Isu mengenai keberagaman atau pluralisme agama memang tak pernah berhenti dibahas dan diperdebatkan di seluruh dunia. Termasuk Indonesia yang merupakan tempat berkumpulnya berbagai suku, ras, budaya bahkan agama. Isu ini merupakan paham yang timbul dari klaim – klaim kebenaran absolut antar agama yang saling bertentangan, lalu melahirkan sebuah klaim baru dimana kebenaran yang absolut itu tidak ada dan semua agama itu setara.
Pluralisme agama lahir atas nama toleransi, keberagaman dan kebebasan. Paham ini ada sebagai solusi agar setiap manusia bisa hidup damai dan harmonis terlepas dari berbagai perbedaan yang mereka miliki. Namun disini penulis justru bertanya – tanya, apakah pluralisme agama adalah jalan menuju hidup yang damai? Atau justru malah menimbulkan masalah baru yang semakin mengekang kita sebagai manusia?
Definisi Pluralisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pluralisme berasal dari kata plural yang berarti jamak atau lebih dari satu. Adapun secara terminologi, pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk. Pluralisme sendiri merupakan paham yang timbul atas diskursus pemikiran barat postmodern.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pluralisme ialah toleransi. Maksudnya, banyak kalangan yang menganggap pluralisme agama adalah toleransi agama. Fakta ini dapat dilihat dari reaksi dan respon yang cenderung emosional terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada tahun 2005 tentang hukum haramnya Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme di Indonesia.
Namun anggapan bahwa pluralisme agama adalah toleransi agama, merupakan anggapan subjektif yang ditolak oleh para pakar dan penganjur pluralisme sendiri. Salah satunya Diana L. Eck, direktur The Pluralism Project di Universitas Harvard, Amerika Serikat, misalnya, dalam penjelasan resminya yang berjudul “What is Pluralism?” dan diulangi dalam “From Diversity to Pluralism“, menyuguhkan empat karakteristik utama untuk mendefinisikan paham ini secara terperinci. Dia menyatakan bahwa “pluralism is not just tolerance,” yang bermakna “pluralisme bukanlah sekadar toleransi.”
Maka perlu kita ketahui, bagi kalangan pluralis sejati, pluralisme pada umumnya dan Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah toleransi sebagaimana yang jamak di(salah)pahami oleh banyak kalangan pluralis itu sendiri. Penekanan Pluralisme lebih pada kesamaan atau kesetaraan (equality) dalam segala hal, termasuk beragama. Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Pandangan ini pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan iman-kufur, tauhid-syirik, dalam konsepsi Islam.
Pluralisme Agama
Paham pluralisme agama terdiri dari dua aliran besar yaitu teologi global (global theology) atau teologi dunia (world theology) yang dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith, sedangkan aliran yang kedua ialah Kesatuan Transenden Agama-agama (transcendent unity of religions) yang dicetuskan oleh Fritjhof Schuon.
John Hick dan Wilfred Cantwell Smith dalam pemikirannya mengenai problem – problem pluralitas agama memiliki banyak kesamaan, salah satunya ialah penggunaan paradigma Kuhnian sebagai metodologi untuk meletakkan suatu teori yang dimaksudkan sebagai solusi bagi problem-problem pluralitas agama yang sangat kompleks dan saling berseberangan.
Meskipun demikian, mereka menggunakan cara yang berbeda dalam pengaplikasian paradigma ini. Smith sendiri mencoba menerjemahkan dan menginterpretasikannya melalui model Newtonian Revolution yang telah menemukan teori bahwa seluruh planet adalah sama dalam hukum gravitasi dan pergerakan; yaitu kebalikan yang diduga manusia sebelumnya bahwa hukum-hukum alam ini hanya berlaku pada planet bumi. Artinya, perlu ada revolusi teologis dimana Smith menganjurkan keharusan transportasi orientasi dari pemusatan agama sebagai kata benda, menuju pemusatan agama sebagai kata sifat yang meliputi pemusatan iman dan himpunan tradisi.
Sementara John Hick menginterpretasikannya melalui model Copernican Revolution, yang menemukan “sentralitas matahari.” Jika Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari, maka Hick mengadopsi itu dengan memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan (Religion- centredness to God centredness). Kalau dulu setiap agama menjadi pusat yang dikelilingi Tuhan, maka kini pandangan itu diubah: Tuhan yang dikelilingi agama-agama. Artinya dari banyak agama banyak Tuhan, menjadi banyak agama satu Tuhan.
Sedangkan aliran kedua, yakni doktrin kesatuan agama – agama yang dicetuskan oleh Schuon menebarkan ide bahwa agama dibagi menjadi dua tingkat, eksoterik (lahiriyyah) dan esoterik (bāținiyyah). Pada tingkat eksoterik agama-agama mempunyai Tuhan, teologi, dan ajaran yang berbeda. Namun pada tingkat esoterik agama-agama itu menyatu dan memiliki Tuhan yang sama, yang abstrak, dan tak terbatas.
Wujud Intoleransi Pluralisme Agama
Istilah pluralisme sangat lekat dengan toleransi, kebebasan dan persamaan. Namun, konsep Barat modern yang secara teoretis sangat aggun, ramah dan toleran ini, pada tataran praktis cenderung menunjukkan perilaku sebaliknya, yakni intoleran, menyatroni dan memberangus karakter dan HAM orang atau kelompok lain. Sebab realitanya, Muhammad ‘Imarah dalam bukunya At- Ta’addudiyah: Al-Ru’yah Al-Islamiyah wa At-Tahaddiyat Al-Gharbiyyah menyatakan, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultural maupun pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur, referensi keagamaan dan intelektual mereka masing-masing. ” Dengan kata lain, Barat tidak ingin membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri.
Selain itu, fenomena yang tengah kita saksikan saat ini dan fakta yang terjadi secara nyata di negara-negara yang mengklaim diri demokratis-pluralis serta menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan dasar-dasar pluralisme, khususnya Amerika Serikat dan Eropa Barat, semenjak berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang, merupakan bukti otentik kebenaran analisis di atas. Setidaknya, analisis ini sangat tepat berkenaan dengan konteks realitas Islam dan kaum Muslimin di negara – negara tersebut. Di sana kaum Muslimin “dipaksa” harus menyelaraskan diri dengan, untuk tidak mengatakan, “tunduk” kepada Barat sepenuhnya dan harus melepaskan diri dari keberpihakan dan hak-hak keagamaan mereka, meskipun dalam bentuknya yang paling sederhana seperti larangan memakai hijab dibeberapa sekolah atau tempat kerja. Hal ini mereka lakukan dengan alasan “melindungi wilayah publik yang sekular dari intervensi agama,” sebagaimana yang terjadi berkali-kali di Perancis, Amerika dan Kanada.
Kasus – Kasus ini kemudian memunculkan istilah atau fenomena baru, yakni Fenomena “Americanization” (Amerikanisasi) yang paling tidak mengindikasikan tiga hal:
- Pluralisme Agama secara meyakinkan telah terbukti tidak ramah, intoleran, terhadap agama-agama, bahkan dalam berbagai kasus, cenderung melenyapkan agama- agama-suatu hal yang secara diametral bertentangan dengan klaim-klaim para penganjur dan pendukungnya.
- Berkebalikan dari klaim kenetralannya, teori ini telah justru menjelma dan bermetamorfosis menjadi sebuah “falsafah hidup” (worldview), dan bahkan menjadi sebuah “agama” yang memiliki karakteristik-karakteristik agama pada umumnya, seperti totalitas, absolutisme, komprehensif, dan eksklusivisme.
- Pluralisme senantiasa mengandaikan adanya, apa yang disebut Martin E. Marty sebagai, “a host culture” (kultur tuan rumah) yang menjamu “guest cultures” (kultur- kultur tamu). Dalam konteks ini, sistem pluralisme bisa dianggap atau menganggap diri sebagai “a host culture”. Akan tetapi, karena sistem Pluralisme Agama ini secara teoretis dan praktis tak mampu menjamu kultur tetamu dengan baik, dan memang tak mungkin bisa diharapkan mampu memainkan peran mulia dan terhormat ini, maka penunjukan atau penobatan dirinya sendiri sebagai pemegang peran tersebut sudah dapat dipastikan telah mendatangkan berbagai petaka dan bencana sangat dahsyat bagi agama-agama lain, serta membawa akibat-akibat luar biasa, yakni sekularisme, ateisme, agnostisisme, atau skeptisisme.
Penutup
Keragaman agama yang ada di dunia ini, ternyata membawa pemikir-pemikir modern berpikir terlalu jauh dalam menafsirkan fenomena ini. Pluralisme agama yang katanya adalah jawaban dari keberagaman yang ada, justru menjadi bukti betapa akutnya kebingungan akal atau nalar modern dalam memahami perbedaan, partikularitas dan melihat hakikat sebagaimana adanya. Agama justru dianggap hal remeh, hanyalah manifestasi eksternal yang beragam dari hakikat yang sama, ibarat beragam jalan menuju tujuan yang sama.
Pernyataan bahwa semua agama adalah sama dan setara dalam kebenaran relatifnya, menjadikan mereka bebas memilih apa yang mereka inginkan justru dijadikan hal yang tertutup, absolut dan bahkan disakralkan. Hal ini tentu bertentangan dengan dengan konsep kebebasan beragama yang diagungkan, juga meredusir hakikat agama-agama dari konsepnya yang asli dan peannya dalam kehidupan manusia. Alih – alih menjadi solusi, pluralisme justru menjadi ‘agama baru’ yang ikut bersaing dengan agama – agama lain yang sebelumnya sudah ada.
Meski demikian, hal ini tidak berarti perdamaian antar agama tidak akan tercapai, karena perdamaian adalah keniscayaan hayati, sebagaimana niscayanya ruh bagi badan. Maka tujuan mulia ini tidak boleh dicapai kecuali dengan cara-cara yang terpuji dan legal. Oleh karena itu, Islam menolak pluralisme agama yang redustik dan tetap berdiri dengan penegasan jati diri, mengapresiasi penuh perbedaan vital antar agama dan membiarkan ’’yang lain’’ untuk menjadi dirinya sendiri sebagaimana adanya.
Oleh: Jazeila Rahmatika
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Manggala 2024-2025
tema yang dibahasnya menarik. sangat menarik malah. tapi sayang, standnya belum jelas dan pisaunya kurang diasah.