Harus Memilih yang Terbaik

Dok. Manggala

Beberapa hari silam, terbit sebuah tulisan menarik yang sangat menggugah akal dan nalar bagi siapa saja yang membacanya. Tulisan tersebut berjudul Politisasi Sektarian, Sebuah Wujud Pendangkalan Mahasiswa yang juga terbit di Manggala. Di tulisan tersebut, penulisnya yang juga notabene adalah kawan diskusi saya ini dengan sangat gamblang menjelaskan secara singkat tentang betapa rendahnya nalar, akal, dan prinsip mahasiswa jika ia hanya menentukan pilihan berdasarkan dalih emosional. Seperti hanya karena sama-sama satu kekeluargaan, kesamaan afiliatif, dan alasan-alasan fanatisme lainnya.

Bagai gayung bersambut dan pucuk dicinta ulam pun tiba, muncullah fakta nyata di depan mata soal fenomena sektarian yang menjadi keresahan. Adalah sebuah ajakan untuk masuk grup konsolidasi pemenangan terhadap salah satu calon yang langsung dikomandoi oleh petinggi kekeluargaan. Ajakan tersebut sebagaimana tertulis dalam edarannya yang tersebar di grup whatsapp “katanya” dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan kemaslahatan dan kebaikan.

Entah kebaikan apa yang dimaksud. Karena memang tidak dijelaskan secara detail di sana. Apakah karena si calonnya merupakan dari kekeluargaan yang sama sehingga harus didukung habis-habisan? Atau seperti apa? Ya terlepas dari itu, memang sih hal tersebut bukan paksaan dan hanya sekedar ajakan, tapi lagi-lagi bukti ini semakin menggambarkan secara jelas tentang betapa mendarah dagingnya ide sektarian.

Namun sebenarnya, ada satu lagi hal yang mengganjal dan menggelitik diri ini dari ajakan masuk ke grup konsolidasi tersebut. Hal tersebutlah yang nanti akan diulas dalam tulisan ringan ini. Yaitu adanya satu kalimat pada akhir bc-annya yang tertulis, “Pemilu dilaksanakan bukan untuk memilih yang terbaik, tapi menghindari orang terburuk berkuasa.” 

Tendensius

Saya sempat berpikir dan merenung sejenak, apa gerangan yang membawa si pembuat bc-an memasukkan ungkapan tersebut? Dan apa konteks yang dimaksud? Apakah hanya sekedar mengajak Masisir untuk tidak golput dan berpartisipasi meramaikan pemira? Atau justru seolah ungkapan tendensius yang ditujukan sebagai sindiran kepada lawannya yang seolah dicap “terburuk’? Dan sepertinya menurut hemat penulis jawaban terakhir inilah yang paling mendekati benar dari perenungan yang telah dilakukan.

Bukan tanpa alasan, sebab jika memang hanya sekedar agar meningkatkan partisipasi warga yang memiliki hak pilih agar tidak golput, untuk apa menambahkan ungkapan tersebut dalam pesan broadcasting yang jelas-jelas ajakkan untuk memenangkan salah satu calon? Karenanya jelas sudah di sini ada kesan memberikan penilaian “terburuk” secara implisit bagi lawan politiknya. Seolah-olah pasangan lain sangat buruk sehingga harus dicegah dari meraih tampuk kekuasaan. 

Namun jika pemaknaan yang dilakukan penulis ini benar—semoga kalau salah ada sanggahannya—, tentu ini perkara yang amat disayangkan. Sebab bisa dikatakan hal tersebut merupakan cara busuk yang tidak sehat layaknya kebanyakan politisi di Indonesia yang kerap berbuat demikian. Meskipun harus kita katakan, hal ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan kekotoran serta kekejaman permainan politik yang ada di Nusantara.

Harus Memilih yang Terbaik

Sudah dimaklumi bersama, tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Yang Maha Kuasa. Karenanya tentu masing-masing manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Tidak terkecuali para kontestan yang akan bertarung pada gelanggang pemilihan raya PPMI yang tinggal menghitung hari. 

Mereka yang maju adalah para individu terpilih yang dipercaya oleh basis massanya masing-masing guna maju bertarung dalam kontestasi. Saya tidak katakan terbaik, sebab diluar sana boleh saja masih ada sosok yang lebih baik dan kompeten dibandingkan mereka. Namun disebabkan beberapa alasan, sebut saja misalnya karena tidak memiliki backingan massa, menjadikannya urung bertarung. Ya setidaknya karena telah melewati uji kelayakan, dua paslon yang sudah resmi mulai berkampanye ini bukanlah orang-orang biasa. Melainkan mereka adalah orang-orang yang setidaknya dinilai layak oleh panwaslura sebagai presiden PPMI.

PPMI sebagai organisasi tertinggi Masisir tentu membutuhkan sosok ideal yang seminimal-minimalnya dapat membawa namanya kembali harum semerbak di tengah-tengah komunitasnya sendiri. Sebab harus diakui, opini-opini liar seputar organisasi ini semakin berkembang disebabkan kasus-kasus yang dilakukan para pengurus tahun-tahun sebelumnya. Berangkat dari hal tersebut, tentu dibutuhkan yang terbaik dari kedua paslon yang ada saat ini. 

Dari sini maka, statement “Pemilu dilaksanakan bukan untuk memilih yang terbaik” adalah kurang tepat. Seharusnya adalah dalam konteks pemira PPMI kali ini adalah “Pemilu dilaksanakan untuk memilih yang terbaik”. Itu artinya, kedua paslon yang ada saat ini sudah baik. Tinggal pilih saja mana di antara keduanya yang terbaik.

Namun tentu, memilih yang terbaik di antara keduanya adalah bukan karena atas asas kedekatan emosional seperti yang masih dipraktekkan. Melainkan seharusnya mereka dipilih berdasarkan ide, gagasan, dan visi-misi yang mereka utarakan.

Oleh: Rifqi Taqiyuddin

Pimpinan Redaksi Website Manggala 2023-2024

Editor: Faiz Abdurrahman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *