Esai, Opini  

Richard Dawkins dan Islam: Quo Vadis Dimensi “Sudut Pandang” Hakteknas? (Bag 1)

Richard Dawkins dan Islam: Quo Vadis Dimensi “sudut pandang” Hakteknas?

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menegaskan bahwa indikator kemajuan sebuah bangsa sangatlah ditentukan oleh kemajuan sains dan teknologi. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dengan keduanya membuat SDM akan berkembang secara lebih masif, pesat, dan efesien. Tidaklah heran jika dikatakan bahwa salah satu ciri peradaban apapun yang memiliki peran signifikan adalah sains dan tekonologi. Meskipun masing-masing dari peradaban memiliki dimensi “sudut pandang/weltanschaaung” masing-masing dalam implementasi terhadap keduanya.

Begitupun dalam konteks perkembangan sains dan teknologi di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari pemerintah Indonesia yang telah menetapkan bahwa pada tanggal 10 Agustus berdasarkan keputusan Presiden no. 77 tahun 1955 ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional dan disingkat menjadi “HAKTEKNAS” (selanjutnya ditulis Hakteknas). Dengan demikian tanggal tersebut merupakan momentum nasional yang perlu diperingati demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

Dalam konteks kekinian, perkembangan sains dan teknologi sangatlah dipengaruhi oleh berbagai macam “sudut pandang” yang merupakan produk dari peradaban-peradaban tertentu. Tidaklah heran di luar sana banyak manusia-manusia melihat teknologi dan sains sebagai tuhan mereka. Empirisme sebagai sebuah bukti ilmiah yang valid terus digaung-gaungkan sebagai sebuah kebenaran absolut bersama sehingga melupakan realitas dimensi absolut yang tinggi yaitu keberadaan tuhan. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa  hal tersebut sangatlah ditentukan oleh yang dinamai “sudut pandang”.

Dalam konteks ini, Richard Dawkins, seorang tokoh Ateis popular layak dihadirkan dalam diskursus ini karena telah menyebarkan “sudut pandang” anti tuhan dalam kegiatan saintis. Lebih dari itu, ide-idenya tersebar luas sehingga dianggap berhasil telah mengateiskan banyak para saintis dan masyarakat dunia pada umumnya. Dalam karyanya The God Delusion terlihat sekali baik secara ekplisit maupun implisit penafian terhadap realitas ketuhahan, termasuk dalam kegaitan saintis. Meskipun pandangan umumnya mengenai sains ada dalam karyanya yang lain yaitu The Magic of Reality.

Sementara dalam konteks Hakteknas, kita patut bertanya paradigma apa yang seharusnya digunakan oleh para saintis Indonesia? teologisme atau Islam-kah? atau ikut ke pendapat (madzhab) ala Richard Dawkins? Seterusnya metodologi apa yang digunakan? Apakah proses sekularisasi? atau dengan proses integratif dan interkonektif antar ilmu pengetahuan? Dengan demikian tulisan sederhana ini, akan menunjukan kepada pembaca sebuah solusi mengenai “sudut pandang/worldview” yang semestinya digunakan oleh saintis Indonesia, khususnya saintis Muslim. Kata Quo vadis atau bahasa sederhananya “mau dibawa kemana” disandarkan terhadap dimensi “sudut pandang” Hakteknas untuk memperjelas sekaligus menegaskan sikap  yang semestinya dianut oleh saintis dan masyarakat di Indonesia.

Sekilas Khazanah Hakteknas

Sejarah Hakteknas tidaklah terlepas dari kebangkitan teknologi di Indonesia pra reformasi. Hal ini diawali dari uji terbang pesawat pertama N250 GatotKaca pada tahun 1995 untuk pertama kalinya sebagai hasil produksi industri asli dari Indonesia, yaitu PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) (sekarang diganti menjadi PT. Diagantara). Keberhasilan uji terbang tersebut merupakan bukti ekplisit dari kemajuan teknologi dan sains Indonesiaa saat itu.

Dalam hal ini, para insinyur hebat asli Indonesia telah berhasil menunjukan kepada dunia dengan menghasilkan mahakarya yang luar biasa ini bahwa Indonesia mampu menjadi bagian dari negara maju dalam tataran ilmu sains dan teknologi. Tentu semua ini, tidaklah lepas dari rahmat tuhan yang Maha Esa sejak era pra kemerdekaan selalu hadir dalam memakmurkan bangsa ini. Tidak hanya itu, jasa komando Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie memliki peran sentril dan signifikan dalam usaha pembuatan pesawat N250 GatotKaca, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Negara Republik Indonesia.

Atas keberhasilan uji terbang pesawat pertama N250, maka ditetapkanlah bahwa pada tanggal 10 Agustus 1995 secara institusional menjadi “sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional” dan disingkat menjadi “Hakteknas”. Tentu dengan momentum ini diharapkan investor dan inovator dalam teknologi Indonesia berkembang secara masif. Di samping itu, guna untuk membangkitkan riset dan publikasi agar dapat memakmurkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dan dunia internasional pada umumnya.

Momentum hakteknas dari tahun ke tahun selalu berusaha menghadirkan inovasi kreatif bagi perkembangan teknologi Indonesia. Sebut misalnya Hakteknas 2019 dengan tema “Iptek dan Inovasi dalam Industri kreatif 4.0” di Provinsi Bali, telah menghasilkan respon positif dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Mulai dari terkait mutu, indeks, Teknologi ICT AR (Augmented Reality), VR (Virtual Reality), serta daya saing bangsa dan lain lain turut dihadrikan dalam proses kreatif industry 4.0 (hakteknas.ristekdikti.go.id diakes 09 Juli 2020).

Problematika “Sudut Pandang” dalam Sains dan Teknologi

Mungkin banyak yang bertanya kenapa dimensi “sudut pandang” terhadap sains dan teknologi perlu dihadirkan? Padahal di luar sana banyak para saintis yang mengaung-gaungkan bahwa sains dan teknologi itu bebas nilai (value free)! “Ya” itulah jawaban yang kami terima dari aspek aksiologi atau kegunaan dan kebermanfaatan. Akan tetapi dari aspek paradigma atau cara berpikir, juga epistemologis itu kami menilai “tidak bebas nilai” melainkan sarat nilai (value laden).

Dalam konteks ini, berarti bahwa seorang saintis sangatlah dipengaruhi oleh latar belakangnya baik itu agama, sosial, pendidikan, juga lingkunganya dalam aktitas kinerja saintifik. Tokoh revolusi Sains popular, Thomas Khun (1970: 24) dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions menyebutkan bahwa kinerja saintis dalam tahap penelitian “normal saintifik” langsung diartikulasikan  kepada fenomena dan teori-teori yang telah dirasuki (supplies) oleh sebuah paradigma tertentu. Dengan demikian kita berangkat bahwa sains dan teknologi dalam dimensi “sudut pandang” para saintis tidaklah bebas nilai.

Hal tersebut pada hakikatnya terjadi karena refleksi pergantian peradaban dari masa ke masa. Mulai dari peradaban Yunani, Romawi, Islam, Timur, dan Barat dll. Di mana semuanya mengkristal sehingga menjadi keyakinan absolut di antara masing-masing umat manusia. Oleh karena itu, cara pandang terhadap manusia, alam, realitas kehidupan, juga Tuhan sangatlah berbeda karena dipengaruhi oleh refleksi peradaban tertentu.

Dengan demikian tidaklah heran jika Samuel P. Hungtintong dalam karyanya The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order memaksudkan bahwa peradaban itu satu sama lain “bisa” atau “sangat mungkin” untuk saling berbenturan sehingga menimbuklan konflik. Persoalan selanjutnya mungkin berlanjut kepada apa yang dimaksud peradaban itu sendiri? Tulisan ini tidak memfokuskan untuk berbicara secara filosofis mengenai definisi dari peradaban itu sendiri. Kita akan lebih berbicara hal yang lebih subtansial bahwa masing-masing peradaban itu terhegemoni oleh ideologi tertentu yang berkuasa pada peradaban tersebut.

Dalam konteks saintis dan teknologiwan, kita bisa melihat perbedaan mendasar dari perbedaan masing-masing “sudut pandang” yang merupakan refleksi sebuah peradaban tertentu. Contoh saintis Ateis melihat manusia hanya sebagai hasil seleksi alam dari sebuah spesiel atu biasanya penganut hasil evolusi seperti Richard Dawkins dan Charles Darwin. Sedangkan bagi saintis muslim dan kristian akan melihat bahwa manusia ini berbeda dengan sudut pandang sebelumnya, yang sejak dulu sudah punya teknologi dan sains, bukan hanya manusia kera dan Gua yang tidak tau apa-apa.

Demikian juga teknologiwan, jika dia menggunakan dimensi “sudut pandang” ateis, maka hasilnya pun akan menafikan peran tuhan. Di mana dia melihat teknologi sebagai tuhan dan satu-satunya solusi umat manusia. Untuk lebih jelasnya kita bisa lihat “pembuatan telepon gengam”. Teknologiwan yang memakai “sudut pandang” Islam, akan melihat bahwa telepon gengam harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dan positif. Tidak ada nuansa negatif. Sebaliknya teknologiwan ateis atau sekuler ia melihatnya hanya sekedar aspek kegunaan dan kebermanfaatan. Inipun dengan implementasi nilainya yang sangat bebas, maka bisa saja bisnis prostitusi melewati “pembuatan dan penggunaan telepon gengam” menurut teknologiwan ateis tidaklah jadi masalah. Sekali lagi persoalannya itu berada di dimensi “sudut pandang” saintis itu sendiri.

Lanjut ke (Bag 2)

Baca Juga Artikel Lainnya: “Islamisasi Sains Serta Relevansinya dengan Hakteknas”

Oleh: Muhammad Ghifari

Penulis adalah editor Majalah Manggala 2019-2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *