspirasi dari beragam biota laut, baik itu cumi-cumi, udang, kepiting, kerang, ikan, yang kemudian disamarkan dengan ganggang laut. Pun, motif buntut bajing yang terinspirasi dari ekor bajing yang penuh estetika.

Selain batik tegal, ada juga batik besurek asal Bengkulu. Batik terebut mengandung kaligrafi ayat Quran, asmaul husna dan sebagainya yang kemudia disamarkan. Kaligrafi berbahasa Arab pun acapkali ditemukan di motif batik asal Cirebon, salah satunya pada batik pesanan Baginda Halim asal Betawi (Buku Batik Pesisir Pusaka Indonesia, Hartono Sumarsono).
Lalu ada juga batik wahyu tumurun asal Yogyakarta dan Solo yang konon terinspirasi dari surat Al-Qadr ayat 4-5. Pun, batik burung huk asal Tasikmalaya yang mengandung filosofi “akan kemana setelah mati”, dan penamaannya juga terinspirasi dari kalimat takbir. Dan masih banyak lagi motif batik yang menurut sebagian orang memiliki filosofi yang islami.
Dengan ulasan tersebut, kiranya tidak serampangan bila saya mengatakan bahwa Islam memiliki “warna” terhadap warisan leluhur bangsa. Pun, ada pengaruh Islam terhadap motif batik di nusantara. Meski, pengaruh itu sifatnya tidak general, tapi sebagian saja.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Hari Kebangkitan Nasional: di Balik Pemilihan Budi Utomo”
Oleh: Salma Azizah Dzakiyyunnisa
Penulis adalah pimpinan umum Majalah Manggala 2019/2020