Oleh: Muhammad Ghifari
Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenrisdektik) akan kembali menggelar acara Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) dengan tema “Iptek dan Inovasi Dalam Industri kreatif 4.0” pada tanggal 24 Agustus 2019 di Provinsi Bali. Hal ini, tentu merupakan sebuah perhatian besar pemerintah terhadap pengembangan sumber daya manusia khususnya pada teknologi dan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa teknologi telah memberikan banyak dampak positif dan negatif bagi umat manusia baik pada tataran sosial masyarakat maupun individual. Dengan eksistensi sisi positif serta negatif, setidaknya dapat menujukan kepada kita bahwa teknologi merupakan sebuah alat yang tergantung kepada “siapa” yang menggunakanya.
Dari perspektif ini, kita dapat mengatakan bahwa teknologi itu bebas nilai (value free) dalam tatararan aksiologi (kegunaan). Namun teknologi itu sendiri dalam aspek ontologi dan epistemologinya, tidaklah terlepas dari paradigma “orang” yang menciptakan atau mengembangkan teknologi tersebut. Hal ini, kita sadari penuh dari perspektif Thomas S. Khun (1970: 24) bahwa “…normal-scientific research is directed to articulation of those phenomena and theories that paradigm already supplies”. Dengan demikian teknologi itu bebas nilai (value free) dalam tataran aksiologi namun menjadi sarat nilai (value laden) dalam aspek ontologi dan epistemologi.
Kita tidak dapat menghindari bahwa kemajuan pesat teknologi di abad ke-21 merupakan produk hasil dari era kemodernan peradaban Barat sejak abad ke-16. Sekularisme merupakan faktor yang paling dominan dalam kemajuan peradaban tersebut. Hal ini, sebagaimana yang dikatakan Seyyed Hossein Nasr bahwa era kemodernan saat ini dominasi oleh sekularisme yang bermakna kebebasan (Freedom). Kebebasan di sini bukanlah berarti kebebasan yang dimaknai secara liar namun kebebasan dari dogma ajaran agama.
Oleh karena itu, tidaklah heran terdapat sebagian orang yang menganggap bahwa teknologi adalah tuhan dan faktanya kita dapati bahwa banyak kajian-kajian teknologi yang fokus terhadap unsur duniawi seperti revolusi industri 4.0 yang kajiannya fokus terhadap IT (Internet of Thing), logic, robot dan lain lain (Dragan Vukrasonić, d.k.k, 2016:295-296). Namun dimensi ketuhanan tidak disinggung sama sekali. Hal ini, terjadi karena aspek ontologi dan epistemologinya atau secara sederhana paradigmanya sudah ter-sekuler-kan yang akan berimplikasi terhadap implementasi serta aplikasi teknologi itu sendiri yang dapat dibuktikan dengan tidak ada menyinggung dimensi ketuhanan sama sekali.
Melihat berbagai fenomena ilmu ataupun sains (teknologi sebagai produk sains) yang sekular. Maka dalam hal ini, terdapat usaha para aktivis muslim untuk menghadrikan sains yang bernuansa Islam yang kini dikenal dengan gagasan “Islamisasi Ilmu atau Sains”. Meskipun gagasan ini oleh para muslim reformis diformulasikan secara berbeda-beda antara satu sama lain seperti Ismail Raji Al-Faruqi (1997: 9&34) yang merumuskannya dengan konsep “Al-Tauhid as Worldview” dan kemudian dia mendefinisikanya sebagai “…is recast modern discipline within the framework of Islamic Principles and ends, thereby bringing to normalcy the Islamic vision, methodology, education, and personality. This is the way to reassert the dynamism of the individual and collective Islamic existence and vitality”.
Sedangkan Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1995: 2) merumuskannya dengan konsep “Islamic Worldview”. Maka dengan rumusan ini, dia mengidentifikasikan bahwa Islamisasi pengetahuan merupakan konsekuen logis dari Islamisasi. Oleh karena itu, dia mendefinisikannya sebagai “as the liberation of man first from magical, mythological, animistic, nation-cultural tradition opposed to Islām is the whose reason and his langguages”, (Al-Attas, 1993: 182).
Sementara bagi Seyyed Hossein Nasr (1989: 119) merumuskannya dengan konsep “Scientia Sacra” yang mengemukakan bahwa “Sains” berasal dari tradisi trasendent. Adapun Muzzafar Iqbal (2017: xviii) merumuskan konsep Islamisasi pengetahuan secara lebih definitif dengan sebutan “Qur’anic worldview”, serta para aktivis muslim lainya dengan berbagai macam rumusan corak yang berbeda.
Akan tetapi meskipun rumusan gagasan mereka berbeda-beda tetapi memiliki satu titik temu yang sama yaitu “Sains Islam”. Di mana gagasan tersebut hadir sebagai tantangan bagi umat Islam dalam menghadapi fenomena Sekular-Barat di era kontemporer saat kini. Di sisi lain sebagai bentuk revitalisasi peradaban Islam yang telah berabad-abad. Di mana dimensi “Sains” dan “Agama” tidak dikotomi di antara keduanya.
Dalam konteks menuju Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) dengan tema “Iptek dan Inovasi Dalam Industri kreatif 4.0” pada tanggal 24 Agustus 2019 di Bali. Kita melihat banyak usaha untuk meninjau segi kebermanfaat teknologi bagi umat manusia mulai dari daya saing bangsa di era revolusi 4.0, Teknologi ICT AR (Augmented Reality), VR (Virtual Reality) dsb (hakteknas.ristekdikti.go.id diakses 02 Juli 2019).
Akan tetapi realitanya kita tidak menemukan keterkaitan teknologi tersebut dengan eksistensi yang lebih tinggi yaitu dimensi ketuhanan dalam aplikasinya. Oleh karena itu, diperlukan gagasan Islamisasi Sains agar teknologi dapat mengintegrasikan aspek kemanusiaan (habl min an-nâs) dalam aplikasi serta implementasi teknologi itu sendiri sebagai sebuah alat yang dapat memberikan kemanfaatan bagi umat manusia dan aspek ketuhanan sebagai bentuk puji syukur dan dzikir kepada Allah SWT (habl min-Allah).
Pada dasarnya hal tersebut merupakan paradigma seorang muslim agar tidak mendikotomi antara ilmu pengetahuan (misalkan manfaat teknologi) dan dimensi ketuhanan. Hal ini, sebagaimana firman Allah SWT :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (191.)(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(Q.S. Ali-Imran: 190-191)
Ayat di atas merupakan sebuah bukti secara eksplisit bahwa paradigma seorang muslim dalam mengkaji alam atau sains dapat sekaligus menggunakan keimanannya. Dari perspektif ini, kita melihat tidak ada dikotomi antara realita mengkaji alam untuk kemanfaatn SDM (habl min an-nâs) dan aspek ketuhanan (habl min-Allah).
Maka dalam konteks Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas), perlu ditanamkan paradigma ini dengan konsep “Islamisasi Sains” yang mana agar dapat terbebas dari dominasi Sekularisme baik secara eksplisit maupun implisit. Tentunya paradigma ini, dapat dikategorikan sebagai tujuan akhir dari ilmu dalam Islam yaitu bertambahnya pengetahuan baik tentang alam, teknologi dsb disertai bertambahnya keimanan. Di sinilah letak relevansi Islamisasi Sains dengan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas). waallahu ‘alam bi shawâb