Esai, Opini  

Merdeka Belajar, Untuk Siapa?

Oleh: Salma Azizah Dzakiyyunnisa*

Secara de facto, determinan paradigma politik serta hukum positif secara kuat memengaruhi sistem pendidikan suatu bangsa. Bagaimana corak dan bentuk sistem pendidikan; apa dan bagaimana ia diterapkan; mau tidak mau terikat dengan stakeholder yang sedang berkuasa dalam pengambilan kebijakan, termasuk dalam ranah pendidikan. Ambil contoh, dalam historis masa ke masa, perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia di tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan 2004, 2006 serta 2013 merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan paradigma politik yang ada.

Kemudian, pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (UU No. 20 tahu 2003); tentu diwarnai ideologi yang memberikan nilai dasar (basic values) kehidupan masyarakat dan negara. Ini fakta yang tidak bisa dielakkan. Dengan demikian, determinan ideologi juga turut andil dalam mewarnai kebijakan pendidikan yang ditelurkan penguasa.

Wajar, bila akhirnya muncul pernyataan, “Ganti menteri, ganti kebijakan”, termasuk kebijakan pendidikan. Unsur politis, value, ideologi, maupun tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan penguasa acap kali di-setting sedemikian rupa dalam kerangka pendidikan. Begitu pula di Indonesia, dalam hal ini kebijakan “Merdeka Belajar” dan “Kampus Merdeka” yang baru saja digaungkan Nadiem Makarim.

Berangkat dari sini, rasanya menarik untuk membahas, “Merdeka Belajar, Untuk Siapa?”, terutama bagi kita yang sedang terjun dalam dinamika dunia pendidikan. Akankah guna kemaslahatan kita selaku generasi bangsa, ataukah penguasa, atau kepentingan pihak ketiga? Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya mengulas terlebih dahulu apa dan bagaimana Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang dicanangkan Mendikbud Republik Indonesia itu.

Merdeka Belajar & Kampus Merdeka

Belum genap tiga bulan setelah pelantikannya, Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Mendikbud) mengeluarkan kebijakan pendidikan baru; Merdeka Belajar. Dalam presentasi Rapat Koordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Seluruh Indonesia, 11 Desember 2019 lalu, beliau menyampaikan bahwa terdapat empat pokok kebijakan Merdeka Belajar:

Pertama, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan diganti dengan ujian (asasmen) yang diselenggarakan hanya oleh sekolah sehingga guru dan sekolah lebih merdeka dalam menilai hasil belajar siswa; Kedua, Ujian Nasional (UN) akan diubah menjadi Asasmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (literasi, numerasi, karakter) yang mengacu pada PISA dan TIMSS; Ketiga, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dalam hal ini guru dibebaskan  memilih, membuat, menggunakan dan mengembangkan format RPP yang mana sebelumnya diarahkan untuk mengikuti RPP secara kaku, sehingga guru lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri; Keempat, Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.

Selang satu bulan, seiring dengan arah kebijakan Merdeka Belajar, Nadiem juga mencetuskan kebijakan Kampus Merdeka. Sebagaimana Merdeka Belajar, Kampus Merdeka memiliki empat pokok kebijakan, yaitu:

Pertama, Pembukaan prodi baru akan dipermudah bagi PTN dan PTS—tidak seperti sebelumnya—dengan syarat berakreditasi A dan B, memiliki mitra perusahaan, organisasi nirbala, institusi multilateral, atau universitas top 100 ranking QS; Kedua, Sistem akreditasi perguruan tinggi, di mana reakreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat, dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat akreditasi; Ketiga, mempermudah PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (BH) tanpa akreditasi apa pun, kapan pun bila merasa sudah siap; Keempat, Satuan Kredit Semester (SKS) yang wajib diambil mahasiswa sebanyak 5 semester, di luar itu kampus wajib memberi hak mahasiswa mengambil SKS di luar PT (berupa magang, pertukaran pelajar, kegiatan wirausaha, mengajar, dan proyek lainnya) selama 2 semester, dan mengambil SKS di prodi yang berbeda selama 1 semester.

Posistif-Negatif Merdeka Belajar

Berbekal anggapan bahwa determinan paradigma politik dan hukum positif serta ideologi penguasa kental mewarnai arah kebijakan pendidikan—sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya—hal ini berguna dalam menyoal Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka ini. Sederhananya, ke mana arah sebuah kebijakan dan untuk siapa ia dicetuskan dapat diteropong melalui latar belakang kebijakan itu sendiri.

Senada dengan ini, pernyataan Nadiem ketika menanggapi hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, di kala Indonesia mendapat peringkat 10 terbawah menarik untuk dicermati. Beliau mengatakan melalui Detik.com, bahwa hasil tersebut bagian dari sebuah perspektif, sementara perspektif itu penting, karena menjadi insight baru dan angle untuk mengukur kira dan menunjukan hal yang tidak kita sadari. Dilanjutnya, “Kami akan terus menelaah upaya untuk melakukan terobosan-terobosan.”

Tidak berselang lama, lahirlah kebijakan Merdeka Belajar sebagai terobosan yang tempo lalu dijanjikannya. Konklusinya, PISA merupakan salah satu latar belakang digaungkannya kebijakan baru ini. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataannya di pokok kedua kebijakan Merdeka Belajar.

Bicara soal PISA—yang menjadi salah satu acuan kebijakan tersebut, ia merupakan sistem ujian yang diinisiasi oleh Organitation for Economic Coorporetion and Development (OECD), sebuah organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi (sumber: kemendikbud.co.id). Organisasi internasional ini dimotori oleh negara-negara adidaya pemain catur perekonomian dunia.

Selain itu, pokok pertama kebijakan Kampus Merdeka—yang mensyaratkan PT memiliki mitra perusahaan, organisasi nirbala, institusi multilateral, atau universitas top 100 ranking QS untuk dipermudah membuka prodi baru—menjadi titik terang bahwa goal dari pendidikan Indonesia memang mencetak SDM yang siap guna dan siap bersaing dalam percaturan ekonomi internasional. Secara pragmatis, paradigma seperti ini memang diperlukan dalam era 4.0, dan kita anggap ini hal positif.

Meski demikian, ada harga yang harus dibayar dari tindak pragmatis ini. Di antaranya, Merdeka Belajar belum cukup membantu terwujudnya tujuan pendidikan dalam kacamata Islamic worldview. Di mana tujuan pendidikan bukan sebatas berorientasi nilai jual pasar ekonomi kapitalis dan korporat, tapi juga melahirkan generasi bertakwa dan berkepribadian Islam. Merdeka Belajar juga belum membantu terwujudnya tujuan pendidikan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 3, ”Pemerintah mengusahakan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.”

Merdeka Belajar juga belum membantu terwujudnya tujuan pendidikan menurut Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, yakni mendidik anak agar menjadi manusia yang sempurna hidupnya, yaitu kehidupan dan penghidupan manusia yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Senada dengan ini, Prof. Muin berpendapat bahwa Nadiem Makarim keliru jika ingin menerapkan konsep pendidikan Amerika Serikat di Indonesia, sebab kebudayaan dan kultur Indonesia sangat jauh berbeda dengan Amerika Serikat.

Selain itu, Merdeka Belajar juga belum mewujudkan critical thinking dalam diri peserta didik. Sebagaimana ungkapan Prof. Noorhaidi Hasan dalam sebuah diskusi di PADMA, bahwa hari ini fakultas dan prodi yang ada cenderung vokasional, mati-matian memberikan keterampilan-keterampilan kerja yang siap pakai, namun mahasiswa tidak bisa dan tidak diajarkan lagi berpikir kritis.

Merdeka Belajar, untuk Siapa?

Konsep dan sistem pendidikan suatu bangsa tidak akan terlepas dari paradigma politik serta hukum positif. Sederhananya, pasti diwarnai oleh situasi dan kondisi regional maupun internasional. Sementara seperti yang kita ketahui, di era 4.0 ini, semua berorientasi pada profit and benefit. Bila sungkan untuk melempar jawaban “Merdeka Belajar, untuk Siapa?” ke pihak ketiga, dalam hal ini kalangan kapitalis dan korporat, tidak salah pikirnya bila mengatakan untuk peserta didik yang diorientasikan memenuhi roda dinamis ekonomi, sehingga harapnya bisa menjadi simbol kemajuan bangsa Indonesia dalam kacamata kapitalis.

*Penulis adalah Pemimpin Umum Majalah Manggala periode 2019-2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *