Langit Tanpa Bintang

Langit Tanpa Bintang

Malam mendekap jalanan yang gelap. Langit legam tanpa bintang Dinda tatap. Semilir berita malam itu, membawanya ke balkon rumah, sebab usangnya sebuah harap. Ia tak mau ada kawan yang melihat mata indahnya berkaca-kaca lagi meratap. Setelah membaca pesan singkat yang amat menyakitkan, ponsel itu ia dekap. Sebuah berita yang melemparnya jauh dalam ruangan luka yang pengap.

Matanya kembali mengarah ke langit, mengingat makhluk Tuhan yang untuk dijangkau saja rasanya sulit.

“Langit… untuk apa kau mengucap salam ta’aruf padaku jika akhirnya yang kau bawa pulang bukan aku? Dulu kau bercerita bahwa pertunanganmu dengan wanita berdarah Palestina itu sudah usai, bahkan kau sudah diremehkan dan dikecewakannya. Tapi kenapa besok…” tangan kanannya reflek menutup mulutnya. Sementara lengan kiri berusaha mengguncang dada agar sakit itu reda. Berita malam itu sudah melukainya begitu dalam, sedalam harapannya pada Kak Reza. Dinda gelengkan kepalanya, harap rasional itu kembali ada.

Baginya, masih ada satu tanya yang belum usai. Dinda ingin menuntut maksud dan mengajukan banding atas perhatian Kak Reza selama ini kepadanya. Bagi seorang perempuan yang cenderung introvert seperti Dinda, kebaikan laki-laki terlalu pelik untuk didefinisikan. Membuat seorang perempuan selalu dalam kebingungan dan menuntut kepastian.

“Payah! Padahal nomornya sudah ku hapus.” Pekik Dinda, memaki diri atas satu demi satu memori tentang Kak Reza yang tak mau pergi.

Semua jelas tergambar dalam benak seorang perempuan yang sedang berusaha menolak derasnya ingatan. Kebaikan dan ketulusan Kak Reza kepada siapa pun telah terlanjur ia rekam menjadi kenangan dan panutan.

Dinda ingat, suatu hari sepulang bimbingan belajar bersama Kak Reza, saat Kak Reza berjalan dengan langkah yang agak cepat sehingga berada sekitar 3 meter di depan Dinda dan kawan-kawannya. Mereka dengan percaya diri membicarakan sang kakak senior yang penuh misteri itu. Di selingi pepohonan dan bangunan rumah kotak yang semuanya hampir sama persis, berjajar kokoh di kanan kiri jalan.

“Din, kenapa ya kak Reza itu kok mau jadi pembimbing kita. Jauh-jauh dari Darrasah ke Asyr, kadang 3 kali sepekan, ga pernah juga kita ongkosin. Emang beliau masih kurang sibuk ya dengan kuliah di 2 tempat?” Kata Adis setengah berbisik ke telinga kanan Dinda.

“Kak Reza itu selalu bilang yang berjuang itu banyak, tapi yang berjuang karena Allah itu sedikit.” Kenang Dinda.

Selesai satu memori tentang perjuangan Kak Reza, ingatan Dinda loncat begitu saja menyelami perjuangannya yang selalu dimotivasi Kak Reza. Hari itu, sang langit datang dan menunggu di luar gedung, memakai baju berkerah warna merah agak tua berpadu dengan celana coklat muda. Sang langit mengucapkan selamat atas wisuda Qurannya sambil tersenyum ramah dan menyatukan kedua tangannya di atas dada.

“Kak, dia ini peserta terbaik nomor satu loh.” Sambung Adis yang bagai sudah menjadi bayangannya Dinda.

“MasyaaAllah, maaf ya Din, harusnya saya bawa bunga dan kue atas keberhasilan perjuangan kamu. Saya bener-bener minta maaf.” Nadanya seolah penuh penyesalan datang dengan tangan kosong. Tentu Dinda tidak masalah dengan itu, karena doa dari sosok yang ia kagumi sudah lebih dari cukup. Apalagi sang langit menawarkan diri untuk mentraktir Dinda dan teman-temannya atas nama syukuran.

Bunga dan kue coklat bukan hanya mengingatkan Dinda pada hari wisuda Qurannya, tapi juga ingatan tentang hari wisuda kuliah Kak Reza, peraih double degree. Harinya yang  bertepatan dengan Suq Sayarat menyebabkan jalanan padat, tapi sepi dari angkutan umum.

Dinda dengan gamis dan pasmina hitamnya harus berjalan kaki di bawah terik matahari, sambil sedikit mengangkat gamisnya karena kepanjangan. Ia juga terpaksa setengah berlari ke toko bunga karena takut terlambat datang ke acara wisuda. Masih ada untungnya kok, jarak rumah ke toko bunga tidak jauh, sekitar 15 menit.

‘Aiz dah wa dah wa dah. Mesyi?” Dinda tidak pernah membeli rangkaian bunga sebelumnya jadi jurus pamungkasnya adalah dengan menunjuk apa yang ia inginkan sambil mengucapkan “Saya ingin, ini dan ini dan ini.”

Tokonya terbangun dari kaca transparan, bagai taman bunga yang dirawat penuh cinta. Dari luar saja kita bisa terhipnotis dengan romantisme warna-warni bunga yang disusun  perbatangan dalam kulkas besar, ada juga bunga yang masih ditanam di tanah dengan pot berbagai ukuran. Tersedia pula beberapa tempat duduk cantik bagai di Taman Bunga Nusantara Bogor, bedanya ini di dalam ruang ber-AC.

“Din!” Seru Adis. Dinda terkejut bukan main saat lamunannya terpaksa berhenti hanya sampai toko bunga. “Cie… yang mau ditinggal ke Indonesia kayaknya lagi sedih. Pokoknya kamu besok ikut kita ke bandara!” Sambung Adis. Tangannya merangkul pundak Dinda, tapi segera Dinda menurunkan tangan teman yang tengah memaksanya itu.

“Aku kan udah bilang titip salam aja lewat kalian. Aku ga akan ke bandara” Getir Dinda. Bukan kepulangan sang langit, Kak Reza, tapi kabar bahwa Keluarga Palestina, keluarga calon istrinya akan ke Indonesia bersamanya membuat Dinda kecewa sekaligus enggan mengantarnya ke bandara. “Udah ya, aku ga mau debat. Aku capek Dis, pengen tidur.” Sambung Dinda sembari masuk ke kamar dan meninggalkan Adis sendirian di balkon.

***

Saat senja tiba, matanya menatap langit dari kotak jendela. Langit yang baginya terasa lampa, lekang dari cahaya bintang. Sudah sejak sebulan ini langit terasa berbeda, sejak Dinda benar-benar menolak untuk mengantar “langit”-nya ke Bandara.

“Dinda…” Sahur Adis. Terasa aneh bagi Dinda yang sudah sebulan tak mau berbicara dengan Adis akibat kesal dipaksa ikut ke bandara.

“Din, tau ga sih setelah di bandara itu, Kak Reza ga ada kabar lagi,” Adis menarik napas, melihat respon Dinda yang sedingin  “Kata temen deketnya sih beliau sibuk persiapan S2 ke Eropa—”

“Persiapan yang lain kali Dis.” Potong Dinda, sembari kesal mengingat wanita Palestina itu.

“Yang lain apa? Kan kamunya juga di sini Dinda…” Adis memeluk Dinda, berusaha menenangkan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa langit akan kembali seperti sedia kala, indah bertabur bintang.

***

Dua bulan sudah berlalu. Langit malam masih saja muram dengan nuansa kelabu, tanpa ada sebutir bitang pun yang berlabu.

“Ping…ping…ping…” notifikasi hape Adis tak henti-hentinya berbunyi. Jarinya menggeser layar ke atas dan ke bawah. Matanya melihat judul broadcast pesan di semua grup hampir sama. Satu yang ada di pikiran Adis waktu itu, Dinda. Kakinya segera berlari ke kamar. Pintu kamar didorongnya, membentur lemari.

“Din, kamu jangan kaget ya. Ada berita tentang kak Reza.” Kata Adis yang jantungnya masih tak karuan karena berita yang ada di tangannya. Tidak seperti dua bulan silam ketika mengetahui rencana pernikahan Kak Reza usai kepulangannya; ia menatap langit sembari menangis. Kali ini—meski masih sama-sama menatap langit—Dinda malah tersenyum manis. Ia sudah sangat yakin kalau berita yang Adis bawa adalah berita pernikahan kak Reza dengan wanita cantik  berdarah Palestina.

“Yang sabar ya Din.” Simpati Adis. Dinda menarik napas panjang, mengambil hape yang sedari tadi Adis sodorkan. Ia hendak mengucap selamat dan doa bagi kebahagiaan langitnya, panutannya. Namun ia tak melihat ucapan suka cita atas pernikahan sebagaimana keyakinannya selama ini. Jarum detik yang berdetak bersama jantung Dinda seolah berhenti sejenak, ternyata yang ada disana ucapan belasungkawa.

“Langit…Nampaknya Allah lebih rindu lagi mencintaimu.” Lirih Dinda, diiringi ucap kalimat istirja serta doa.

Baca Juga Cerpen Lainnya: “Malam Tanpa Rembulan”

Oleh: Titin Noor Rohmi

Penulis adalah kontributor dari kegiatan Dwara Aksara KPMJB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *