Malam Tanpa Rembulan

Oleh: Deef Husain*

Malam terasa lengang. Hanya suara angin sepoi-sepoi yang terdengar dari luar jendela yang terbuka sedikit pada ruangan berukuran 6×4 meter. Dingin menjajahi tubuh seorang wanita yang terlihat sangat lemah. Ia perlahan membuka matanya, keluar dari mimpi buruk yang ia rasakan. Penglihatannya yang masih kabur mencoba untuk memandangi seisi ruangan itu. Ingin mengucek, tapi tangannya terasa seperti dililit tali dengan sangat kuat. Perlahan-lahan, matanya mulai bisa melihat dengan jelas. Ia tak tahu sedang berada di mana. Ia menggoyang-goyangkan kepalanya, bangun sehabis pingsan membuatnya pusing, kepalanya yang pusing itu hanya mampu mengingat sedikit peristiwa yang terjadi padanya. Dan hal yang tersisa dalam ingatannya adalah peristiwa itu. Ya! Peristiwa yang mungkin membuatnya berakhir di dalam ruangan senyap ini.

***

Malam yang riuh untuk sebuah acara seminar yang digelar oleh para mahasiswa di gedung auditorium kampus. Suara sorak-sorai para mahasiswa terdengar, membuat acara itu semakin meriah. Motivator terkenal yang mereka hadirkan malam itu, tampak sekilau mutiara, dan bersemangat memberikan seminar tentang “Nikah Muda”. Pada awalnya, acara tersebut diagendakan untuk mulai jam enam malam. Namun karena beberapa kendala, acara tersebut baru dimulai pada jam delapan malam.

“Kamu dengar tadi manfaat nikah muda, Cha?” tanya Bima yang tiba-tiba berdiri di samping Icha setelah acara selesai.

“Tau, ah. Bodoh amat,” jawab Icha kecut. Ia sedikit kaget, tapi ia sudah tau kebiasaan Bima memang seperti itu, bercanda yang kadang sering dianggap berlebihan.

“Eh, malah pergi. Kamu mau ke mana?”

“Ke kuburan. Yah, pulang lah!”

“Sendirian? Barengan yuk ama temen-temen aku. Rumah kita kan sama-sama deket dari sini. Bahaya loh bagi wanita pulang tengah malam gini, jalan sendirian lagi.”

“Ngga ah, makasih. Kelamaan nunggu temenmu, aku udah buru-buru.” Icha menjawab dengan nada yang ketus.

Ia menduga, itu pasti hanya akal-akalan Bima saja biar bisa pulang sama-sama. Memang akhir-akhir ini, Ia agak kesal dengan sikap Bima terhadapnya yang terlihat sok perhatian, kadang sedikit berlebihan. Seperti membelikannya air mineral setelah kegiatan bimbingan pramuka di salah satu SD— karena mereka kebetulan sama-sama Pembina pramuka di SD tersebut, selalu menanyakan keadaannya, atau menawarkan bantuan buat tugas kuliahnya. Dasar bucin! Gumamnya dalam hati, kemudian pergi meninggalkan Bima yang tersenyum paksa, padahal sebenarnya hatinya benar-benar khawatir.

Rumah Icha memang agak dekat dari kampus, tapi masih harus memasuki beberapa gang perumahan untuk bisa sampai ke rumahnya. Ia sudah biasa pulang sendirian, kadang memesan Grab, kadang juga jalan kaki. Malam itu, ia lebih memilih jalan kaki karena tak mau kelamaan menunggu sopir Grab-nya menjemput, apalagi jika ada Bima yang mau tak mau pasti akan menemaninya sembari menunggu.

Icha berjalan pelan memasuki gang, menjauh dari keramaian jalan raya. Gang itu terlihat sunyi mencekam, sepi dari lalu-lalang orang-orang. Ia berusaha bersikap seperti biasanya, meski jauh dalam hatinya, ia merasa sedikit takut. Belum pernah ia pulang semalam itu, jam menunjukkan pukul 12 lewat tengah malam. Ia mengambil earphone dari tas, memasangnya di telinga, mencolokkan kabel sambungannya di HP, kemudian mendengarkan lagu untuk menghilangkan rasa takutnya. Ia masih berjalan pelan menyusuri gang tersebut.

Setelah beberapa menit ia berjalan, Icha merasakan ada hal aneh di area sekitar. Icha merasa seperti ada sesosok makhluk yang mengikutinya. Ia men­jeda pemutaran musiknya, kemudian menoleh pelan ke arah belakang. Namun ia tak mendapati seorang pun yang sedang mengikutinya. Ia kembali berjalan, earphone­-nya tak mengeluarkan lagu, membuatnya dapat mendengar dengan jelas suara langkah kaki yang sedang berjalan dari belakangnya. Ia mempercepat langkah kakinya. Semakin cepat, semakin dekatlah asal suara langkah kaki itu. Siapa yang mengikutiku? Apakah itu Bima? Ia menerka-nerka dalam hati untuk menghilangkan kekhawatirannya.

Malam itu, suasana semakin mencekam. Tak ada cahaya rembulan, yang ada hanya terpaan angin malam. Jalanan gang hanya disinari oleh lampu-lampu depan rumah penduduk perumahan yang masih menyala. Ia berharap masih ada masyarakat perumahan yang setidaknya sedang nongkrong di depan rumah mereka. Namun yang ia dapati tak sesuai harapan. Tak ada seorang pun di sekitar sini, hanya sesosok yang Icha rasa sedang mengikutinya itu. Suara langkah kaki semakin terdengar. Tiba-tiba, di antara keheningan malam, ia merasakan ada tangan yang menyentuh bahunya, ia memberanikan diri menoleh pelan ke belakang, yang ia lihat sosok laki-laki berbadan kekar dengan tampang yang menakutkan. Ia tak kenal wajah itu.

Dengan rasa takut yang menerkamnya, spontan Ia langsung lari secepat yang ia bisa. Ingin sekali ia berteriak meminta tolong, tapi bibirnya beku oleh jantungnya yang membuncah naik-turun. Ia terus berlari, lelaki itu masih mengejarnya. Hampir saja ia tertangkap, saat jarak lelaki itu sudah sangat dekat dengannya. Ia langsung menambah kecepatannya. Entah apa yang merasukinya, malam itu larinya terlihat lebih kencang dari biasanya, lebih cepat dari lari wanita secara umumnya.

Ia masih terus berlari, dengan sesekali menoleh ke belakang. Tanpa ia sadari, ada seorang lagi yang sedang menunggunya di depan. Ini terlihat seperti sudah direncanakan. Seperti mereka memang sedang menunggu seseorang yang jalan sendirian melewati tempat itu, atau bahkan yang mereka tunggu adalah wanita itu, Icha Handayani. Ia sungguh tak mengerti situasi itu. Lelaki yang berada di depannya langsung menahannya. Icha memberontak hebat. Namun ia tak sanggup melawan kekuatan laki-laki berbadan kekar itu, ditambah lagi, laki-laki yang dari tadi mengejarnya kini telah memegang erat kedua tangannya. Lelaki yang sedang menunggunya tadi, langsung menyekap mulut dan hidungnya dengan sapu tangan. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya perlahan lemas. Energinya menghilang, matanya terlihat kabur. Sempat terbayang wajah kedua orang tuanya, juga wajah Bima. Tiba-tiba saja wajah itu terlintas, ia tak tahu mengapa, yang ia pahami saat itu hanyalah, ia telah dibius.

***

Malam itu penuh dengan kesedihan, penyesalan, dan tangisan. Masih pada malam yang sama saat ia pertama kali terbangun dari pingsannya. Setelah mengingat kejadian tersebut hanya membuat pikirannya berkecamuk tentang apa yang akan atau telah mereka lakukan padanya. Ia sangat menyesal. Kalau ia tau akhirnya akan seperti ini, seharusnya ia lebih memilih mengesampingkan egonya dan meminta Bima dan teman-temannya mengantarnya pulang ke rumah, atau paling tidak, memesan Grab meski sepanjang penantian akan datangnya sopir Grab itu ditemani oleh Bima, itu seharusnya sudah lebih dari cukup.

Angin malam masuk melewati ventilasi udara. Dinginnya merayap tak hanya di bagian tangan atau kaki, justru ke seluruh tubuh. Ia baru sadar, ternyata ia sedang dalam keadaan tanpa busana. Ia terkesiap. Batinnya merintih. Apa yang sebenarnya telah mereka lakukan padaku? Pikirnya. Ia menangis pelan, menyesal. Tak tahu siapa yang harus disalahkan.

Terdengar suara pintu berdecit. Seseorang yang tak ia kenal masuk melalui pintu itu. Sepertinya itu adalah laki-laki yang mengejarnya semalam— mungkin, ia tak tahu pastinya telah berapa lama ia dalam ruangan ini. Ia menatap laki-laki itu dengan perasaan tegang, takut, sekaligus malu karena laki-laki itu memandangi tubuhnya yang telanjang. Laki-laki itu hanya tertawa, kemudian menghisap rokok yang ada di tangannya.

Batinnya kembali merintih hebat. Air mata terlihat membasahi pipinya yang lembut. Gadis yang malang, perkiraan yang ia khawatirkan ternyata benar. Ia mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi padanya selama ia pingsan, setelah mendengar ucapan laki-laki yang mengiris hatinya itu, menyisakan luka yang teramat dalam.

“Tubuhmu sangat nikmat, Gadis Manis. Besok puaskan Abang lagi, yah!” ucap laki-laki itu sambil tertawa lebar.

*Penulis adalah pemimpin redaksi Majalah Manggala 2020-2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *