Esai, Opini  

Memanusiakan Manusia

Memanusiakan Manusia

Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan kata-kata yang menjadi judul dalam tulisan ini. Sebuah kalimat sederhana “Memanusiakan Manusia” memiliki makna begitu dalam. Sudah banyak orang-orang yang memberikan tafsirannya masing-masing terhadap kalimat yang satu ini. Lantas kebanyakan dari mereka mengaitkan kalimat ini dengan hal kemanusiaan. Dimana kita selaku manusia seharusnya memperlakukan manusia lain dengan perlakuan yang pantas. Salah satu caranya adalah dengan memenuhi hak-hak mereka selaku manusia.

Namun pada kesempatan kali ini saya ingin memberikan tafsiran saya sendiri terhadap kalimat yang satu ini. Pada kesempatan kali ini saya ingin mencoba untuk menafsirkan kalimat ini dari persepektif sikap sosial dalam agama.

Terkadang banyak dari kita yang tidak adil dalam menilai seseorang. Banyak dari kita yang menilai seseorang dari satu sisi saja dan mengabaikan sisi yang lain. Terkadang ketika kita melihat seseorang melakukan sebuah kesalahan. Kemudian kita seketika itu men-judge orang tersebut bahwa seluruh kehidupan orang tersebut salah dan akan selamanya melakukan kesalahan.

Terkadang pula, ketika kita menilai seseorang yang sangat kita kagumi dan kita idolakan. Kita menganggap setiap hal yang mereka lakukan seolah-olah itu benar dan tanpa kesalahan. Padahal bisa jadi ada diantara perilaku atau kelakuan mereka yang jelas-jelas salah, tapi justru kita mengiyakan dan membenarkannya. Sikap seperti inilah yang menurut saya keliru. Pun, dalam hal seperti inilah peran dari makna kalimat “ memanusiakan manusia” sangatlah bermain.

Makna dari kalimat “ memanusiakan manusia” menurut saya adalah tidak “meng-iblis-kan manusia” dan tidak pula “me-malaikat-kan manusia”. Tidak mengibliskam manusia berarti setiap kali kita melihat seseoarang melakukan kesalahan, tidak sepantasnya kita untuk langsung men-judge orang tersebut bahwa orang tersebut akan selalu melakukan kesalahan. Karena fitrah manusia dan iblis sangatlah berbeda.

Fitrah manusia memanglah berbuat salah. Namun manusia juga Allah SWT. bekali hati dan akal. Keduanya dapat mengarahkan sekaligus membimbingnya untuk senantiasa memperbaiki setiap kesalahan yang telah ia perbuat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. dalam sebuah hadist yang artinya: “Setiap anak adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi). Sedangkan fitrah iblis adalah selalu ingkar dan akan selalu mengajak para manusia untuk bersama-sama dalam keingkaran kepada Allah Swt.

Selanjutnya, makna dari kalimat “memanusiakan manusia ”adalah tidak “memalaikatkan manusia ”. Tidak memalaikatkan manusia berarti kita harus siap untuk jujur dalam megakui kesalahan orang lain. Tidak hanya berani untuk mengakui kesalahan diri sendiri, berani untuk mengakui kesalahan orang lain juga sangatlah penting.

Pasalnya, masih banyak di antara kita yang yang masih belum bisa siap dan berani untuk mengakui kesalahan orang lain. Terutama kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang kita sangat kagumi dan kita idola-idolakan. Ketika seseorang yang kita sangat kagumi melakukan sebuah kesalahan, alih-alih mengkritik atau meluruskan kesalahannya. Justru kita malah membenarkan dan mengiyakan kesalahan tersebut.

Lebih parahnya lagi, kita justru meghabiskan seluruh tenaga dan pikiran untuk memberikan argumentasi-argumentasi guna pembenaran atas kesalahan itu. Padahal sebenarnya sosok yang sedang kita kagumi hanyalah seorang manusia biasa, yang tidak selalu semua perbuatannya benar. Dengan begitu, sangat wajar apabila ia melakukan sebuah kesalahan. Berbeda dengan malaikat yang tidak diberikan hawa nafsu oleh Allah Swt. Sehingga mustahil bagi malaikat untuk berbuat kesalahan.

Oleh karena itu dalam menilai seseorang seharusnya kita bisa menilai secara objektif. Apabila realitanya mengatakan apa yang telah dilakukan merupakan suatu kebenaran, maka katakan “benar”. Apabila apa yang telah dilakukannya merupakan tindakan yang salah, maka katakan “salah”.

Jangan sampai kebencian atau kecintaan kita terhadap suatu tokoh atau golongan, membutakan mata kita dalam melihat fakta dan realita yang ada. Sudah saatnya pula kita selaku manusia terutama seorang muslim, untuk bisa adil dalam memberikan penilaiaan kepada seseorang. Nilailah manusia selayaknya seorang manusia. Yang adakalanya ia berbuat salah dan adakalnya pula ia berbuat benar.

Baca Juga Artikel Lainnya: “Tuhan Yang Maha Ibu?”

Oleh: Muhammad Fadhil Rahman Ghozy

Penulis adalah kontributor di Event Dwara Aksara KPMJB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *