Oleh: Faiz Abdurrahman
Penulis adalah Anggota Pimpinan Usaha Manggala 2022-2023
“Mengumpulkan orang-orang untuk demo lebih mudah daripada mengajak ke Perpustakaan.” Haedar Nasir.
Ungkapan di atas menjadi relevan ketika kita menyinggung lagi tentang berbagai kabar aksi demo belakangan. Muhammad Natsir pernah bertanya kepada partisipan demo yang merupakan mahasiswa terkait mengapa ia mengikuti aksi tersebut. Kemudian Natsir mendapati jawaban bahwa mahasiswa yang ia tanyakan tidak mengerti substansi kegiatan demo yang diikutinya.
Teriak berorasi menyuarakan aspirasi masyarakat di tengah kerumunan, sekilas memang terlihat keren. Hal ini membentuk sebuah kesempatan bagi mereka yang ingin tampil bergaya, menjadi sasaran empuk bagi mereka yang mencari perhatian, sehingga terlihat layaknya seperti superhero. Tak hanya itu, momen ini juga dimanfaatkan untuk membuat konten epik baik feed maupun story Instagram, sehingga kelak dirinya bangga sebab telah menjadi bagian daripada sejarah.
Aksi tersebut merupakan kegiatan yang mulia, tetapi amat disayangkan jika dalam hatinya malah terselubungi oleh niat lain. Opini ini cukup tersebar dikalangan masyarakat, walaupun pada faktanya tidak semua begitu. Terlepas dari itu, bagi saya mereka yang ikut serta dalam kegiatan ini dapat terbagi menjadi tiga kalangan. Pertama, kalangan akademisi yang mengerti landasan aksi beserta detail-detailnya. Kedua, kalangan yang mengetahui alasan pokok, tetapi tidak dengan detailnya. Ketiga, kalangan yang hanya ikut-ikutan karena seru-seruan saja.
Dalam kasus lain, para artis yang turun dalam pesta demokrasi di Indonesia, beberapa asumsi liar melihat bahwa mereka dan partainya hanya mengandalkan popularitas yang dimiliki. Yang penting dikenal masyarakat, followers-nya banyak sehingga berpotensi menang dalam pemilihan. Walaupun tentu kita tak bisa menggeneralisasi semua artis yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif hanya bermodalkan demikian, kualitasnya kembali lagi kepada latar belakang yang pernah ditempuh sebagaimana yang diungkap oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer; Muhammad Qodari.
Berikut data artis yang nyaleg, dari tahun ke tahun:

Diagram di atas menurut Qodari, memperlihatkan bahwa dengan bekal popularitas dan kemampuan meyakinkan masyarakat melalui gaya bicara pada akhirnya mampu membuatnya terpilih. Ditambah lagi, daerah pemilihan yang pas (tempat lahir) juga menjadi faktor besar. Walaupun terdapat penurunan dari hasil yang lolos DPR, nama-nama seperti Ramzi, Narji, Aldi Taher, dan Mongol tetap optimis untuk maju mencalonkan diri sebagai calon legislatif, mereka semangat mengabdi dan menyuarakan aspirasi rakyat.
Dua fenomena di atas bagi saya adalah sebuah cerminan masyarakat ‘Wakanda’. Saya ingin mengajak pembaca merenungkan -seandainya jika ini terjadi-, pemuda yang terjun dalam suatu organisasi, menjadi panitia ini dan itu, tetapi hanya ikut-ikutan saja, tanpa mengetahui landasan pergerakan seperti halnya pendemo di atas. Sehingga barangkali dapatlah kita sebut dengan istilah ‘bebek pergerakan’ yang mudah ditunggangi oleh pihak berkepentingan.
Di sisi lain, mereka yang mencalonkan diri adalah orang yang hanya mempunyai bekal popularitas dan kedekatan hubungan sosial pada sebagian besar pemilih. Berani pasang badan, beradu dalam pemilihan umum tanpa peduli soal integritas, moralitas maupun intektualitas yang pas–pasan. Warga yang memilihnya juga tidak peduli seberapa berkualitaskah para kandidat, yang terpenting jika saya kenal dia, maka saya pilih dia. Tetapi kelebihannya jika dibandingkan kasus para artis, modal popularitas yang dimiliki oleh politisi sedikit tidak berlaku pada masyarakat ini.
Baca Juga: “Sejarah Kelam 10 November dan Refleksi bagi Generasi Muda“
Kemudian, masyarakat yang aktif membaca buku dan berdiskusi, baik tentang pemikiran, perpolitikan, pergerakan, dan yang lainnya justru malah berbanding terbalik dengan apa yang telah disinggung sebelumnya; malah acuh tak acuh pada problematika sosial. Melek pada literasi tetapi masa bodo pada keadaan sekitar dan menganggap bahwa mereka yang terlibat dalam ketidaksehatan politik organisasi adalah orang-orang yang gabut saja. Jika terus menerus ini terjadi, tentu dampaknya akan tidak sehat pada organisasi tersebut, baik mikro maupun makro. Namun sekali lagi, ini hanya terjadi pada masyarakat ‘Wakanda’ yang semoga saja tidak terjadi dengan kita.
Sengaja saya membeberkan fakta dan ilustrasi di atas, sebab bisa saja, politik negara yang kita lihat tidak sehat itu embrionya telah lahir dan diimplementasikan sejak kita masih muda yaitu oleh mahasiswa di mana kita sendiri mengklaim diri sebagai orang yang kritis. Berada di posisi manakah kita? Apakah sedang bergerak tetapi sebenarnya diperalat? Atau bergerak sembarangan? Atau sebagai pembelajar yang apatis? Jika berada pada salah satu dari itu, maka relevanlah apa yang diungkap oleh Ismail Raji Al-faruqi terkait adanya dualisme antara aksi dan pemikiran.
Mari kita lihat ke belakang sejenak, Rasulullah selain menjadi pemimpin agama, beliau adalah pemimpin pemerintahan. Kualitas intelektualnya sudah terlihat bahkan sebelum diangkat menjadi nabi, ketika dimintai pendapat terkait -kabilah-kabilah yang berselisih- siapa yang berhak meletakan Hajar Aswad kembali pada tempatnya. Beliau mengusulkan supaya masing-masing ketua kabilah memegang ujung kain, lalu meletakannya secara berjamaah, walhasil tidak ada kecemburuan antar satu dengan yang lainnya dan konflik pun usai.
Kemudian setelah diangkat menjadi Nabi, pertama kali yang dilakukan saat hijrah ke Madinah adalah membangun masjid sebagai dasar utama, mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, kemudian mempersaudarakan kabilah yang telah lama mengalami konflik seperti suku Aus dan Khajraj. Problem yang kompleks sekali, yang tidak mungkin dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang singkat sebab telah bertahun-tahun lamanya berlangsung, kecuali dengan kemampuan sosialisasi dan kebijaksanaan yang ahli.
Piagam Madinah yang digagasnya menginspirasi perundang-undangan modern, istilah “sahabat” pada orang-orang sekitar mengindikasikan bentuk keegaliteran pada bawahannya. Oleh karena kecerdasan dan kebijaksanaan semua itu, hanya dengan dua puluh tahun beliau berhasil mengubah tatanan Arab yang pada mulanya terbelakang dan terjajah menjadi bangsa yang cerdas dan terkemuka mengalahkan dua super power dunia; Romawi dan Persia. Michael H Hart yang notabenenya Yahudi, dalam bukunya ‘The 100 Ranking of The Most Influential Persons In History’ memposisikan Rasulullah sebagai orang pertama dan mengalahkan 99 orang berpengaruh dunia lainnya.
Pada abad kejayaan islam, Harun al-Rasyid merupakan khalifah yang mampu mengembangkan dan meletakan fondasi Dinasti Abbasiyah dengan kokoh secara menyeluruh baik di bidang politik, ekonomi dan sosial. Selain menjadi tokoh politik, ia juga merupakan tokoh intelektual. Peranannya dalam mengembangkan Pendidikan Islam ia buktikan dengan memperbesar departemen studi ilmiah dan penerjemahan (Baitul Hikmah), serta menjadikan istana sebagai tempat ‘nongkrong’ para intelektual lintas ilmu dan kesenian lainnya. Dengan sebab-sebab tersebut, Islam pada kala itu menjadi sentral dan puncak peradaban.
Dalam konteks pra-kemerdekaan Indonesia, Negara kita juga memiliki para tokoh intelektual yang melek akan pergerakan. Setelah adanya kebijakan politik etis implementasi sistem pendidikan kolonial Belanda yang pada mulanya bertujuan memperoleh tenaga kerja yang murah, tetapi pendidikan untuk kaum pribumi ini justru melahirkan tokoh intelektual yang menggagas pelbagai pergerakan. Tokoh-tokoh seperti Dr. Sutomo, Suwardi Suryaningrat, Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir dan lainnya berupaya meningkatan kesadaran bangsa dalam memperbaiki kehidupan melalui organisasi-organisasi yang berjuang melawan penjajahan.
Dari tokoh pergerakan dan pemimpin di atas, ada kesamaan value yang mereka sama-sama pegang, yakni tidak menafikan pemikiran sebagai landasan aksi. Atau dengan kata lain, tidak asal-asalan dalam bergerak melainkan adanya kajian mendalam yang diindahkan dengan bertukar gagasan berdasarkan analisa dan pembacaan, baik literatur maupun realitas sebagai inspirasi untuk pemecahan problematika.
Soekarno berkata, “Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang hanya memikirkan dirinya sendiri.” Di sini Bung Karno tetap menyinggung kata ‘diskusi’, bukan hanya nongkrong belaka tanpa memikirkan sebuah maslahat atau solusi atas masalah sekitar. Pak Proklamator seakan ingin mengatakan, “Wahai kaum pergerakan, jangan lupa baca dan diskusi! Dan kamu juga wahai kaum kutu buku, kalian jangan apatis!”
Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda, kata Tan Malaka. Terlebih kaum pelajar terdidik (mahasiswa) yang mempunyai beban belajar dan beban sosial, sudut pandangnya lebih jujur sebab tidak didasari oleh kepentingan. Jati diri mahasiswa semestinya membantah adanya dualisme aksi dan pemikiran. Tidak ideal mengklaim diri sebagai aktivis (aksi) atau akademis (pemikiran) saja. Pilihannya hanya aktivis (aksi) dan akademis (pemikiran) baik dimanifestasikan hari ini, atau nanti dengan skala prioritas masing-masing.
keren
Melihat Mahasiswa sekarang cukup relevan sih, apalagi masisir wkwk
Aktivis No
Akademis Yes
Aktivis Akademis Yes
Fakta tulisan banyak yang perlu kita perbaiki bersama.
1. Sadar atau tidak fakta saat ini memang pemuda saat ini jarang sekali pelajar yang melek politik.
2. Tentu paham politik praktis atau politik sebagaimana yang di ajarkan Rosulullah.
3. Padahal nyata betul Rosulullah ada suritauladan
4. Yang sangat disayangkan pelajar muslim tidak tau hakikat politik.
5. Akhirnya politik dikuasai oleh para artis.
6. Yang terjadi politik negara dan didalamnya sekarang banyak yang di jadikan alat, sinetron, dan dagelan.
7. Seolah-olah Negara kita dijadikan negara Sinetron, Semua permainan layaknya sutradara memainkan peran sinetron.
Contohnya : Politik tembak polisi
9. Yang akhirnya jadilah negara manipulasi.
Contohnya: Pertamina Rugi padahal masyarakat beli cash.
Harga beras petani murah disisi lain pemerintah impor saat musim panen.
Elpiji langka alasan rugi padahal konsumen beli cash.
10. Negeri konoha