Esai, Opini  

Tuhanku Yang Maha Ibu?

Tuhan yang maha ibu

Ada satu pernyataan menarik yang saya temukan di buku The Art of Loving, Erich Fromm: “Untuk menghetahui bagaimana cara seseorang menyembah Tuhan, pertama-tama kita harus menghetahui bagaimana cara seseorang itu mengartikan konsep Tuhan.” Setidaknya ada dua cara, yang biasanya, menentukan bagaimana cara seseorang memandang Tuhan: melalui pembelajaran dan melalui pengalaman.

Saya pribadi, sejak kecil sudah diperkenalkan kepada Tuhan oleh orang tua saya. Saya sudah diajarkan berbagai nama baik Tuhan, Asmaul Husna, yang disebutkan di dalam kitab suci. Sejak lahir saya sudah “dipertemukan” dengan Tuhan melalui agama yang orang tua saya anut: Islam. Berbeda halnya dengan orang yang menemukan Tuhan setelah pencariannya selama bertahun-tahun. Pada pencariannya itu, seseorang mengandaikan adanya pengalaman personal, antara dirinya dan sesuatu di luar dirinya, yang memungkinkan ia untuk menemukan Tuhan.

Keberadaan Simbol dalam Bertuhan

Di sisi lain, dalam psikologi analitis Carl Jung, simbol memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap jiwa manusia. Keberadaan simbol, dapat kita temukan di ketidaksadaran-kolektif manusia. Simbol-simbol itu pada akhirnya diolah menjadi mitos.

Dalam sejarah, kita menghetahui bahwa ada pendapat yang mengatakan bahwa Air adalah Tuhan. Salah satu tokoh terkenal yang mengeluarkan pendapat ini adalah filsuf Yunani; Thales. Saya rasa, anda juga menghetahui dan sadar akan ungkapan: Air adalah sumber kehidupan. Dengan meggunakan logika Aristotelian, kita dapat mengatakan: Air adalah sumber kehidupan; sumber kehidupan adalah Tuhan; Maka Air adalah Tuhan. Penyimbolan Air akan Tuhan dapat kita telusuri dengan cara seperti ini. Dan dari penyimbolan ini, masyarakat terdahulu menciptakan mitos-mitosnya; seperti dalam tragedi Anumalis; diceritakan bahwa Tuhan Tiamat tecipta dari Air.

Setidaknya, kita sudah menghetahui beberapa hal: Ketidaksadaran kolektif, simbol dan mitos. Tapi pada tulisan saya kali ini, saya hanya akan meminta anda untuk berfokus pada: simbol. Yang nantinya, akan memengaruhi cara pandang manusia terhadap Tuhan.

Ada dua simbol sentral yang dapat menjadi titik landasan kita untuk membicarakan Tuhan pada tulisan kali ini: Ibu dan Bapak. Tak perlu berpanjang lebar, sosok Ibu selama ini dapat kita anggap sebagai simbol dari kasih sayang. Sosok Ibu melulu digambarkan sebagai seorang penyayang, yang memberikan kehidupan kepada anaknya.

Dalam pembacaannya (simbol) dari bible, Erich Fromm mengatakan bahwa kasih sayang ibu sudah diceritakan dari pendeskripsian akan Tanah yang dijanjikan. Tanah yang dijanjikan dideskripsikan sebagai tempat yang diisi oleh susu dan madu. Menurutnya, susu adalah simbol dari aspek cinta pertama, yang merawat dan mengafirmasi kehidupan. Madu adalah simbol dari manisnya hidup, dan kebahagiaan akan hidup. Dan Tanah, menjadi simbol terhadap Ibu (Mother of Earth).

Berlainan dengan Ibu, Bapak melulu digambarkan sebagai seseorang yang tegas dan menakutkan. Perannya melulu diceritakan sebagai pemberi ganjaran. Sisi lain yang membedakan Ibu dan Bapak adalah cinta Ibu kepada anak selalu berlandaskan kasih sayang, sedangkan Bapak mencintai anaknya, selalu berlandaskan akan baik dan buruk. Jika seorang anak patuh pada perintah Bapak, maka ia akan diberi hadiah. Sedangkan jika melanggar, maka ia akan diberikan hukuman.

Tuhan Maha Ibu, Tuhan Maha Bapak?

Dari pembacaan mengenai simbol ini, saya tertarik untuk membaca satu hadits dengan menggunakan cara ini: Dari Abu hurairah ra., beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti terlebih dahulu?” Nabi menjawab, “Ibumu!” Dan orang tersebut kembali bertanya, “Kemudian siapa lagi?” Nabi menjawab, “Ibumu!” Dan orang tersebut bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Nabi menjawab, “Ibumu!” Orang tersebut bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Nabi menjawab, “Bapakmu!” (H.R Bukhari dan Muslim).

Dalam tafsirannya mengenai hadits ini, Imam Qurthubi menjelaskan. Hadits ini menunjukkan mengenai kecintaan dan kasih seorang ibu yang harus tiga kali lipat besarnya. Sebab apa yang telah dialami seorang Ibu, jika disangkutkan kepada anaknya, sangatlah berat.

Seperti yang disebutkan di dalam al-Quran: “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah. Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaaf:15). Dari sana, seharusnya kita telah menyadari bahwa sosok Ibu, di dalam al-Quran, juga digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih (rela menahan sakit demi anaknya). Juga sebagai sosok pemberi kehidupan kepada Anaknya; seperti penafsiran akan Tanah yang dijanjikan.

Yang sama kita ketahui, Tuhan dalam konsep Islam berbeda dengan Tuhan dalam konsep Yahudi-Kristen. Dalam konsep kekristenan, Tuhan memiliki tiga pribadi yang terhubung pada satu substansi. Atau yang kita kenal sebagai Trinitas. Tuhan Allah berada pada kutub Bapak, Tuhan Jesus berada pada kutub Anak, dan Roh Kudus. Sosok Bapak mendominasi konsep Tuhan dalam kekristenan.

Seperti yang dikatakan Jordan Peterson, Tuhan Allah dikonsepkan sebagai pemberi ganjaran; hadiah atau pun hukuman. Di titik ini, konsep Tuhan sebagai yang Maha kasih Sayang menjadi sedikit kabur. Menjadi masuk akal, ketika Bachefon dan Morgan mengatakan bahwa Yahudi-Kristen terjebak pada fase patriarkal dalam agama. Di mana sosok Bapak (pemberi ganjaran) disupremasi, dan sosok Ibu (pada Tuhan) seakan-akan dihilangkan.

Simbol seperti ini dapat kita temukan pada kisah-kisah yang ada di dalam Taurat saat ini. Seperti pada kisah Adam yang dikeluarkan dari Taman Firdaus sebagai hukuman karena memakan buah terlarang (Kejadian 3:23), kisah banjir bandang yang terjadi kepada umat manusia sebagai ganjaran akan ketidakpatuhannya, serta pemilihan Nuh sebagai anak favorit Tuhan (Kejadian 7:10), kisah Kanaan, anak Ham, yang dikutuk oleh Nuh untuk menjadi hamba bagi saudara-saudaranya (Kejadian 9:18-27), dan perintah Tuhan kepada Ibrahim untuk menyembelih Ishak untuk membuktikan kepatuhannya (Kejadian 22:2). Dan kisah-kisah lainnya.

Bukan Bapak bukan Ibu, Tapi Memiliki Sifat Bapak-Ibu: Sempurna

Dalam Islam, Allah memiliki sifat Yang Maha Esa. Allah tidak berada pada kutub mana pun; tidak pada kutub Bapak, Ibu atau pun Anak. Allah Maha Sempurna. Allah memiliki beragam sifat, yang tidak mengubah esensinya. Meskipun Allah bukan Bapak (dalam konsep kristen), namun Allah memiliki sifat Bapak (pemberi ganjaran). Allah pun bukan Ibu, namun Allah memiliki sifat Ibu (pemberi kasih sayang).

Sebagai seorang Muslim, kita dianjurkan untuk membaca basmalah ketika hendak melakukan segala sesuatu. Dan pada lafadz itu, lafadz basmalah, di sana tertulis Asma-Nya yaitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang secara sifat, lebih dekat kepada sosok Ibu dalam mitos dunia. Perintah untuk membaca basmalah ini, saya lihat, agar manusia dapat memasukkan lafadz itu, ke alam bawah sadarnya (akan saya bahas pada tulisan saya yang lain). Kemudian meyakini bahwa Tuhan Maha Penyayang.

Lantas dari sini saya melihat, hadits mengenai penyebutan Ibu tiga kali sedangkan Bapak hanya sekali, bukan semata-mata perintah untuk menghormati orang tua, namun juga dapat menjadi bukti (menggunakan pembacaan simbol) bahwa Tuhan memiliki sifat Yang Maha Ibu tiga kali lipat daripada Yang Maha Bapak. Dengan mengenali Ibu, kita dapat mengenali Tuhan.

Seperti yang dikatakan Erich Fromm: Untuk menghetahui bagaimana cara seseorang menyembah Tuhan, pertama-tama kita harus menghetahui bagaimana cara seseorang itu memahami konsep Tuhan. Tentunya, kalau kita memandang Tuhan selayaknya sosok Bapak, akan berbeda ketika kita memandang Tuhan selayaknya sosok Ibu. Tentunya, memandang yang saya maksud hanyalah berbicara mengenai dominansi ketika memandang. Saya pribadi, memandang Tuhan sebagai Yang Maha Ibu, tiga kali lipat, dari Yang Maha Bapak. Selanjutnya, bagaimana cara kita menyembah Tuhan, akan sama sekali berbeda: Kita menyembah-Nya karena Ia Maha Pemberi Ganjaran? Atau Kita menyembah-Nya karena Ia Maha Pengasih?

Baca Juga Artikel Lainnya: “Mengapa kita membenci seseorang?”

Oleh: Mahardika Mufti

Penulis adalah Penanggung Jawab Manggala 2020/2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *