Manggala, Kairo — Dengan bertajuk “Menolak Memorisida”, sejumlah komunitas Masisir seperti Art Theis de Cairo, Jaringan Gusdurian Kairo, Arsipin, dan MacBook Club menggelar layar tancap film Farha (2021) pada Rabu, (20/3) di Sekretariat Fismaba, Gamaliya.
“Maksud dari menolak memorisida itu adalah menolak adanya upaya penghapusan memori kita tentang apa yang sedang terjadi di Palestina. Dan ini jelas lebih gawat dari genosida,” tutur Unzila Rohmah, moderator pada acara tersebut.
Selepas pemutaran film yang berdurasi 1 jam 31 menit itu, Layla Palestina menghadirkan sesi mengulas film yang dipantik oleh Lalu Azmil Azizul M. Ia menyampaikan bahwa tujuan film ini tidak lain dan tidak bukan adalah medium untuk merekoleksi ingatan-ingatan terkait Palestina dalam benak kita dan mengecam impunitas atas kejahatan Israel kepada Palestina, terutama pada peristiwa Nakba 1948.
“Film Farha ini seperti paradoks, ya. Farha itu sendiri artinya kebahagiaan. Tetapi, scene yang ditampilkan dalam film malah kesedihan (red: penjajahan Palestina).” terang Lalu, diikuti dengan ulasan dari peserta lainnya.
Film besutan sutradara asal Yordania, Darin J. Sallam ini pertama kali ditayangkan di Festival Film Toronto pada 14 September 2021 silam. Film Farha berkisah tentang Farha (14) yang bermimpi melanjutkan pendidikannya, tetapi terhalang bahaya yang menghampiri desanya. Untuk menjaga keselamatan dirinya, ia disembunyikan oleh sang ayah dalam ruang penyimpanan makanan kecil di dekat rumahnya sambil menunggu ayahnya kembali. Melalui lubang kecil di dinding dan beberapa retakan di pintu kayu, Farha menyaksikan berbagai peristiwa di luar yang memicu perubahan hidupnya dan memaksanya untuk tumbuh, meninggalkan masa kecilnya.
Tak sampai di situ, Layla Palestina turut menghadirkan Nur, warga asli Palestina yang lama bermukim di Mesir. Di depan seluruh peserta yang hadir, Nur dengan bahasa arabnya yang fushah menceritakan kesaksiannya langsung bagaimana warga Palestina bertahan hidup sehari-hari.
“Ayah dan Ibu saya orang Palestina asli, bahkan mereka masih di sana sampai sekarang. Keluarga besar kami mencapai 35 orang. Dan mereka tinggal dalam tenda-tenda dingin di perbatasan Rafah. Dulu, saya masih sempat pulang kampung setahun sekali. Tapi semenjak 2007 atau 2008, sudah tidak bisa lagi. Sungguh, tidak ada makanan dan minuman sama sekali di sana. Toh, kalaupun ada bantuan, sangat terbatas dan sulit kami mendapatkannya, sedangkan kami tetap harus berpuasa,” jelas Nur sambil berkaca-kaca.
Pemutaran film yang berlatar belakang peristiwa Nakba 1948 itu menjadi awalan daripada rangkaian acara Layla Palestina selama satu minggu ke depan. Beberapa hari ke depan akan diselenggarakan rangkaian berikutnya berupa MABUK (Masisir Baca Buku) Palestina dan PETIR (Pesta Penyair) Palestina.
Reporter: Irfan Amrullah Prasetyo & Fahmi Akbar
Editor: Rifqi Taqiyuddin