Sekilas judul tulisan ini memang aneh. Sebab bagaimana seorang Ibnu Khaldun meresahkan sebuah praktik yang bahkan dizamannya saja belum ada. Jangankan ada, terpikirkan saja mungkin tidak. Namun hal itu tidak menafikan kalau secara implisit Ibnu Khaldun sudah memberikan warning tentang kekurangan ‘ngaji online’ lewat tulisannya.
Ngaji online yang semakin meledak di masa social distancing ini menjadi sesuatu yang harus disyukuri, sebab ini adalah bukti kepedulian tokoh agamawan pada masyarakatnya dalam asupan ilmu agama. Atau dalam konteks lain aktivitas ngaji online juga menjadi bukti akan eratnya hubungan seorang guru dengan murid-muridnya. Mereka sadar bahwa pendidikan bukan sebatas ruang sekolah, atau lembaran-lembaran buku yang dipegang oleh murid tanpa seorang yang membimbingnya. Meminjam istilah KH Hasyim Asy’ari, katanya lembaran kertas itu tidak bisa membimbing seorang murid dan memberikannya petunjuk, sebab gurulah yang memberikan itu semua.
Namun ditengah kesyukuran ini ada baiknya kita sedikit merenung bahwa bertatap muka langsung dengan ulama dan orang-orang soleh adalah sesuatu yang mulia dan mahal harganya. Ini semua tidak bisa didapatkan dari ngaji online yang hanya bertemu sebatas media sosial. Anda pasti bisa sedikit berkhayal bagaimana rasanya berjumpa dengan sang kekasih secara langsung dan lewat perantara. Meski sama-sama bertemu dan berbincang, namun ada sesuatu yang hilang dari perjumpaan tersebut.
Hal inilah yang diresahkan oleh bapak Sosiologi Islam, Ibnu Khaldun (w. 808 H) sebagaimana yang ditulis dalam masterpiecenya, Muqaddimah. Meski tidak secara gamblang menyatakan keresahannya, Ibnu Khaldun terlihat jelas ingin mencoba menghimbau bagaimana pentingnya bertatap muka dengan seorang ulama. Bahkan Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ada hal yang ‘kurang lengkap’ dari seorang pelajar apabila ia tidak bertatap muka langsung dengan seorang guru.
Kenapa hal ini bisa terjadi? menurut Ibnu Khaldun, pada dasarnya seseorang itu menerapkan pengetahuaannya, perilakunya, atau apapun itu yang ada pada dirinya dari apa yang ia ketahui, baik tau secara sendiri maupun dari orang lain. Artinya perilakunya tersebut adalah manifestasi dari apa yang ia tau atau yang pernah ia dengar dari orang lain. Dan terkadang juga seseorang menerapkan itu semua dengan cara mengikuti (muhakaat) atau ‘terpatri’ (talqiin) lewat sosok yang ia temui secara empat mata dan bermulazamah dengannya, guru misalnya. Artinya tidakan orang tersebut bukan sekadar tau, namun sudah seperti sesuatu yang mendarah daging yang tumbuh pada dirinya. Dan pada cara kedua inilah Ibnu Khaldun ingin menekankan pentingnya bertatap muka dengan seorang guru.
Praktek kedua ini, lanjut Ibnu Khaldun, mampu memberikan efek yang sangat besar pada seorang pelajar. Apa yang dilihat atau yang didengarnya dari seorang guru yang ada di hadapannya secara berulang-ulang akan melekat lebih kuat (aqwaa rushūkhan) pada diri seorang pelajar. Maka jangan heran jika melihat seorang ulama yang pemikirannya, perkataannya, gaya bahasanya, gerak-geriknya, atau bahkan gerakan jarinya sekalipun sangat mirip —bahkan sama— dengan gurunya. Karena inilah implikasi dari apa yang disebut bertatap muka (talaqqi) dan mulazamah pada seorang guru secara langsung.
Selain itu juga, kata Ibnu Khaldun, menemui guru secara langsung dapat membantu membedakan hal-hal yang sering disalahpahami oleh pelajar lainnya. Mereka dapat mengakhiri kebuntuan yang terlintas dalam pikirannya dengan bertanya langsung tanpa melalui perantara. Yang pada akhirnya mereka pun memiliki sikap dan kebijaksanaan untuk mampu memilah-milih mana pendapat yang baik dan mana yang lebih baik, mana yang penting dan lebih penting. Artinya pemahanan yang ditangkap dapat utuh dan paripurna tidak seperti mereka yang ikut ‘ngaji online’
Jika ada yang nyeletuk, “lah itu yang ngaji online sama hadir langsung dua-duanya kan sama-sama paham, atau bahkan yang ngaji online kadang lebih paham dari yang duduk langsung” maka jawabannya: justru inilah yang dikhawatirkan. Pada hakikatnya yang ditakutkan dari belajar tanpa guru walau dengan rajin ikut ngaji online itu bukan pada pembahasan yang tidak dipahami, tapi pada pembahasan yang dianggap sudah paham dengan benar padahal dia salah paham. Ini bahaya baginya dan bagi orang lain. Mungkin dalam majlis itu ia mengira pendapat itu adalah yang muktabar, padahal itu adalah syadz.
Dari sinilah, disamping harus bersyukur atas kepedulian para pemuka agamawan dengan kondisi masyarakat, terkhusus murid mereka dalam asupan ilmu agama, kondisi saat ini seharusnya juga menjadi pengingat bagi kita bahwa duduk bertatap muka dengan ulama dan bermulazamah dengan mereka adalah hal yang amat berharga. Beda mereka yang belajar langsung dihadapan ulama dengan mereka yang hanya belajar via online. Meski zahirnya terlihat sama, namun ada ‘sesuatu’ yang tidak hadir dalam ilmu yang didengar via online; ada ‘cahaya’ yang tidak sampai dan dirasakan oleh pelajar ketika mendengar lewat layar kecil itu. Jika ulama ada pewaris Nabi yang memancarkan cahayanya, apakah cahaya itu dapat dirasakan lewat layar kecil yang hanya sebatas perantara?
Namun ini juga bukan berarti tidak mendengarkan sama sekali apa yang disampaikan dalam kajian online tersebut. Sebagaimana kaidah dalam usul fikih, apa yang tidak bisa dikerjakan semuanya, maka jangan ditinggalkan seluruhnya. Keresahan Ibnu Khaldun bukan dijadikan peluru untuk hal-hal seperti ini. Keresahan itu semestinya kita jadikan renungan bersama dan evaluasi nyata ketika pandemi ini telah berakhir. Temui ulama, hormati mereka dan duduk belajarlah dihadapannya. Mari kita berdoa bersama agar musibah ini segera usai. Al-Fatihah.
Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Hari Kebangkitan Nasional: di Balik Pemilihan Budi Utomo”
Oleh: Bana Fatahillah
Penulis adalah Editor Majalah Manggala 2017-2019 dan Pemimpin Redaksi Majalah La Tansa 2017/2018