Esai, Opini  

Hikmah Ramadan dari Syair Abu Nawas dan Shalawat Tarhim

Hikmah Ramadan dari Syair Abu Nawas dan Shalawat Tarhim

Lantunan suara indah Shalawat Tarhim Syekh Mahmud Khalil al-Hushari ini konon zaman dahulu memang sering diperdengarkan melalui pengeras suara di masjid-masjid menjelang azan subuh. Selain itu ada juga Syair Abu Nawas  yang banyak dilantunkan ketika jeda antara azan dan iqomah. Kedua Syair tersebut: Shalawat Tarhim dan Syair Abu Nawas dua syair yang banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia hingga hari ini. Lalu apa kaitannya dua syair itu terhadap Ramadan? Dalam ayat yang sering kita dengar ketika Bulan Ramadan datang, al-Baqarah ayat 183, kita dapati akhir dari perintah berpuasa dalam ayat tersebut adalah supaya kita mencapai takwa.

Secara umum pemahaman kata “takwa” yang paling mainstream dipahami oleh masyarakat luas adalah “takut”. Guru di TPA, di sekolah-sekolah, bahkan sampai dosen di perguruan tinggi, mayoritas menjelaskan arti takwa kepada para peserta didiknya dengan arti kata: takut. Mungkin tidak salah juga jika kata takwa dipahami dengan istilah takut, tapi ada sedikit gundah dalam perkara itu.

Pertama kalau kita mengambil Islam sebaga worldview atau dasar pola fikir kita, maka takwa itu artinya adalah kita “nempel” sama Allah. Allah menjadi pertimbangan utama dalam kehidupan dan dalam setiap pengambilan keputusan kita. Kedua apabila kita kaitkan takwa dengan sikap wara’ dan ihsan dalam perbuatan, maka pandangan bahwa takwa adalah kita selalu berada dalam kondisi waspada dalam kehidupan kita. Setiap hendak melakukan sesuatu, kita waspada bahwa ada aturan main yang sudah ditetapkan oleh Allah; ada dosa dan pahala, ada imbalan dan hukuman, hingga puncaknya ada surga dan neraka.

Jadi simpelnya nempel kepada Allah dan waspada terhadap segala kemungkinan aturan main-Nya. Dan puasa, menyimpan rahasia yang begitu luar biasa, yang melatih kita untuk menuju derajat takwa itu.

Secara kasatmata, yang dilakukan orang ketika berpuasa adalah menahan lapar, haus, dan hawa nafsu. Meskipun masih banyak juga manusia yang levelnya baru mencapai tahap “menunda” makan, minum dan melampiaskan nafsu. Tetapi, secara substansi puasa tidak hanya persoalan menahan lapar, haus dan nafsu saja. Betapa rendah manusia jika untuk persoalan menahan tiga hal itu harus menunggu datangnya bulan Ramadan. Apalagi jika kemudian benar-benar manusia hanya memahami bahwa takwa itu adalah takut kepada Allah.

Coba kita simak bait per bait, kalimat per kalimat, kata per kata Syair Sholawat Tarhim dan Syair Abu Nawas. Adakah tiap kalimat itu yang mengekspresikan “takut”?

Yang justru kita selami adalah nuansa kemesraan, keakraban, dan manja kepada Allah dan Rasulullah. Bukankah sebenarnya itu yang seharusnya terbangun dalam dialektika hubungan hamba dengan Tuhannya? Betapa “usil” Abu Nawas mengawali Syairnya dengan ungkapan; “Ya Allah, aku ini bukanlah ahli surga, tetapi aku juga tidak kuat jika dimasukkan ke neraka. Sebuah ungkapan yang manja, nakal, usil, tapi membahagiakan, menggembirakan dan menyenangkan. Begitulah seharusnya hubungan antara manusia dengan Allah.

Begitu juga dengan Shalawat Tarhim karya Syekh Mahmud Khalil al-Hushari. Pemilihan kata-kata yang disusun dalam Shalawat Tarhim itu sama sekali tidak menunjukkan ungkapan rasa takut kepada Allah. Justru yang kita tangkap adalah ungkapan cinta kepada Allah, di mana Rasulullah ﷺ adalah “password” untuk menggapai cinta Allah itu.

Betapa Allah membuka sedikit rahasia tentang takwa kepada saya sendiri melalui Sholawat Tarhim dan Syair Abu Nawas itu tadi. Tidak perlu membaca kitab tafsir karya ulama A, B, C, D dan lain sebagainya. Hanya melalui karya Syekh Mahmud Khalil al-Hushari dan Abu Nawas, spektrum dan nuansa takwa bisa saya pahami. Tentu saja kebenaran ini bukanlah kebenaran final, karena setiap orang juga berhak menemukan definisi dan makna takwa itu menurut mereka masing-masing.

Dan betapa Allah begitu sempurna memberikan kita metode berupa puasa ini untuk menggapai takwa. Metode yang bukan hanya disampaikan melalui Surat al-Baqarah ayat 183 saja, tetapi juga melalui Perang Badar yang dialami Rasulullah ﷺ pada tahun kedua Hijriyah itu. Berperang di bulan Ramadan, dengan pasukan yang bermodalkan persenjataan dan kekuatan fisik yang seadanya. Rasulullah  ﷺ beserta para pasukan mampu memenangkan pertempuran yang dahsyat itu. Tetapi, setelah peperangan itu Rasulullah ﷺ kemudian berpesan bahwa setelah Perang Badar itu masih ada peperangan yang lebih besar lagi, yaitu perang melawan diri sendiri.

Puasa tidak sekadar persoalan menahan lapar, haus dan hawa nafsu saja.  Lebih dari itu, puasa adalah sebuah metode yang melatih kita agar mampu mengendalikan diri. Sehingga kita kemudian mampu juga mengaplikasikan “Ramadan Sepanjang Zaman”. Kita berlaku Islam bukan hanya karena kita memasuki bulan Ramadan, tetapi seharusnya kita mampu mengelola diri ketika kita sudah melewati momentum Ramadan. Kita anggap bulan Ramadan sebagai “madrasah” sehingga pada 11 bulan yang akan datang kita memiliki fondasi dan kuda-kuda yang lebih kuat, sekaligus kita menjadikan bulan Ramadan sebagai bulan refleksi perjalanan 11 bulan yang telah berlalu.

Tentu saja yang kita harapkan dan kita cita-citakan adalah kualitas keimanan yang lebih baik dari sebelumnya, dan bulan ramadan adalah momentum yang tepat bagi kita untuk melakukan refleksi terhadap diri sendiri. Sehingga, pilihannya adalah apakah ketika menyambut idul fitri, kita akan melampiaskan atau masih “berpuasa”?

Jika introspeksi dan latihan di dalam “madrasah” Ramadan tak dibawa sepanjang waktu maka akan sirna esensi dari bulan Ramadan. Hanya introspeksi semu yang memiliki sedikit arti saja kita dapati.

Dan sungguh, Abu Nawas begitu indah menutup syair karyanya, “Ilâhî ‘abduka al-‘âshî atâka, muqirron bi al-dzunûbi wa qod da‘âka. Wa in taghfir wa anta lidzâka ahlu, wa in tardud faman narjû siwâka.” Ya Allah, hamba-Mu yang sering melakukan maksiat telah datang kepada-Mu, hamba yang senantiasa berbuat dosa kini bersimpuh berdoa di hadapan-Mu. Jikalau Engaku mengampuni dosa-dosaku, maka memang karena Engkaulah Maha Pengampun, dan jikalau Engkau menolak permohonan ampunan ini, maka kepada siapa lagi kami mengharapkan ampunan itu selain kepada Engkau Ya Allah.

Baca Juga Artikel lainnya “Ramadan, Madrasah Muscle Memory ala Islam”

Wallahu A’lam Bisshawwab

Oleh: Fakhri Abdul Gaffar Ibrahim

Penulis adalah Editor Majalah Manggala 2019/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *