Opini  

Titik Krusial Masisir dan Universitas Al-Azhar Mesir

Masisir, Al-Azhar
Dok. Manggala

Sejak meninggalkan Kairo setelah lulus dari strata Licence (Lc.) Universitas Al-Azhar Kairo pada tahun 1997, alhamdulillah saya mendapatkan kesempatan kembali ke Kairo selama 6 hari, sejak tanggal 24-30 November 2024. Di sela-sela tugas, saya menyelesaikan laporan penelitian; saya sempat melakukan sharing dengan beberapa unsur mahasiswa Universitas Al-Azhar asal Indonesia yang biasa disebut Masisir. Dari sana, saya menangkap kesan bahwa mahasiswa Al-Azhar membutuhkan lebih banyak alumni Al-Azhar di tanah air yang bisa menyuplai “amunisi” wawasan yang mengokohkan dan meyakinkan mereka bahwa mahasiswa Al-Azhar itu luar biasa. Mereka punya kapasitas istimewa untuk menjadi SDM unggul sepulangnya ke tanah air. Akan tetapi, sampai kini, sayangnya mereka lebih sering mendengar pernyataan tentang dimensi kekurangan mahasiswa Al-Azhar. Bagi saya, ini penting disikapi secara tepat dan proporsional. Dalam kesempatan sharing itu, saya juga meyakinkan mereka tentang eksistensi mahasiswa Al-Azhar. Bagi mereka yang saya sampaikan, jarang sekali mereka terima dari alumni Al-Azhar yang berkunjung ke Kairo. Jika hal ini benar, saya kira diperlukan langkah konkret untuk merespons keprihatinan mereka ini. Mohon maaf jika narasi saya ini kurang tepat.

Sebagai lembaga pendidikan, bagi saya Universitas Al-Azhar itu adalah sebuah mazhab pendidikan. Al-Azhar mempunyai substansi dan metode yang melekat dan menjadi karakternya. Mahasiswa Al-Azhar hanya cukup patuh dan loyal terhadap hal itu. Dalam hal ada kompetensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa Al-Azhar sebagai bagian dari masyarakat intelektual dan masyarakat global, dan itu tidak didapatkan dari Al-Azhar, maka mereka perlu dibekali dengan kompetensi itu. Salah satu sumbernya bisa berasal dari alumni-alumni Al-Azhar asal Indonesia yang sudah mengenyam pengalaman di tanah air maupun di luar negeri. Dengan demikian, ada peran alumni Al-Azhar asal Indonesia dalam menginjeksi mahasiswa Al-Azhar dengan kompetensi tambahan agar saat pulang ke tanah air lebih digdaya dalam berkhidmah pada bidang yang dipilihnya.

Jika belum pernah ada, pada mereka mahasiswa Al-Azhar di Kairo, saya menyarankan agar menyusun panduan studi di Universitas Al-Azhar Mesir, lengkap dengan direktori situs ilmu pengetahuan dan pendidikan di Mesir yang menjadi supporting system dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa Al-Azhar secara variatif. Panduan ini, selain berfungsi untuk promosi studi di Al-Azhar, juga berguna dalam menggambarkan peta jalan (road map) studi bagi siapa saja yang studi di Universitas Al-Azhar Mesir. Sebagai calon-calon ahli ‘ulum syar’iyyah’, Mesir sebagai kawah candradimuka, mereka perlu dipetakan secara akurat agar benar-benar mensibghah mahasiswa Al-Azhar sebagai calon dai dalam makna yang luas.

Di samping itu, saya juga menangkap fenomena positif bahwa aktivitas talaqqi mahasiswa Al-Azhar di majlis-majlis ilmu kini menjadi brand untuk mempolarisasi mahasiswa Al-Azhar. Masa saya dulu, era 90-an, itu adalah hal biasa karena ada sekian banyak aktivitas mahasiswa Al-Azhar yang melekat dengan dimensi intelektual dan spiritual mahasiswa. Akan tetapi, fenomena ini secara tersirat bermakna tidak banyak lagi aktivitas keilmuan mahasiswa Al-Azhar selain kuliah di Fakultas, kecuali talaqqi. Apakah itu benar? Dalam satu sisi, itu bisa jadi benar. Pada sisi lain, bisa jadi salah. Kita memang tidak mungkin mengulang masa lalu ke era masa kini. Yang paling mungkin adalah menjaga spirit perenial dari misi studi di Al-Azhar dengan responsif terhadap perkembangan global dalam aktivitas pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Aktivitas keilmuan mahasiswa di Perguruan Tinggi (PT) Indonesia berbeda dengan mahasiswa Al-Azhar Mesir. Antara keduanya ada plus minus. Ini yang menjadi tantangannya. Saya lebih memilih menyadarkan mahasiswa Al-Azhar dengan kelebihan-kelebihan mereka dan membekali mereka dengan apa pun yang menutup celah kekurangan mereka. Tidak arif jika ada yang fasih menguliti kekurangan mahasiswa Al-Azhar, tapi berhenti sampai di situ. Tidak ada tawaran solusi bagi mereka. Bahwa mahasiswa Al-Azhar harus paham akan kekurangan mereka, itu hal wajar, tapi tidak harus membuat mereka sedih, apalagi menyesal menjadi mahasiswa Al-Azhar. Dengan menginjeksi mereka dengan kompetensi tambahan, saya kira sudah merupakan langkah yang konkret. Sebagai Azhary, saya jelas merasa bangga dan percaya diri dengan tetap meningkatkan kompetensi dan responsif terhadap perkembangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. Saat saya berdiri di depan fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, tempat saya belajar dulu, hati saya terharu hampir menangis tak kuat menahan kekaguman. Sederhana sejak dulu, tapi Al-Azhar sudah membekali jutaan manusia dengan ilmu, termasuk diri saya, sampai dengan titik saat ini. Semoga Al-Azhar tetap kokoh sampai akhir jaman. Subhanallah.

Universitas Al-Azhar sebagai mazhab pendidikan, seperti saya tulis di atas, jelas punya metode sendiri. Ya, begitu itu metodenya. Saya kurang sepakat dengan siapa saja yang menyatakan bahwa mahasiswa Al-Azhar itu miskin metodologi. Mereka jelas belajar metodologi Al-Azhar dari dosen dan muqarrar kuliah. Ya, begitu itu metodenya karena memang begitu itu mazhabnya. Saya merasa tersinggung jika Universitas Al-Azhar dibilang begitu: miskin metodologi. Bagi saya, seperti dalam kajian metodologi, tidak ada satu metode yang lebih baik dari metode lainnya. Pun kuantitatif tidak lebih baik dari kualitatif, dan sebaliknya. Semua tergantung kepada hasil penelitian yang ingin dicapai. Al-Azhar juga begitu. Ia punya metodologi terbaik untuk mazhab pendidikan yang dianutnya. Maka, jangan bilang Al-Azhar miskin metodologi. Kita cukup mengatakan bahwa substansi materi yang diajarkan di Al-Azhar bisa dianalisis dengan metode atau pendekatan lain yang tidak diajarkan di Al-Azhar, dengan metode yang diajarkan di PT Indonesia, Barat, atau belahan dunia lainnya. Sebagai contoh, metode tahqiq yang merupakan tradisi penelitian di Al-Azhar itu yang terbaik di dunia. Nah, tapi objek tahqiq di Al-Azhar bisa juga dikaji dengan metode atau pendekatan lain yang diajarkan di PT di luar Al-Azhar. Jadi, bukan miskin metodologi. Metode Al-Azhar adalah varian dari metode yang berlaku dalam aktivitas ilmiah. Mengatakan Al-Azhar miskin metodologi, apa itu artinya yang lain sudah kaya akan metode? Jika jawabannya ya, itu terasa simplifikatif bagi saya. Jadi, cukuplah kita mengatakan bahwa Al-Azhar kuat pada varian metode tertentu dan yang lainnya kuat pada varian metode yang lain. Bagaimana kalau begitu?

Saya bersyukur ditakdirkan Allah lulus Lc. di Al-Azhar. Tapi saya belajar banyak dari Al-Azhar. Saya dapat substansi dan metodologi dari tiap muqarrar wajib yang diajarkan di Fakultas. Pada level ini, memang tidak diajarkan metodologi seperti yang diajarkan di PT Indonesia. Saya tidak tahu level Strata 1 di PT Barat belajar metodologi yang seperti apa karena saya bukan alumni S1 PT di Barat. Bagi saya, belajar metodologi tidak perlu waktu lama. Tidak perlu harus pindah dari Al-Azhar. Agar tidak picik pikiran kita, level Lc. Al-Azhar jangan dikomparasikan dengan level S2 di luar Al-Azhar. Lulusan Lc. dengan segala kelebihannya, jika mau dan merasa perlu, belajar metode lain yang di luar Al-Azhar mudah saja dan tidak perlu waktu lama. Bagi saya, yang menjadi tantangan adalah menjadikan aktivitas keilmuan mahasiswa Al-Azhar dengan segala variannya lebih intensif dan kasat mata. Sebagai insider atau yang berada di dalam, mahasiswa Al-Azhar bisa jadi kurang begitu paham terhadap misi yang harus diembannya. Karena itu, perlu dicerahkan oleh outsider seperti alumni Al-Azhar di tanah air, sehingga mereka tidak hanya bangga sebagai Azhary, tapi juga sadar terhadap road map mahasiswa Al-Azhar yang harus dijalankan. Wallahu A’lam.

Oleh: Prof. Dr. Muhammad Irfan Helmy, Lc., M.A. Alumnus Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo tahun 1996

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *