Opini  

Masisir Azhari vs Masisir Wahabi

Masisir, Azhari, Wahabi
Dok. Manggala

Sekitar tiga bulan yang lalu, dalam sebuah acara Masisir yang membahas persiapan menghadapi ujian termin kedua, saya berkenalan dengan seorang kawan baru. Sebut saja namanya Asep. Interaksi kami diawali dengan pertanyaan pertanyaan umum, seperti asal-usul, latar belakang pendidikan, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lazim muncul saat berkenalan. Selama 30 menit berbincang, saya mendapati bahwa Asep adalah lulusan dari sebuah pondok pesantren yang kerap dicap oleh komunitas Masisir sebagai pondok Wahabi. Meskipun demikian, hal itu tidak menjadi masalah bagi saya. Namun, saya melihat ada kegelisahan yang tergambar di wajah Asep ketika ia menyebut nama pondoknya, seakan-akan ada kekhawatiran akan respons negatif dari saya. Barangkali dia membayangkan sebuah penolakan, yang mungkin akan merusak perkenalan dan ikatan persahabatan yang baru tumbuh ini.

Respons saya yang tetap tenang dan tidak menunjukkan penghakiman ternyata membuat Asep terkejut. Ia mengungkapkan bahwa ia kerap kali menghadapi penolakan dan penghakiman dari banyak Masisir setiap kali menyebutkan nama pondok pesantrennya, atau merujuk pada kitab dan referensi yang dipelajarinya selama di pondok tersebut, yang mana nama-nama kitab tersebut acap kali dianggap kontroversial. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan dalam benak saya: apakah kita berhak menghakimi individu seperti Asep hanya karena perbedaan pandangan? Dan apakah kita harus menutup pintu pertemanan dan dialog hanya karena perbedaan pandangan yang ada?

Realitas ini tidak hanya berlaku bagi Asep, tetapi juga bagi banyak individu lainnya yang memiliki pandangan serupa dengan Asep. Jumlah mereka semakin berkembang dan eksitensinya semakin mencolok. Asep sendiri mengungkapkan bahwa seringkali ia dan teman-temannya menjadi “samsak” sasaran stereotipe yang tak berdasar. Saya pun menyadari bahwa meskipun manhaj yang mereka anut sangat berbeda dengan manhaj Al-Azhar—tempat kami bersama-sama menuntut ilmu—perbedaan itu seharusnya tidak dijadikan pembenaran untuk penghakiman sepihak atau penghambat dalam menjalin ikatan pertemanan.

Setelah kejadian tersebut, sebuah pemikiran reflektif dari Ustaz Felix Siauw dalam bukunya Beyond the Inspiration seketika muncul dalam ingatan saya. Ia menyatakan bahwa banyak umat Islam di Indonesia memulai pembelajaran agamanya dengan pendekatan ‘what’ dan ‘how’, yaitu dengan menekankan pada apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Padahal, yang seharusnya menjadi landasan awal dalam mempelajari agama adalah ‘why’, atau alasan mendasar mengapa kita beragama Islam, mengapa Allah adalah Tuhan kita, dan mengapa Nabi Muhammad SAW adalah utusan terakhir yang kita imani. Pola pikir yang terlalu terfokus pada aspek ‘what’ dan ‘how’ tanpa pemahaman yang mendalam akan ‘why’ sering kali melahirkan kesempitan berpikir dan sikap eksklusif. Akibatnya, perbedaan dalam aspek ‘what’ dan ‘how’ sering kali dipersepsikan sebagai kesalahan, bahkan dianggap sebagai penyimpangan, padahal sejatinya perbedaan tersebut merupakan bagian dari ranah fikih, di mana keberagaman pendapat adalah suatu keniscayaan yang tak terelakkan.

Meskipun terdapat jurang pemisah yang jelas dalam aspek pemahaman dan praktik keberagamaan antara Masisir Wahabi dan Masisir Azhari, keduanya berbagi fondasi yang sama dalam keyakinan dan tujuan hidup mereka. Mereka sama-sama mengimani Allah SWT sebagai Tuhan, mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW, dan berpegang pada prinsip-prinsip agama Islam yang sama. Ketika seseorang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, ia berhak mendapatkan hak-haknya sebagai seorang Muslim: kehormatannya dijaga, darahnya haram dinodai, dan ia berhak dilindungi dari luka lisan maupun tindakan. Bukankah inilah yang Baginda Nabi Muhammad SAW ajarkan?

Dalam wawancara yang disiarkan di saluran YouTube Amr Elilisy pada 29 April 2011, Grand Sheikh Al-Azhar, Ahmad al-Tayyib, menegaskan bahwa Wahabi bukanlah golongan ahli fasik atau ahli bid’ah. Meskipun terdapat perbedaan pandangan yang cukup mendasar, beliau dan ulama Azhari lainnya tidak menganggap Wahabi sebagai kelompok yang keluar dari Islam. Sebaliknya, mereka ditempatkan dalam posisi yang semestinya, yakni sebagai bagian dari agama Islam. Pernyataan ini menjadi pengingat yang kuat bahwa perbedaan di antara mereka tidak seharusnya mengaburkan kenyataan bahwa kita semua adalah saudara seiman, yang menyatu dalam simpul ikatan agama yang sama.

Penting untuk disadari bahwa dunia Masisir merupakan cerminan miniatur masyarakat Indonesia dengan segala keberagaman karakter dan pandangan yang ada. Di tanah air, perdebatan tiada ujung antara kaum Sunni dan Wahabi telah menyebabkan perpecahan yang memprihatinkan di antara umat Islam Indonesia. Kita sudah jenuh dengan perdebatan yang membuang-buang energi dan memicu permusuhan. Masisir, sebagai komunitas yang menghimpun generasi penerus ulama dan intelektual Muslim Indonesia, seharusnya menjadi teladan persatuan yang mampu melampaui perbedaan.

Saya teringat pada dialog yang dilakukan Habib Ali al-Jufri, seorang ulama Sunni terkemuka, dengan seorang ulama Wahabi dalam diskusi tentang ziarah kubur—perkara yang kerap menjadi perdebatan panas. Dialog itu berlangsung dalam suasana akademis, dan meskipun masing-masing pihak tetap keukeuh pada prinsipnya, Habib Ali menyatakan dengan tegas, “Kita mungkin berbeda, dan perbedaan adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Namun, kita adalah saudara, dan saya berharap hubungan kita tidak akan merenggang akibat diskusi ini.” Perkataan ini menegaskan bahwa meski perbedaan adalah keniscayaan, ikatan persaudaraan harus tetap dipelihara dan dijaga.

Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan seksama oleh para Masisir Wahabi. Sering kali, mereka cenderung mengadakan kajian secara eksklusif dengan para syekh yang sejalan dengan manhaj mereka dan menghindari talaqqi dengan para masyayikh Al-Azhar. Sikap ini menunjukkan eksklusivitas yang tidak sejalan dengan prinsip keilmuan terbuka yang diajarkan di Al-Azhar. Sebagai seorang pelajar yang tergabung dalam komunitas Azhari, menghargai ilmu dari berbagai sumber, terlebih lagi yang berasal dari para ulama Al-Azhar, adalah sebuah kewajiban yang tak dapat ditawar. Saya menduga bahwa keengganan mereka untuk menghadiri kajian para ulama Al-Azhar disebabkan oleh ketidakpahaman mereka sendiri. Padahal, seperti yang dikatakan dalam pepatah Arab sejak dahulu, manusia seringkali menjadi musuh bagi apa yang tidak ia pahami. Oleh karena itu, ikut serta dalam kajian yang diselenggarakan oleh para masyakhikh Al-Azhar bukan hanya akan memperdalam pemahaman, tetapi juga membuka ruang untuk terjalinnya dialog yang konstruktif.

Sebaliknya, bagi Masisir Azhari, penting untuk tidak terjebak dalam penilaian dangkal yang didasarkan pada streotipe belaka (baca: prasangka semu). Stereotipe sering kali hanya menjadi lapisan luar dalam mengenal seseorang, sementara setiap individu memiliki karakter dan pemikiran yang unik. Cobalah untuk membuka ruang dialog dan bertukar pikiran. Sejatinya, banyak masalah bisa diselesaikan dengan cara yang sangat sederhana: secangkir kopi dan percakapan yang tulus. Dengan begitu, prasangka yang melayang-layang di awan pikiran akan menemukan klarifikasi, dan tuduhan-tuduhan yang tak beralasan dapat ditampik. Inilah bentuk interaksi sehat yang seharusnya dibangun di dalam suatu komunitas.

Sebagaimana telah disinggung di muka, komunitas Masisir adalah gambaran miniatur Indonesia. Jika mereka mampu menjaga persatuan dan merawat keharmonisan antar sesama, maka Indonesia pun dapat mencontoh keteladanan tersebut. Sudah saatnya kita memupuk interaksi yang positif dan konstruktif, serta menghindari perselisihan yang hanya akan memperburuk keadaan umat Islam secara keseluruhan. Ketika dialog antar kelompok di sini dibangun dengan penuh rasa saling menghormati, maka itu akan menjadi pondasi yang kokoh untuk mempererat hubungan antar kelompok di tanah air, menciptakan ikatan yang lebih sehat, dan memperkuat persatuan bangsa.

Tabik!

Oleh: Ahmad Muzayyin Ali Syariati

Penulis adalah Koordinator Esai Website Manggala 2024-2025

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *