Oleh : Ayu Husni*
Sejak tahun 2013, tanggal satu Februari telah diperingati sebagai Hari Hijab Sedunia. Yang mana peringatan ini bertujuan untuk menolak diskriminasi terhadap wanita berhijab serta mengajak perempuan di seluruh dunia untuk mengenakan hijab itu sendiri. Peringatan yang diprakarsai oleh Nazma Khan ini akhirnya membuat hijab, khimar, jilbab dan kawan-kawannya mempunyai status dan nilai di mata masyarakat awam yang tidak mengenal Islam.
Namun gerakan solidaritas wanita muslim untuk melindungi hak wanita berhijab ini ditentang oleh kampanye No Hijab Day yang dipelopori oleh seorang wanita Iran, Yasmine Mohammad. Melalui akun sosial medianya, dimana ia membagikan video dirinya melepas hijab yang menutupi kepalanya, kemudian membakar hijab tersebut dengan wajah bangga. Aksi yang diperingati pada hari yang sama dengan World Hijab Day ini tentu saja menyebabkan kontroversi di tengah masyarakat, khususnya di tanah air yang menjadikan hijab sebagai salah satu mode berpakaian.
Berdasarkan perspektif kebebasan yang dianut oleh kaum feminis, aksi yang viral dengan tagar #NoHijabDay atau #FreeFromHijab ini bertujuan untuk melawan aturan-aturan yang memaksa para wanita mengenakan hijab, juga sebagai bentuk arogansi mereka dengan mengatakan tubuhku, otoritasku. Namun dalam perspektif agama, aksi ini merupakan salah satu propaganda anti Islam, dimana fakta seputar hijab diputar-balikan sehingga menghasilkan gambaran buruk terhadap simbol perempuan muslim ini. Singkatnya, No Hijab Day merupakan upaya untuk mendistorsi ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw empat belas abad silam.
Lucunya, aksi ini disambut baik oleh Admin laman Hijrah Indonesia di Facebook dengan alasan memahami keresahan Yasmine mengenai hijabisasi di dunia muslim. Bentuk dukungan dari Hijrah Indonesia adalah dengan mengajak para perempuan untuk mengumbar foto-foto mereka berbusana ala Nusantara. Dengan kata lain, mengajak para perempuan untuk memperlihatkan kepala mereka tanpa memakai hijab, jilbab, ataupun niqab dan semacamnya di seluruh akun sosial media dengan tagar terkait.
Jika bisa dikatakan, sikap pro Hijrah Indonesia terhadap aksi Yasmine adalah bentuk ‘kecolongan’ umat Islam tanah air. Karena hal yang sudah jelas tidak selaras dengan risalah agama ini malah mencuat ke permukaan dengan banyak dukungan di bawahnya. Seakan lupa bahwa kewajiban menutup aurat, menggunakan pakaian takwa, serta menjaga kehormatan adalah perkara yang tidak ada perselisihan di kalangan ulama pada setiap zaman.
Dengan kata lain, persoalan ini adalah muttafaq fih dan bukan mukhtalaf alaih. Ia hadir dengan dalil-dalil qath’iy, baik dari segi tsubut ataupun dari segi dilalah. Maka hal yang disepakati oleh seluruh ulama (muttafaq fih) haruslah sama bagi setiap muslim, tidak boleh ada perbedaan. Berbeda jika ia merupakan perkara yang mukhtalaf alaih, maka toleransi akan mengambil alih dengan kewajiban untuk saling menghormati. Karena itulah kewajiban satr al-‘aurah yang merupakan perkara muttafaq fih tidak boleh ditentang sama sekali.
Allah Swt berfirman dalam surat al-A’raf ayat 26 yang artinya: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.” Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat ini merupakan dalil akan wajibnya menutup aurat. Para ulama tidak berbeda dalam hal ini, mereka hanya berbeda terkait batas-batas aurat saja.
Dalil lain tentang kewajiban menutup aurat adalah sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Janganlah seorang laik-laki melihat aurat laki-laki lain, dan janganlah seorang perempuan melihat aurat perempuan yang lain.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi). Hadis ini dikatakan oleh Imam al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi bahwa ia merupakan dalil haramnya seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, serta haramnya seorang perempuan melihat aurat perempuan; begitu juga sebaliknya; seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat perempuan, dan perempuan tidak boleh melihat aurat laki-laki.
Kembali kepada permasalahan No Hijab Day yang berpusat pada perempuan. Perlu diketahui, bahwa kehidupan bagi perempuan itu terbagi menjadi dua wilayah: wilayah khusus (seperti di dalam rumah) dan wilayah umum (seperti di luar rumah). Pada wilayah khusus, tidaklah wajib bagi perempuan untuk menutup seluruh auratnya, seperti membiarkan kepala mereka terbuka ketika di dalam rumah. Adapun pada wilayah umum, hanya beberapa bagian tubuh saja yang boleh ditampakkan seperti wajah dan tangan hingga pergelangan.
Dalil terkait kewajiban bagi perempuan untuk menutup aurat di luar rumah adalah hadis riwayat Ummu ‘Athiyah ra, yang artinya: “Pada dua hari raya kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslim dan doa mereka. Namun wanita-wanita haid harus menjauhi tempat salat mereka. Seorang wanita kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkah ia keluar?)” Lalu Rasul bersabda, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”” (HR Bukhari dan Muslim).
Maka andai kata berhijab tidak wajib bagi muslimah dalam rangka menutup aurat, niscaya Nabi Saw akan mengizinkan para perempuan untuk keluar dari rumah mereka tanpa berhijab. Nyatanya Nabi SAW tidak mengizinkan perempuan tersebut untuk keluar tanpa berhijab, untuk itulah wajib bagi para Muslimah untuk setia mengenakan atribut yang memproteksi mereka diri mereka tersebut. Tentu saja perlu diingat bahwa sosial media dihukumi sama dengan wilayah umum bagi perempuan sehingga mereka wajib menutup auratnya.
Setelah mengetahui dasar dari kewajiban menutup aurat, maka kita harus yakin bahwa propaganda No Hijab Day adalah sesuatu yang harus ditentang oleh seluruh umat Islam, tidak boleh diamini begitu saja. Adalah kewajiban umat ini untuk selalu menjaga kemurnian agamanya. Semoga dengan demikian, Islam yang merupakan rahmatan lil âlamin ini kelak akan dirasakan oleh seluruh umat manusia.
Wallâhu a’lam bis shawwâb.
*Penulis adalah desainer Majalah Manggala 2019-2020