Kemarin pagi saya mendapatkan kabar dari salah satu aktivis GESAMI (Gerakan Sehat Masisir), tentang adanya Masisir di Darrasah yang menjadi suspect Covid-19. Kabar ini membuktikan coronavirus yang menjadi isu dunia internasional itu benar adanya dan bukan fiktif belaka. Virus yang bermula di Wuhan itu telah hadir di tengah Masisir, walaupun pemerintah Mesir telah mengkonfirmasi kasus pertamanya pada 14 Feb 2020 lalu dengan Kairo sebagai episentrum pandemi ini. Ukuran virus Covid-19 yang terlampau kecil ini bersifat abstrak alias tidak bisa diindera dengan mudah, sehingga menyebabkan orang meragukan keberadaannya bahkan ada juga yang pasrah saja.
Bukti keberadaan Covid-19 itu bisa kita ketahui dari update yang dikonfirmasikan oleh pemerintah Mesir tiap harinya melalui media sosial atau kabar di media massa. Terhitung sejak pertama kali dikonfirmasi per-hari ini, total kasus sudah menembus angka 50,437 korban, dengan rincian pasien sembuh sebanyak 13,528, wafat 1,938 orang, dan pasien aktif sebanyak 34,971 ((www.worldometers.info/coronavirus/). Jumlah yang tidak sedikit dibarengi dengan pertambahan kasus harian yang akhir-akhir ini selalu di atas angka 1.200 korban membuat kita selalu khawatir.
Berbagai upaya pencegahan dan pemulihan telah dilakukan untuk menurunkan besaran angka kasus yang ada melalui kebijakan nasional dan global. Antara lain dengan diberlakukannya jam malam, perkuliahan secara daring (termasuk 70% kegiatan belajar mengajar di Kampus Al-Azhar), kebijakan lockdown lalu lintas penerbangan internasional, dan kebijakan-kebijakan lainnya termasuk yang dekat sekali dengan aktivitas kita tapi selalu terasa jauh: fasilitas ibadah di masjid. Dalam lingkup komunitas Masisir pun, kampanye pencegahan dilakukan secara masif oleh pengurus PPMI Mesir yang berkolaborasi dengan KBRI, juga dengan kekeluargaan. Semua upaya itu adalah bukti betapa seriusnya Covid-19 menghantui kita.
Kampanye pencegahan dengan imbauan agar kita selalu mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan para ahli kesehatan dari ikatan dokter, World Health Organization (WHO) dan atau kementerian kesehatan adalah penting adanya. Virus ini tidak mengenal tempat dan kepada siapa akan menular termasuk juga kapan ia akan datang. Seharusnya tidak ada lagi alasan untuk tidak mematuhi protokol yang telah ditetapkan. Misalnya mencuci tangan sehabis dari luar rumah bisa jadi cara efektif karena kita tidak mengetahui telah berinterkasi dengan siapa terinfeksi apa. Tapi ini bukan ajaran menuju anti-sosial ya :D.
Memakai masker dan membawa hand sanitizer juga adalah upaya menghindarkan diri dari Covid-19. Meski ketika kita telah menaati protokol, hal itu belum menjadi jaminan terhindar atau tidak, minimalnya kita telah berikhtiar sambil bertawakal atas musibah ini. Namun masih adanya Masisir yang beraktivitas di luar dan kemudian tidak mematuhi protokol dengan tidak memakai masker misal membuat kita miris. Kurang bukti apa lagi? Termasuk yang olah raga dengan senam berjamah itu. Olah raga boleh saja. Benar. Menyehatkan. Merelaksasi tubuh. Tapi di tengah pandemi seperti ini dan dilakukan di ruang terbuka seperti itu apa kata Mbah Tedjo: pener atawa tepat gak tuh?
Keberadaan Covid-19 ini benar adanya. Nyata sekali. Kebijakan nasional dan global oleh pemerintah Mesir mengindikasikan bahwa Covid-19 ini adalah masalah serius. Nyawa adalah taruhannya. Protokol yang telah ditetapkan adalah juga tanda virus ini bukan sembarang virus. Selanjutnya kehadiran virus ini ke tengah kita berarti adalah alarm agar kita lebih mawas lagi. Mematuhi kebijakan, menjalankan protokol kesehatan sebisa mungkin barangkali adalah benteng terakhir bagi kita semua agar terhindar dari bahaya pandemi Covid-19 yang nyata adanya ini.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Pandemi Covid-19, Rancangan ‘Sekelompok Orang’?”
Oleh: Abdul Fatah Amrullah
Penulis adalah Tim Redaksi Informatika dan Sekretaris Redaksi Manggala periode 2017/2018