Narcissu: Waktu yang Terhenti, Hati yang Terhenti

sc: wall.alphacoders.com
Sc: wall.alphacoders.com
Judul : Narcissu
Pengembang : stage-nana
Penulis : Kataoka Tomo
Penerbit : stage-nana, Sekai Project, di antara lain
Tanggal Terbit : 1 Agustus 2005 (versi web)

5 Agustus 2005 (versi CD-ROM)

15 Mei 2007 (pada platform Steam)

Panjang : Kurang lebih 4 jam, menurut VNDB.
Ukuran : Kurang lebih 333 megabita, untuk yang versi Steam.

Seluruh resensi ini terhadap versi yang mengandung akting suara dan terjemahan karya gp32. Saya meminta maaf terlebih dahulu karena belum membaca versi yang tanpa akting suara.

 

Sepuluh hari setelah Sang Langit Akhir. Betapa ironisnya, saya memandang akhir dari karya ini bertepatan dengan memandangnya saya terhadap akhir dari umurku yang ke-19. Ajaibnya, pada hari yang bertepatan dengan pertama kalinya hewan-hewan rasional melangkahi negeri para kelinci yang menumbuk mochi itu, tidaklah saya melompat menuju lautan bintang-bintang. Sampailah saya pada hari yang tanggalnya bertepatan dengan waktu saya pertama kali merasakan derita, dan dengan demikian, kesadaran.

Semakin lama, sang derita semakin dominan, dan demikian pulalah sang kesadaran. Akhirnya, derita tersebut berumur dua puluh tahun, dan demikian pula sang jiwa yang ia jadikan sebagai inang. Sang inang yang heran, namun bersyukur, karena mampu menghirup udara sebanyak 150 juta kali.

Dan kali ini, sang inang, bermandikan cahaya dari gerbang perantara suatu dunia ideal yang tak bisa dijangkau, menggerakkan jemarinya di atas papan berukiran simbol-simbol Latin demi mengungkapkan sedikit banyak pandangannya terhadap visual novel ini.

Narcissu adalah suatu visual novel. Berulang kali orang-orang menanyakan, “Apa itu visual novel? Apakah sama dengan light novel?” Dan seringkali, pertanyaan-pertanyaan tersebut meningkatkan kesadaran—penderitaan—saya. Bukan karena merasa jengkel, atau merasa pertanyaan tersebut bodoh—tidak ada pertanyaan yang bodoh—, melainkan karena penjelasanku seringkali membuatku bertanya-tanya pada diri sendiri, “Apakah perbandingan seperti ini pantas?”

Realitanya, visual novel sendiri dikategorikan sebagai suatu game, namun tidak selamanya bisa dibilang demikian; bila sebuah game memerlukan aspek interaktivitas, maka visual novel tidaklah selalu merupakan game, karena sebagian visual novel—seperti When They Cry(?) yang melegenda, yang luar biasa, yang saya tak berani untuk menuliskan suatu resensi terhadapnya karena saya masih menganggapnya tiada tara dalam dunia fiksi—adalah kinetic novel, tidak memiliki interaktivitas sama sekali selain yang sangat mendasar seperti save dan load, serta mengecek tulisan yang telah lalu dan memunculkan teks selanjutnya. Bila seperti ini, maka bisa dibilang bahwasanya suatu novel tradisional merupakan game pula karena Anda harus berinteraksi dengan membuka halamannya.

Kerap kali saya hendak membandingkannya dengan novel, namun kerap kali pula saya merasa perbandingan ini bagaikan membandingkan pensil dengan berlian hanya karena keduanya mengandung karbon. Keduanya merupakan media seni berdasar prosa, dan kesamaannya berakhir di sana. Visual novel memiliki, gambar, musik, gambar, gambar lagi, gambar lagi, musik lagi, musik lagi, teks yang berwarna karena alasan tertentu, dan terkadang memiliki pilihan yang mempengaruhi cerita (dan terkadang juga tidak). Terkadang muncul kekhawatiran, “Apakah adil untuk membandingkan saya yang membaca dua juta kata dalam suatu visual novel terhadap orang yang membaca beberapa puluh ribu kata dalam suatu novel cetak?”

Membandingkannya dengan film juga merupakan sesuatu yang tidak terlalu pantas. Benar, keduanya merupakan bentuk media seni audiovisual, namun visual novel mengandalkan prosa untuk menunjukkan alur, sementara film menunjukkan alur dengan menunjukkan frame demi frame yang perpindahannya sangat mulus satu sama lain.

Untuk sekarang, anggaplah visual novel sebagai suatu amalgamasi dari bentuk-bentuk seni yang lain; prosa yang serupa dengan novel cetak, dengan latar belakang dan (biasanya) gambar sang tokoh bagaikan suatu pertunjukan wayang, disertai dengan musik, dan disajikan dalam suatu aplikasi yang diakses melalui suatu gawai serta terkadang mengandung suatu elemen interaktif, menyerupai game.

Pada awalnya, Narcissu dirancang karena muncul pertanyaan demi pertanyaan dalam benak penulis mengenai seni minimalis, yang berujung dengan dirinya menginginkan untuk bereksperimentasi. Kurang lebih, pertanyaannya tak jauh dari “Apakah seni seharusnya minimalis? Dengan demikian, maka akan banyak aspek dari seni tersebut yang mengandalkan imajinasi pembaca, bukan?”

Dan terciptalah Narcissu, sebuah karya yang cukup minimalis menurut standar visual novel. Di tengah banyaknya visual novel raksasa dengan berbagai animasi dan penggambaran serta tumpukan prosa ungu dan cerita penuh metafora juga worldbuilding yang berlapis-lapis—seperti When They Cry yang melegenda, yang luar biasa, yang saya tak berani untuk menuliskan suatu resensi terhadapnya karena saya masih menganggapnya tiada tara dalam dunia fiksi—Narcissu merupakan salah satu judul paling minimalis dalam medium seni yang satu ini.

Ironisnya, meskipun saya menamatkan Narcissu pada hari ulang tahunku, karya ini bercerita tentang kematian.

“Waktuku berhenti … hatiku berhenti pula …”

Andaikan saja kata-kata “waktuku berhenti” tersebut diutarakan dalam kesenangan, bagai frase yang mana Faust tak boleh mengutarakannya, “Verweile doch, du bist so schön”. Tidak, tidak, sungguh tidak. Tidak seperti Faust yang akan terseret menuju derita bila mengatakannya. dia telah menderita bahkan sebelum mengatakannya.

Dia tak punya waktu lagi. Waktu yang orang lain miliki, waktu yang orang lain manfaatkan atau buang-buang, dia tak memilikinya. Dia sudah mengetahui akan mati, penyakitnya tak dapat disembuhkan.

Mereka berdua tak punya waktu lagi.

Dan mereka berdua hanya memiliki satu pilihan: di manakah mereka hendak mati, pada rumah sakit di mana mereka hanya bisa mengamati bunga-bunga narcissus nan indah dari kejauhan, atau pada pesta topeng tak bermakna di rumah mereka masing-masing?

Pada saat itu, bunga yang menyerupai narcissus di jendela rumah sakit, dan bunga narcissus asli yang mereka pandang dari layar jendela menuju dunia yang didambakan, bisa jadi bagi mereka bagaikan bunga-bunga Lycoris radiata, yang menghiasi mereka yang pada dasarnya sudah mati.

Tapi tentunya, mereka masih memiliki keinginan, bukan? Mereka belum mati secara hakikat. Meskipun mereka memandang jendela menuju dunia luar seperti televisi yang tak bisa ditembus, bukan berarti dunia luar tersebut sudah hilang, bukan?

Didampingi dengan keinginan untuk tidak memilih salah satu dari kedua opsi tersebut, dan dengan sesuatu yang tak pernah mereka realisasikan—Setsumi, yang tak sempat berenang, dan sang protagonis, yang tak sempat mengendarai mobil di jalanan—mereka berdua pergi.

Suatu perjalanan, bagi mereka berdua yang pada dasarnya sudah mati. Mungkin bisa ditarik suatu perbandingan dengan mitologi-mitologi terdahulu, di mana Charon mendayungi perahu di atas Sungai Styx, atau jembatan di atas Sungai Sanzu, namun bedanya, mereka menaiki Honda Integra di atas jalan-jalan di Jepang.

Visual novel ini adalah cerita mengenai dia yang sebelumnya terdiam, hanya mampu menggemakan suara-suara suram realita yang menolaknya, dan dia yang jiwanya, napasnya, serta masa depannya, telah dicuri darinya.

Ironisnya, meskipun resensi ini mungkin merupakan kebalikan dari minimalis, semua ini disajikan dalam visual novel yang cukup minimalis; mulai dari durasinya yang cukup pendek, gambarnya yang cukup untuk mendukung deskripsi dari prosa yang cukup indah namun tidak sama sekali merupakan prosa ungu, serta musiknya yang cukup untuk mendukung scene demi scene yang jumlah serta kualitasnya sudah cukup pula dalam visual novel ini, semuanya sangatlah cukup.

Narcissu cukup minimalis—tidak seperti When They Cry yang melegenda, yang luar biasa, yang saya tak berani untuk menuliskan suatu resensi terhadapnya karena saya masih menganggapnya tiada tara dalam dunia fiksi—, namun, saya rasa tidak seminimalis yang penulis awalnya kehendaki, dan penulis—Kataoka Tomo—pun merasa demikian. Karya ini tidaklah membuang daging dari visual novel demi menyisakan hanya tulang belulang saja, dan bukan pula bagaikan lukisan kosong yang dipajang di suatu museum seni modern.

Meskipun tujuan awal karya ini sebagai eksperimen dari minimalisme tidaklah sepenuhnya berhasil, saya rasa hal tersebut bukan masalah besar. Narcissu bagaikan suatu rakit yang mengantarkan penumpangnya yang berupa nilai-nilai seni. Ia bukanlah hanya sebongkah kayu yang bisa dinaiki oleh sang penumpang dengan segala resikonya, namun ia adalah rakit yang minimalis, namun mencukupi, nyaman, dan lebih aman dalam menjaga sang penumpang dari tenggelam menuju lautan penuh karya-karya yang sampah karena kapal yang gagal. Maka dari itu, meskipun ia bukan suatu eksperimen minimalis yang seratus persen berhasil, ia tetap berhasil dalam berbagai aspek yang lain; ia telah berhasil sebagai suatu karya seni dan visual novel.

Narcissu merupakan suatu karya tentang kematian, tentang hidup yang hilang ketika dihadapkan dengannya, dan (tidak) semangatnya jiwa seorang manusia yang (tidak yakin) hendak mendapatkan hidup tersebut kembali. Disajikan melalui perantara yang sederhana, ia menyampaikan isinya dengan lantang, jelas, dan mudah ditelan.

Atau lebih tepatnya, mudah ditelan, namun sukar dikunyah, karena mengingat kenyataan bahwa kita semua akan mati merupakan suatu obat yang sangat pahit. Terkadang sangat pahit, hingga kita merasa tidak berdaya. Terkadang sangat ampuh sebagai obat, hingga menyebabkan kita untuk memanfaatkan setiap detik dalam hidup kita dengan maksimal.

 

Penulis: floccinaucinihilipilification

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *