Sengketa Bendungan Nil: Ethiopia Bersuka Cita, Mesir Murka?

Sengketa Bendungan Nil

Tetes hujan mendarat di bumi Ethiopia, membanjiri milyaran kubik meter bendungan raksasa. Great Ethiopia Renaissance Dam (GERD) namanya. Gegap gempita penguasa dan warga Ethiopia pun mengangkasa. Mereka bahagia, bersuka cita. Sayangnya, demi alasan serupa, Sudan malah berkuah air mata, sedang Mesir kian murka.

Usut lebih dalam, aroma sengketa bendungan Nil tercium sejak mulai didirikan pada sembilan tahun silam. Aroma itu tak pudar, bahkan semakin kuat pasca usainya pembangunan di tahun 2020. Kemudian, pada periode musim hujan Juni-Juli lalu, bendungan tersebut sukses menampung air di hitungan tahap awal, meski Sudan, Mesir, pun Liga Arab masih ribut memperkarakannya. Dengan kata lain, Ethiopia secara sepihak melanjutkan proyek yang diklaimnya akan menjadi sumber listrik terbesar di Afrika sekligus memenuhi kebutuhan listrik 65 juta warganya.

Alih-alih mengindahkan negosiasi Mesir dan Sudan soal jaminan banyak air yang keduanya terima, Ethiopia malah merayakan “prestasi”-nya. Hal ini tercium sekali dari gelagat menteri luar negerinya. Dalam cuitannya (22/07/2020) Gedu Andargachew bersuara, “Ini adalah Sungai Nil. Sungai ini kini telah menjadi danau yang tidak lagi mengalir bak sungai. Ethiopia akan mendapatkan semua perkembangan yang diinginkannya. Faktanya, Sungai Nil adalah milik kita!”

Cuitan itu bak tetesan cuka di atas luka, membuat Sudan dan Mesir geram lagi murka. Pasalnya, bagi keduanya, raksasa bendungan Nil ini adalah ancaman yang nyata. Bagaimana tidak? Sungai Nil merupakan sumber kehidupan negara hilir, para pemilik gurun sahara. Airnya menjadi tulang punggung keberlangsungan hidup seluruh flora dan fauna, pun manusianya. Di Mesir misalnya, 90% air bersih mereka peroleh dari sungai Nil, sebagai sumber utama. Sedang, bendungan di hulu Nil mau tidak mau bisa mengancam pasokan air yang diterimanya.

Sengketa bendungan nil
Peta Sungai Nil dan Bendungan Raksasa Ethiopia/Sumber: BBC

GERD, Ancaman bagi Mesir?

Adalah sebuah pertanyaan; mengapa Mesir harus murka di kala Ethiopia berbahagia atas keberhasilan GERD-nya? Seberapa mengancamkah bendungan itu bagi si Negara Piramida?

Jamak diketahui, Mesir adalah negara yang diselimuti padang pasir. Tandus, kering, gersang, juga miskin air. Di sisi lain, Mesir menjadi negara Arab nomor satu dengan angka penduduk terbanyak. Kisaran 100 juta orang jumlahnya. Dengan demikian, guna memenuhi kebutuhan akan air, 99% populasi Mesir menempati kawasan lemba sungai Nil dan deltanya. Yang mana setara dengan 6% saja dari luas permukaan yang Mesir punya (sumber: bbc.com).

Kebutuhan air Mesir sendiri mencapai 80 milyar meter kubik alis billion meter cubic (bcm) per tahunnya. Lantas, 70% di antaranya, atau sekitar 55,5 bcm berasal dari aliran sungai Nil. Sebagaimana lisan mantan Menteri Irigasi dan Sumber Daya Air Mesir kepada al-Monitor.com, “Pangsa tahunan Sungai Nil Mesir mencapai 55,5 bcm. Sementara kebutuhan tahunannya melebihi 80 bcm. Mesir mengandalkan air tanah dan hujan untuk mengisi kekurangannya.” Hal ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan Ethiopia yang memperoleh 950 bcm air di musim hujan.

Allam menambahkan, bila sengketa bendungan ini tak kunjung reda, sektor pertanian lah yang pertama kali akan menerima “bogem mentah”-nya. Dia mengatakan, “Tidak ada proyek yang cukup untuk memenuhi kebutuhan air Mesir. Terutama bagi para petani, yang akan segera mengalami kelangkaan air jika krisis [GERD] tetap tidak terselesaikan.”

Hal ini senada dengan pernyataan Mohamad Gamal, seorang profesor ekonomi pertanian. Ia mengatakan dalam pernyataan pers (18/07) bahwa tahap pertama pengisian akan merugikan sekitar 3,6 juta petani di Mesir. Dia memperkirakan kerugian ekonomi Mesir mencapai 54 milyar pound ($ 3,4 milyar).

“Jika Ethiopia berhasil mengisi bendungan dengan 74 bcm air tanpa mencapai kesepakatan, konsekuensinya rakyat Mesir akan menghadapi bencana. Yang merupakan dampak adanya gangguan pembangkit listrik dari bendungan di Aswan. Juga kurangnya pasokan air selama tahun kekeringan. Tidak ada proyek irigasi yang dapat menggantikan air Nil,” kalam Gamal.

Kalam Gamar diperkuat oleh tutur Mohamed al-Sebaei, juru bicara Kementerian Pengairan Mesir (26/07). Dilansir dari al-monitor.com, ia menyatakan, Mesir mengkhawatirkan kekeringan yang berkepanjangan. Dan inilah titik utama sengketa bendungan Nil antara Ethiopia dan negara tetangganya. Mesir percaya, kerjasama antara kedua negara ini sangat penting dalam menangani periode kekeringan.

Negosiasi Mesir dan Ethiopia yang Alot

Sengketa Bendungan Nil
Bendungan Besar Ethiopia/Sumber: BBC.com

Nyaris genap satu bulan pasca tahap awal terisinya bendungan, sengketa bendungan Nil tak kunjung surut. Upaya negosiasi terjadi berlarut-larut. Mesir dan Sudan malah dibuatnya kian bersungut.

Seperti halnya warta Ahram.org, dalam negosiasi bersama di hari Sabtu (15/08), Mesir dan Sudan menuntut adanya kesepakatan tentang GERD. Harapannya, kesepakatan itu akan menjaga kepentingan Mesir, Sudan dan Ethiopia, sesuai dengan Declaration of Principles tahun 2015 silam. Di mana menjadi prinsip penggunaan air yang adil dan merata, tanpa menyebabkan kerugian, seiring dengan hukum internasional yang relevan.

Perdana Menteri Mesir Mostafa Mabdouly dan mitranya dari Sudan Abdalla Hamdok, menyoroti betapa pentingnya menyepakati mekanisme yang efektif dan mengikat guna menyelesaikan sengketa yang ada. Pun, tidak kalah penting, diperlukan adanya mekanisme koordinasi antara ketiga negara untuk memastikan operasi yang aman dari semua instalasi air dan proyek yang terkena dampak GERD.

Sayangnya, baik di regional sub-Sahara Afrika maupun di internasional (AS), Etiopia tampaknya memiki posisi yang jauh lebih baik. Dengan begitu, jika negosiasi ini masih juga tidak menemukan titik temu, Mesir akan membawa masalah ini kembali ke Dewan Keamanan PBB untuk resolusi yang dapat mengikat tindak-tanduk Ethiopia. Terlepas dari realita bisa tidaknya Mesir mendapatkan dukungan kelima anggota tetap PBB.

Sedikit kilas balik, dilansir dari bbc.com, negosiasi ini bahkan sudah dimulai jauh-jauh hari. Pada 2019, Mesir mencoba mengambil peruntungan dengan melobi di tingkat internasional. Ia mencari bantuan dari AS dan PBB, tapi tak menuai hasil. Pun, kala itu Mesir gagal memaksa Ethiopia untuk mematuhi Konvensi Persatuan Perairan PBB 1997. Yang mana mewajibkan negara-negara hulu—seperti halnya Ethiopia—untuk berkonsultasi dengan negara-negara bagian hilir—Mesir dan Sudan—sebelum memulai proyek sebesar ini.

Di sisi lain, Mesir berupaya mencari jalan alternatif jika Ethiopia keras kepala enggan mengabulkan pintanya dalam proses diplomasi dan negosiasi. Dilansir dalam al-monitor.com, Mesir melakukan berbagai upaya guna menyelamatkan dan mengoptimalkan tiap tetes air sungai Nil.

Sebagaimana tutur Perdana Menteri Mesir, Mustafa Madbouly (23/07), Mesir akan membangun lapisan beton kanal sepanjang 20 ribu km senilai 4 milyar pound ($ 25 juta) guna mengurangi kehilangan air. Selain itu, Mesir juga akan memulai proyek irigasi modern dengan investasi senilai 1 triliun pound ($ 62,5 milyar). Madbouly juga mencontohkan pembangunan instalasi desalinasi di wilayah pesisir dan pembangunan instalasi pengolahan air limbah. Terakhir, dia menekankan perlunya menaikkan denda dan sanksi untuk penggunaan air yang boros dan penyadapan jaringan air secara ilegal.

Meski demikian, “kemiskinan air” masih Mesir anggap sebagai tameng sekaligus “kartu truf” bagi diplomasi sengketa bendungan Nil yang tak kunjung berujung.

Baca Juga Artikel Lainnya:“Ledakan di Beirut, Hiroshima Mini Lebanon”

Oleh: Salma A

Penulis Adalah Pimpinan Umum Manggala Periodei 2019-2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *