Sudut pandangku tentang mereka
Yang banyak tanya tanpa membaca
Katanya sekolah, tapi otaknya mana?
Tolong diubah pola pikirnya
Barangkali lagu yang dibentuk oleh Enau, grup band asal Pekanbaru, bisa menjadi refleksi kita semua, setidaknya untuk kita sebagai mahasiswa. Sudah sejauh mana kita memaksimalkan potensi dan kesempatan pendidikan yang kita dapat. Pemerintah sejak 2019 sudah menggemborkan visi “Indonesia Emas 2045”, gagasan aporisma dan futuristik untuk mewujudkan masyarakat yang maju.
Tentu indikator menjadi negara maju tidak hanya pendidikan, ekonomi, dan teknologi. Tetapi tak dapat dipungkiri, kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) memegang peranan fundamental dari semua aspek indikator negara maju, yang sudah pasti mengandung ketiga aspek tersebut. Mengapa? Karena kapasitas SDM yang mumpuni akan melahirkan hasil yang berkualitas pula. Kualitas SDM lah yang menjadi promotor negara maju. SDA yang melimpah akan menjadi barang nilharga jika tak dimanfaatkan dengan baik, uang yang banyak tidak akan menggerakkan ekonomi jika SDM-nya cacat dalam mengonsepsi. Sehingga kualitas negara maju bergantung pada pola pikir dan pola perbuatan masyarakat tersebut.
Namun ketika melihat realita yang sekarang terjadi, lima tahun setelah cita-cita itu diangkat ke muka, nampaknya harapan itu seolah menjadi ambigu. Banyak sekali polarisasi dan hal-hal bodoh yang terdokumentasi dalam kehidupan kita. Contoh kecilnya yang digaungkan akhir-akhir ini, saya resah akan banyak hal setelah berseluncur di sosial media, terutama di aplikasi “andalan” gen z, apalagi kalau bukan X dan Tiktok. Beragam komentar dan postingan yang memprihatinkan saya, membuat cita-cita ideal “Indonesia emas 2045’ nampaknya masih terlampau jauh.
Alih-alih emas, malah cemas. Bagaimana bisa sebuah negara yang ingin maju, malah mengkerdilkan salah satu indikator kemajuan, dalam hal ini pendidikan. Indeks kesejahteraan tenaga pengajar rendah, orang kuliah dikucilkan, narasi mengganggur dengan kaya? sebuah lelucon yang desruktif, taqlid buta, masturbasi motivasi, asal nelen informasi, dehumanisasi dan lain sebagainya.
Jika kita tarik duduk ke awal permasalahan, apa sih akar masalahnya?
Statistik: Gambaran Umum Grassroot Permasalahan
Merujuk statistik World Population Review (2022), Indonesia menduduki peringkat 129 dengan IQ rata-rata konsisten pada nilai 78.49. Berbeda jauh dibandingkan tetangga kita, Singapura (peringkat 3 dengan rata-rata IQ 105.89) dan Malaysia (peringkat 73 dengan rata-rata IQ 87.58). Sungguh prestasi buruk yang amat menyedihkan. Bahkan tanpa komparasi dengan negara lain pun, pencapaian kita memang sudah menyedihkan.
Belum lagi statistik penelitian lain, makin menegaskan akar permasalahan struktural pendidikan di Indonesia yang makin menggurat. Dalam hal minat baca misalnya, Data Pandas yang melakukan penelitian di tahun 2024, menempatkan Indonesia berada di peringkat 100 dari 207 negara (Literacy Rate by Country). Menurut App Annie Inc, sebuah perusahaan asal California, USA, orang Indonesia dianggap terlalu banyak menghabiskan waktu untuk aplikasi gawai, 5.5 jam dalam sehari, selama penelitian yang dilakukan pada kuartal kedua 2022. Anomali, bukan?
Kominfo juga tak mau ketinggalan update. Data yang dikeluarkan tahun 2023, pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang dan kebanyakan adalah konsumen, alih-alih produsen. Sayang sekali memang. Dari beragamnya data ini, bukan tanpa alasan jika gelar “tong kosong nyaring bunyinya” banyak ditujukan pada sebagian rakyat Indonesia. Ironis. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Jika kita tahu akar masalah dari semua ini adalah kebodohan, lalu bagaimana langkahnya?
Surat Cinta untuk Indonesia
Masalah ini akan menjadi puncak gunung es jika terus menerus dibiarkan. Kicauan-Kicauan mengganggu dan merendahkan perlu diberikan perhatian lebih serius. Bukan masalah kebodohannya yang urgent, walaupun memang tetap harus dibenahi, tetapi pola pikir dan retorika yang desruktif sudah mencapai titik gawat, lebih penting diselesaikan. Jika terus-terusan tak acuh, hanya soal waktu gunung es itu hancur hingga mendatangkan bencana sosial yang tak bisa diprediksi seberapa dahsyatnya.
Pemerintah harus gerak cepat dan responsif terhadap fenomena yang muncul dewasa ini. Pemerintah harus tahu, bahwa kebodohan yang berbahaya bukanlah kebodohan yang tidak tahu, tetapi kebodohan yang berantai.
Jika tak mau gunung es bernama Indonesia ini hancur, benahi akar masalahnya. Dalam hal ini, pemerintah harus membuat sistem yang kontinyu dan mandiri, bukan hanya temporal dan berefek ketergantungan. Harus identifikasi masalah dengan jeli, jangan terpaku pada hal parsial yang remeh-temeh impact-nya. Selama ini kita hanya terpaku dengan masalah administratif yang tak kunjung usai, dualisme kepentingan, dan berbagai pragmatisme yang menjalar di hampir semua tubuh eksekutif dan legislatif.
Tentu sebuah sistem tak akan bisa berjalan jika tak ada yang menggerakkan. Maka masyarakat yang menjadi subjek sistem pun tak kalah penting perannya dalam hal ini. Upaya sistematis yang bersinergi membutuhkan kesadaran yang tinggi bagi semua instrumen. Untuk itu, langkah awal dalam berdinamika di sistem yang besar adalah menelurkan kesadaran dalam skala kecil, upaya-upaya yang efeknya untuk diri sendiri dan sekitar.
Sebut saja tindakan yang solutif macam habits membaca, menimbang sebelum bertindak, kontrol diri, dan berbagai hal sederhana lainnya. Untuk menciptakan pohon sistem yang kokoh, haruslah dipupuk dari akar masalah dan benih persoalan. Perlu waktu yang tak sedikit memang, tetapi itulah harga mahal yang harus dibayar.
Epilog
Pemerintah, masyarakat, mahasiswa, guru, saintek, tukang bakso, mas-mas mi gacoan, dan semua elemen yang terkoneksi atas satu latar belakang bernama Indonesia haruslah bahu-membahu bangkit dan menyelesaikan permasalahan struktural ini. Pemerintah bersama tenaga ahli memberikan arahan dan gagasan strategis, kemudian dinarasikan menjadi program untuk masyarakat, berikutnya masyarakat menjalankan program yang tersistematis. Transformasi dari titik paling rendah akan memantik transformasi-transformasi berikutnya yang lebih besar.
Tak masalah bila di kemudian hari muncul hambatan dan perkembangan yang lambat, asal prospek harus jelas dan progres terus tumbuh ke depan. Semua orang berlari dengan tempo yang berbeda, jangan dipaksakan tuk disamakan. Jika semua ini bisa dijalankan dan telah tumbuh kesadaran bersama, percayalah “Indonesia emas 2045” bukanlah hal yang utopia bagi Indonesia. Bergerak dan menjaga bersama, akan lebih mudah dan efektif dibanding bergerak sendiri.
Terakhir pesan penulis, tulisan ini bukanlah menihilkan kinerja pemerintah dan teman-teman yang telah berjuang dalam dunia pendidikan. Namun ketika masalah sudah sedemikian pelik, perlulah pengingat kecil untuk semua kalangan agar cita-cita kita bersama tetap terjaga. Jangan kehilangan harapan untuk membawa perubahan dan kebangkitan di Indonesia. Panjang umur perjuangan!
Oleh: Atsilla Yusya Arrizky
Kru Esai Website Manggala 2023-2024