“Di negeri yang pekat, aku tak sekedar menyala, aku menjelma nyala yang enggan padam, melawan tiupan angin yang mematikan, dan bertahan dalam ketidak stabilan juga ketidak pastian”. Ungkapan itu rasanya paling tepat untuk menggambarkan situasi akhir-akhir ini. Ribuan mahasiswa turun ke jalan, jutaan orang melontarkan kritik, dan seruan #Kaburajadulu juga #Indonesiagelap turut membanjiri laman-laman media sosial di beberapa hari terakhir.
Suara yang dulunya samar, kini semakin terang dikemukakan. Apakah suara itu hanya dikemukakan oleh mahasiswa yang berada di Indonesia saja? Tidak!!! Perwakilan Pelajar Indonesia dari berbagai negara juga turut menyuarakan keresahan tersebut. Apakah di sana termasuk Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia yang berada di Mesir? Ah sudahlah. Tidak usah dibahas. Mungkin mereka-mereka sedang sibuk menyelesaikan event-eventnya.
Per tanggal 22 Februari 2025, tagar #IndonesiaGelap telah digunakan lebih dari 566.000 kali di platform X dan angkanya terus bertambah. Tapi, tagar ini bukan sekadar tren sesaat. Ia lahir dari kegelisahan, dari kebijakan yang bukan hanya tak menjawab kebutuhan rakyat, tapi justru terasa mencekik bagi rakyat. Lantas, apa sebenarnya akar dari semua ini? Apakah demonstrasi, tagar, dan seruan di media sosial benar-benar mampu menyalakan cahaya dalam gelap? Ataukah semuanya hanya akan redup, ditelan kekuasaan yang tak tergoyahkan? Selamat menikmati opini sederhana dari penulis.
Rethinking Tagar Indonesia Gelap
Tagar Indonesia gelap yang menjadi akumulasi dari kemarahan masyarakat tentu tidak lahir dari ruang kosong, juga tidak mungkin diperjuangkan oleh ribuan orang tanpa goals yang jelas. Berangkat dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD tahun anggaran 2025 yang diisukan akan berpengaruh terhadap naiknya biaya UKT dan KIP yang akan ada pemotongan, juga fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan yang dirasa mencekik masyarakat menengah ke bawah, tagar Indonesia gelap mencuat ke permukaan untuk mengcounter kebijakan itu semua. Lebih jauh dari itu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia membuat seruan aksi Indonesia gelap yang dilakukan pada hari Kamis, 20 Februari 2025 yang bertempat di Patung Kuda Jakarta, dengan membawa 13 tuntutan utama untuk pemerintah -penjelasan mendetail berkaitan dengan ke 13 poin tersebut bisa diakses di website Tempo.co- .
Menarik memang, efisiensi anggaran yang seharusnya disambut baik oleh masyarakat sebagaimana yang terjadi di Jawa Barat, justru malah membuat keadaan menjadi gelap. Apakah efisiensi yang digalakan tidak tepat sasaran? Atau tidak menjawab kebutuhan publik? Atau komunikasi pemerintah yang cenderung one off sehingga menimbulkan polemik? Atau mungkin, efisiensi hanya untuk menutup ego kepemimpinan saja dan dialokasikan ke pos-pos yang kurang bermanfaat bagi mayoritas masyarakat terlebih masyarakat menengah ke bawah? Ah, sudahlah. Semua itu bisa kita jawab dengan melihat fenomena yang terjadi seraya berharap pemerintah bisa melakukan telaah lebih lanjut tentang kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya.
Sangat disayangkan, isu kenaikan UKT dan pemotongan KIP mencuat ke publik sebagai buntut dari pemangkasan anggaran. Karena kalau misalkan hal ini terjadi, tidak bisa dibayangkan keadaan masyarakat Indonesia akan terjerumus ke dalam lubang yang sangat pekat -lebih dari gelap-. Gambaranya sederhana, ketika UKT dinaikan dan KIP dipotong, maka banyak anak-anak Indonesia yang akan putus sekolah. Ketika banyak anak-anak Indonesia yang putus sekolah, maka keadaan negara Indonesia bakal terus gelap, bahkan pekat. Yah, natijah nya bisa disimpulkan sesuai dengan keinginan kalian masing-masing. Berbarengan dengan isu yang beredar, menteri keuangan Sri Mulyani melalui beberapa media pers terkemuka di tanah air, menegaskan bahwasanya pemangkasan anggaran tidak akan berdampak kepada kedua hal tadi. Namun, masalah tidak berhenti sampai di sana, statement yang dikemukakan oleh pemerintah tidak dibarengi dengan kepastian hukum juga jaminan yang bisa membuat rakyat bisa keluar dari lubang gelap tersebut.
Contoh fenomena lain yang juga diangkat oleh mahasiswa adalah berkaitan dengan reformasi kepolisian republik Indonesia, dengan dasar gagasan, kepolisian harus direformasi secara menyeluruh untuk menghilangkan budaya represif dan meningkatkan profesionalisme. Bahkan, akhir-akhir ini terdapat sebuah kejadian yang sangat miris, di mana dua personel Sukatani yang menyanyikan lagu ‘Bayar, bayar, bayar’ harus melakukan klarifikasi, penarikan lagu dan meminta maaf kepada institusi Polri karena menyanyikan lagu tersebut. Apakah klarifikasi tersebut diperintahkan oleh pihak kepolisian? “OH….. TENTU TIDAK” . Fun fact, bahkan, ketika band tersebut tidak menyebutkan nama, negara dan polisi yang spesifik pun, masih dianggap mengkritik instansi nya. Alih-alih menjadi turun pemberitaan tentang hal tersebut, justru sikap nya inilah yang dinilai oleh masyarakat sebagai instansi yang anti kritik dan malah akan lebih mencoreng nama baik dari instansi tersebut.
Sebenarnya, masih banyak fenomena-fenomena lain yang bisa dibahas seperti fenomena kelangkaan gas LPG yang menyusahkan masyarakat, hukuman pidana yang dinilai lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, kasus korupsi, pagar laut dan lain sebagainya. Namun yang jelas, ketika segala masalah yang sudah berkaitan dengan perut, pendidikan dan Kesehatan sudah diusik maka tidak menutup kemungkinan akan timbul gerakan Indonesia gelap part-part selanjutnya yang bisa jadi lebih besar dari ini.
Menyalakan Cahaya dalam Gelap
“Ketika rakyat diam, kebenaran terancam. Ketika penguasa tak terbantahkan, keadilan semakin jauh. Dari anggaran yang tak tepat, program makan bergizi yang bermasalah, hingga langkanya gas LPG masalah terus menumpuk, tapi perjuangan tak pernah terhenti”. Begitulah kiranya sebuah utasan dan seruan mahasiswa guna melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak adil. Terdapat banyak sekali cara bagi kita yang ingin berjuang menyalakan api kebenaran tetapi terhalang untuk menyuarakan secara langsung di jalanan. Dengan mengkritisi kebijakan yang tidak efektif, masif dan solid menyuarakan di media sosial, juga turut berperan aktif dalam mengawal seluruh isu-isu ketidak adilan, maka sedikit demi sedikit masyarakat akan keluar dari lubang gelap ketidak adilan.
Dalam situasi ini, konsolidasi antara kedua belah pihak sangat diperlukan. Namun, sayangnya, terdapat beberapa respons dari pihak-pihak terkait, termasuk tokoh pemerintah, yang justru memperburuk keadaan. Alih-alih meredakan ketegangan, mereka malah seakan-akan menambah bahan bakar ke api yang sudah menyala. Sebagai contoh, ketika tagar Indonesia Gelap mencuat, bukannya menanggapi dengan bijak, justru malah muncul ucapan yang menyentuh sensitivitas publik, seperti ungkapan “Kau yang gelap, bukan Indonesia” -sudah menjadi rahasia umum tentang siapa yang mengucapkan ini-. Ucapan seperti ini tidak hanya gagal meredakan ketegangan, tetapi malah memicu reaksi yang lebih besar, memperburuk keadaan yang semula bisa ditangani dengan lebih hati-hati.
Dalam momen-momen seperti ini, lebih banyak dialog yang penuh empati dan saling pengertian sangat dibutuhkan. Respons yang cermat dan penuh pertimbangan dapat membantu meredakan ketegangan, sedangkan respons yang tidak bijaksana justru hanya akan menambah api yang sudah menyala, membuat masalah menjadi semakin kompleks. Oleh karena itu, penting bagi setiap pihak, terutama mereka yang memiliki pengaruh publik, untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pendapat, agar tidak memperburuk polarisasi yang ada. Jadi, apakah Indonesia akan terus pekat? Tergantung.
Tabik!
Oleh: Nabil Irtifa
Penulis adalah Pimpinan Umum Manggala 2024-2025