Esai, Opini  

Sejarah Kelam 10 November dan Refleksi bagi Generasi Muda

Ilustrasi kemerdekaan (Sc: www.urbanasia.com)

Oleh: Aghna Irma Yani

Penulis adalah Sekretaris Redaksi Manggala 2022-2023

Tanggal 10 November merupakan tanggal yang sangat bersejarah khususnya bagi kita warga Indonesia. Biasa disebut dengan Hari Pahlawan Nasional dan akan diperingati di setiap tahunnya sebagai bukti untuk mengenang jasa-jasa yang telah dikorbankan oleh para Pahlawan Indonesia dalam membela kebenaran. Tapi, sayangnya banyak sekali dari kita kaum muda zaman sekarang khususnya tidak mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi pada tanggal 10 November 1945 tersebut, Siapa pahlawan yang telah berjuang dan tentunya apa yang harus kita lakukan untuk mengenang semua jasa-jasa pahlawan. Banyak dari kita hanya ikut-ikut menyebarkan pamflet hari pahlawan tapi tidak menerapkan nilai-nilai dari perjuangan para pahlawan itu sendiri.

Sejarah Hari Pahlawan

Melansir dari Detiknews, Sejarah Peristiwa 10 November tercantum dalam Pedoman Hari Pahlawan Tahun 2022 yang diterbitkan oleh Kementrian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI). Hari Pahlawan bermula dari pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945.

Pertempuran tersebut terjadi antara pasukan Indonesia melawan pasukan Inggris usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Momentum 10 November itu adalah satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Website Resmi biropemkesra.bantenprov.go.id mengatakan bahwa Hal ini terjadi diawali dengan insiden perobekan Bendera Belanda Merah Putih Biru di atas Hotel Yamato pada 19 September 1945. Hal ini terjadi Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat yang menetapkan mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia.

Gerakan pengibaran bendera tersebut meluas ke seluruh daerah-daerah, salah satunya di Surabaya. Pada pertengahan September, tentara Inggris mendarat di Jakarta dan mereka berada di Surabaya pada 25 September 1945. Tentara Inggris tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) datang bersama dengan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Hal ini memicu kemarahan warga Surabaya, mereka menganggap Belanda menghina kemerdekaan Indonesia dan melecehkan bendera Merah Putih, Masyarakat Surabaya protes dengan mengerumuni depan Hotel Yamato dan disanalah terjadinya perobekan Bendera Belanda tersebut.

Kemudian Presiden Soekarno memerintahkan untuk gencatan senjata pada 29 Oktober 1945. Lagi-lagi gencatan senjata itu tidak berlangsung lama pertempuran kembali pecah pada 30 Oktober 1945.

Kematian Jendral Mallaby pada saat itu memicu kemarahan pihak Inggris kepada Indonesia. Pengganti Jenderal Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengeluarkan Ultimatum 10 November 1945 yang berisi:

1. Pihak Indonesia diminta untuk menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. Apabila Indonesia tidak menaati ultimatum tersebut, ada ancaman gempuran ke kota Surabaya dari darat, laut, dan udara.

2. Semua pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda di Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pagi pada tempat yang telah ditentukan.

Ultimatum ini tidak ditaati oleh rakyat Surabaya sehingga terjadilah pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945.

Saat itu rakyat Surabaya bersama para pejuang bertempur melawan tentara Inggris. Pada pertempuran tersebut, jumlah kekuatan tentara sekutu sekitar 15.000 pasukan. Pertempuran ini dijuluki dengan Pertempuran “Neraka” karena mengalami kerugian yang tidak sedikit yaitu Sekitar 6000 rakyat Indonesia yang gugur dalam pertempuran di Surabaya. Tak hanya itu, puluhan alat perang juga rusak dan hancur. Pertempuran tersebut terjadi selama tiga minggu.

Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 itu pun ditetapkan sebagai Hari Pahlawan melalui Keppres Nomor 316 tahun 1959 pada 16 Desember 1959.

Keputusan itu ditetapkan oleh Presiden Soekarno. Kala itu Soekarno memutuskan juga menetapkan hari nasional bukan hari libur. Salah satunya yakni Hari Pahlawan 10 November.

(BACA JUGA: Keumalahayati; Pahlawan Nasional yang Terlupakan)

Lantas, Bagaimana Kita Menyikapi Hal Ini?

Di era millenial ini, kita sebagai generasi muda harus paham dan mengerti bahwa kata “Pahlawan” tidak hanya sebatas makna berjuang mengangkat senjata dan perang di medan perang. Akan tetapi, bisa juga dimaknai dengan memberikan sikap untuk membela kebenaran dan menyebarkan pengaruh positif. Berani bertindak untuk mengembil setiap keputusan dan memperjuangkan setiap haknya. Sikap ini harus ditanamkan dan dikorbankan dalam diri kita sebagai generasi muda.

Kecanggihan dari teknologi saat ini bukanlah sebuah halangan untuk kita menerapkan nilai-nilai perjuangan. Dan mengetahui sejarah-sejarah dari para pejuang justru bisa dimanfaatkan untuk menyebarkannya di sosial media, dengan adanya spirit semangat dari generasi muda akan membantu untuk membangkitkan para generasi muda yang lain dari keterpurukan.

Dengan adanya refleksi dari perjuangan ini semoga bisa Kembali menyadarkan dan mengingatkan kita betapa pentingnya menjadikan Hari Pahlawan ini sebagai motivasi di setiap saat. Kemudian menjadi ajang pembuktian dan evaluasi diri generasi muda yang mampu mengubah bangsa menjadi bangsa yang lebih baik. Dan terakhir dengan adanya ini bisa mencerminkan pribadi yang bertanggung jawab dan amanah.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”.

Ir. Soekarno.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *