Ma’aani Al-Nahwi; Ada yang Keliru dari Cara Kita Belajar Nahwu

Dok. Manggala

Judul buku            : Ma’aani al-Nahwi

Penulis                    : Dr. Fadhil Shalih as-Samarrai

Tahun terbit           : 2022

Penerbit                 : Dar Ibnu Katsir

Jumlah halaman  : 4 jilid, 1808 halaman.

“Barang siapa yang menguasai ilmu nahwu, maka ia akan mendapatkan kemudahan menguasai berbagai ilmu” begitulah imam al-Kisai’ menggambarkan pentingnya ilmu nahwu. Saya yakin, siapa pun yang pernah menuntut ilmu agama, pasti pernah bersinggungan dengan ilmu nahwu. Ketidakmampuan dalam memahami nahwu dapat membuat seseorang kesulitan mengakses berbagai sumber primer dalam bahasa Arab, terutama yang berkaitan dengan ilmu agama Islam. Untuk itu, penting untuk menyadari bahwa sejak dulu para ulama telah menyusun banyak kitab nahwu, mulai dari yang sederhana seperti Jurumiyah karya Imam as-Sonhaji hingga yang lebih kompleks seperti Alfiyah karya Ibnu Malik. Di antara sekian banyak karya tersebut, kitab Ma’aani al-Nahwi menurut saya layak menjadi rujukan penting bagi para penikmat bahasa Arab.

Kitab Ma’aani al-Nahwi adalah salah satu dari sekian produk intelektual yang dihasilkan oleh Dr. Fadhil Shalih as-Samarrai, seorang pakar bahasa Arab asal negri Suriah. Fokus utama karya-karya beliau terletak pada bidang linguistik Arab, seperti nahwu, sorof, adab dan balaghah. Dengan karir akademik dan pengalaman yang panjang di bidang bahasa, Dr. Fadhil telah menjadi salah satu otoritas yang terkemuka dalam ilmu bahasa Arab. 

Dalam konteks kontribusinya yang signifikan, Ma’aani al-Nahwi menjadi cerminan pemikiran dan kedalaman pengetahuan Dr. Fadhil tentang linguistik Arab. Bab-bab dalam buku ini secara garis besar memiliki kesamaan dengan kitab-kitab nahwu lainnya. Topik pembahasan seperti makrifat, nakiroh, mubtada, khabar, maf’ul bih, dan maf’ul mutlak tentu dibahas tuntas dalam kitab ini. Bahkan, bab yang hanya ditemukan di kitab nahwu tingkat lanjut seperti isytighal juga tidak luput dari perhatian. Namun, yang membedakan karya ini adalah fokus utamanya pada pembahasan makna, yang menurut saya jarang, atau bahkan belum pernah menjadi pusat perhatian di kitab-kitab nahwu lainnya. Sesuai dengan judulnya, buku ini menitikberatkan pada eksplorasi makna di balik setiap struktur kalimat dalam bahasa Arab (baca: ta’bir).

Menurut Dr. Fadhil, makna seharusnya menjadi inti dari pembahasan dalam ilmu nahwu. Setiap aturan dalam tata bahasa Arab perlu dilihat melalui “kacamata” makna. Dr. Fadhil menilai bahwa aspek makna ini sering kali diabaikan dalam kajian nahwu, padahal ia memainkan peran penting dalam memahami susunan kalimat. Banyak pelajar bahasa Arab yang mampu mengikuti aturan-aturan gramatika, namun gagal menangkap nuansa makna yang berbeda di balik berbagai bentuk ta’bir yang ada.

Para nuhat (baca: ulama nahwu) sepakat bahwa kalimat yang sama tapi memiliki bentuk ta’bir yang berbeda itu sah dan boleh-boleh saja digunakan. Namun, Dr. Fadhil melangkah lebih jauh dengan mempertanyakan apakah perbedaan bentuk ini juga mengindikasikan adanya perbedaan makna? atau apakah semua variasi tersebut sebenarnya memiliki makna yang sama? baginya, pertanyaan ini sangat krusial bagi siapa pun yang sedang mempelajari ilmu nahwu. Karena, ketidakmampuan seseorang untuk membedakan makna dalam variasi bentuk ta’bir seperti di atas dapat mereduksi kekayaan bahasa atau bahkan mengancam keberlangsungan eksistensi bahasa itu sendiri.

Dr. Fadhil mengamati bahwa pendekatan kita terhadap pembelajaran bahasa masih terlalu dangkal. Fokus pembelajaran kita sering kali terbatas pada hukum formal, seperti apakah suatu bentuk ta’bir itu sah atau tidak, tanpa menyelami makna yang mendasarinya. Padahal, menurut beliau, esensi dari bahasa itu terletak pada makna. Oleh sebab itu, buku Ma’aani al-Nahwi ini merupakan upaya penulis untuk mengisi “lubang kekosongan” ini. Melalui setiap babnya, buku ini berusaha mengaitkan aturan nahwu dengan makna yang terkandung dalam setiap bentuk ta’bir.

Salah satu gagasan utama yang sering ditekankan oleh Dr. Fadhil dalam buku ini adalah bahwa bahasa Arab tidak pernah menggunakan dua bentuk ta’bir yang berbeda tanpa adanya perbedaan makna di baliknya. Setiap variasi bentuk ta’bir mencerminkan makna yang spesifik dan unik. Oleh karena itu, jika bentuk ta’bir berubah, sudah pasti maknanya juga berubah. Menurut beliau, banyaknya variasi bentuk ta’bir ini adalah cerminan dari beragamnya makna yang bisa diungkapkan. Itulah sebabnya, pembahasan tentang makna dianggap oleh beliau sebagai inti dari kajian ilmu nahwu. Pandangan ini tentu sangat masuk akal, karena pada hakikatnya bahasa adalah sarana untuk mengekspresikan makna yang bersumber dari pikiran dan perasaan.

Dr. Fadhil meyakini bahwa pelajar yang mempelajari nahwu dengan pendekatan yang menekankan pada pembahasan makna akan merasakan kenikmatan pengalaman belajar yang luar biasa. Dengan memahami pelbagai bentuk ta’bir dalam bahasa Arab melalui “kacamata” makna, mereka tidak hanya akan menguasai teori-teori gramatika belaka, tetapi juga merasakan kedalaman bahasa itu sendiri. Proses ini akan memupuk rasa bangga yang tinggi terhadap bahasa yang kaya akan nuansa serta presisi dalam ketepatan makna. Dengan pendekatan ini, para pelajar akan merasakan kelenturan dan keluwesan saat belajar nahwu, yang pada akhirnya menjadikan proses pembelajaran lebih hidup dan menarik. Hal ini sangat berbeda dengan metode pembelajaran tradisional yang cenderung kaku dan membosankan.

Keunggulan lain dari kitab ini adalah keterlibatan pembaca dalam proses berpikir. Buku ini tidak hanya menyajikan ilmu tentang ilmu nahwu, tetapi juga mengajak pembaca berpikir secara kritis bersama penulis. Referensi yang digunakan dalam buku ini juga bukan “kaleng-kaleng”, diantaranya ada karya-karya besar seperti Al-Kitab karya imam Sibawaih, Al-Khasais karya Ibnu Jinni, Mughni al-Labib karya Ibnu Hisyam, Syarah Rodhi atas Kafiyah karya Ibnu Malik, dan masih banyak lagi. Meski demikian, Dr. Fadhil tidak menerima pandangan dari referensi-referensi “babon” tersebut secara “mentah-mentah”. Beliau sering memberikan kritik dan pandangan alternatifnya yang dapat memperkaya diskusi dan mendorong pembaca untuk semakin berpikir kritis.

Meskipun demikian, ada satu kelemahan yang cukup terasa dalam kitab ini. Dr. Fadhil kerap menggunakan kosakata dalam dialek Amiyah Suriah untuk mempermudah pembaca memahami konsep yang sedang dijelaskan. Sayangnya, beliau tidak selalu memberikan penjelasan tambahan mengenai arti kata-kata tersebut. Bagi pembaca yang tidak akrab dengan dialek ini, hal tersebut dapat menyulitkan pemahaman tanpa bantuan referensi tambahan. Namun, kelemahan ini terbilang minor dan tidak mengurangi nilai keseluruhan karya ini. Kitab ini tetap menjadi referensi yang sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu bahasa Arab, terutama dalam bidang nahwu.

Wal akhir, bagi siapa pun yang memiliki dasar ilmu nahwu dan ingin memperdalam pemahamannya, Ma’aani al-Nahwi bukan sekedar menjadi bacaan yang direkomendasikan, ia adalah pintu gerbang menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang rahasia di balik setiap struktur bahasa Arab.

Dengan pendekatan yang menekankan makna, Dr. Fadhil telah menghidupkan kembali esensi ilmu nahwu yang kerap terabaikan. Saya yakin, bagi siapa pun yang menelusuri halaman-halamannya, akan merasakan pencerahan intelektual yang melampaui batas-batas teori gramatika. Kitab ini adalah jembatan yang akan membawa kita dari sekadar memahami aturan gramatika menuju ke kedalaman makna yang sesungguhnya.

Tabik!

Resensator : Ahmad Muzayyin Ali Syariati

Koordinator Esai Manggala 2024-2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *