Esai, Opini  

Menjawab Tudingan Terhadap Bani Alawi

Potret Bani Alawi Indonesia (Sc: Wikipedia)

Oleh: Muhammad Rifky Handadari

Penulis adalah Pimpinan Redaksi Manggala 2022-2023

Tak bisa dimungkiri, kesuksesan penyebaran Islam di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Bani Alawi yang hijrah ke Negeri ini. Sampai detik ini, eksistensinya juga masih memberi pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat. Sudah menjadi hal yang umum kalau para Bani Alawi mendapat tempat yang lebih tinggi di sebagian masyarakat kita. Selain karena fakta akan nasabnya yang mulia bersambung kepada Rasulullah SAW, juga karena fakta anggapan masyarakat kalau mereka lebih paham mengenai agama Islam.

Pengertian dan Peran di Nusantara

Sebelum lebih lanjut, sebenarnya apa dan siapa Bani Alawi itu? Dijelaskan oleh Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith dalam kitabnya Al-Manhaj As-Sawi  halaman 19 bahwa Bani Alawi (atau juga disebut Ba’Alawi) adalah mereka yang nasabnya bersambung kepada Sayyid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir dan terus bersambung kepada Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib suami dari Sayyidah Fatimah binti Rosulillah. Sudah bukan rahasia lagi, kalau para Alawiyyin ini tersebar ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri mayoritas masyarakat memanggil mereka dengan sebutan ‘Habib’ atau ‘Sayyid’. Pengakuan para habib atau sayyid sebagai keturunan Rasulullah juga bukan sekedar pengakuan kosong belaka, melainkan dapat dibuktikan melalui Maktab Daimi sebagai salah satu lembaga yang mencatat silsilah keturunan Rasulullah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Tak bisa dimungkiri juga kalau corak keislaman di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh para Alawiyyin yang berdakwah di Negeri ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan menyebarnya bacaan-bacaan atau wirid yang dikarang oleh para ulama dari kalangan Bani Alawi seperti Maulid Simtudduror karya Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Ratib Al-Haddad karangan Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Wirid As-Sakran karangan Al-Habib Abu Bakar bin Abdurrahman Assegaf, dan masih banyak yang lainnya.

Jika kita menengok kembali kepada sejarah, sebagian Walisongo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa juga dipercaya sebagai bagian dari Bani Alawi. Meskipun tentu tidak semua setuju dengan pendapat ini, namun tidak sedikit para sejarawan ataupun ulama kita yang membenarkan keabsahan Walisongo sebagai bagian dari Bani Alawi, seperti Ustadz Adi Hidayat, Gus Muwafiq, Habib Rizieq Shihab, Habib Luthfi bin Yahya, dan lain-lain. Agus Suntoyo dalam buku Atlas Wali Songo halaman 234-235 menjelaskan mengenai keabsahan silsilah Sunan Bonang yang bersambung kepada Sayyid Alwi bin Ubaidillah. Di halaman yang sama, dijelaskan juga mengenai nasab Sunan Ampel. Penulis sendiri juga pernah sowan ke kediaman salah satu pemilik pondok pesantren di daerah bogor yang juga masih keturunan dari Sunan Gunungjati dan terus bersambung kepada Sayyid Alwi hingga bermuara kepada Rosulullah SAW. Hal itu beliau buktikan dengan catatan nasab yang lengkap dari salah satu lembaga pencatatan nasab yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Peran mereka terhadap dakwah Islam di Nusantara sungguh sangat luar biasa, sehingga tak heran kalau banyak dari mereka menjadi sosok yang dituakan di daerahnya masing-masing, bahkan ada yang sampai menjadi pemimpin atau mufti. Kesultanan Kadriyah Pontianak misalnya, yang didirikan lebih dari dua ratus tahun lalu dan dipimpin oleh Alawiyyin dari keluarga ‘Al-Qadri’ sampai sekarang. Ada juga tokoh di Palu bernama Habib Idrus bin Salim Al-Jufri seorang pendiri organisasi islam besar di timur Indonesia yaitu Al-Khairaat. Masyarakat palu juga memanggil Habib Idrus dengan sebutan ‘Guru Tua’, dan sekarang namanya diabadikan menjadi nama bandara di Palu. Kentalnya budaya dan ilmu keislaman pada Alawiyyin kerap kali menjadikan mereka sebagai tempat bertanya masyarakat terkait islam. Tentu dengan keilmuan yang unggul dan layak, tak sedikit dari mereka yang pada akhirnya menjabat menjadi mufti hingga saat ini. Seperti Habib Utsman bin Yahya sebagai Mufti Batavia (Betawi), Habib Rizieq Shihab sebagai Mufti Agung Kesultanan Sulu Darul Islam, juga guru kami di Depok Abuya Al-Habib Abu Bakar bin Hasan Alatas Az-Zabidi sebagai Mufti Kesultanan Ternate.

(BACA JUGA: Urgensi Menguasai Bahasa Asing bagi Penuntut Ilmu)

Tudingan Sebagai Ahli Bid’ah

Namun, setelah semua kegemilangan ini, masih ada golongan-golongan yang menuding para Alawiyyin sebagai kelompok yang sesat, ahli bid’ah, atau bahkan syiah hanya karena corak keislaman tradisional dari Bani Alawi yang merayakan maulid Nabi, berziara kubur, bertawasul, membaca wirid-wirid tertentu, atau mempercayai karomah seorang Wali Allah yang dianggap sebagai bentuk kesesatan atau amalan yang tidak ada dalilnya. Senjatanya kurang lebih ‘Nabi tidak pernah melakukan, maka hukumnya haram’.

Padahal kalau kita melihat kitab-kitab para ulama terdahulu, pembahasan mengenai hukum amaliah para Habaib ini sudah tuntas dibahas dengan jelas dan gamblang disertai dengan dalil-dalilnya. Maka sejatinya perdebatan kalangan awam mengenai hal ini tidak akan ada ujungnya, karena untuk kalangan awam sendiri tentu kesulitan untuk memahami kitab-kitab para ulama yang membahas permasalahan tersebut. Maka biarkan ranah ‘saling melempar dalil’ ini dikembalikan kepada yang paham dan memiliki kapasitas untuk itu. Selain itu, yang tidak kalah penting dari mengetahui hukumnya adalah bagaimana bersikap terhadap perbedaan pendapat. Bagi yang berpendapat hukum amaliah Habaib ini diperbolehkan maka silakan diamalkan dan tidak perlu menyalahkan yang mengingkarinya. Begitu juga sebaliknya, yang berpendapat tidak boleh mengamalkan juga tidak perlu mendakwa saudara muslimnya sebagai golongan sesat atau ahli bid’ah, silakan untuk sekedar diingatkan, tidak perlu memaksakan pendapat atau bahkan menghina. Toh yang mengamalkan juga punya dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.

Tudingan Sebagai Syiah

Tudingan lainnya yang juga tidak jarang dilemparkan kepada para habaib adalah syiah. Mulai dari Prof. Quraish Shihab, Habib Ali Al-Jufri, Habib Umar bin Hafizh, dan para tokoh besar Ba’Alawi lainnya yang juga dicap dengan tudingan yang sama. Namun, jika kita melihat pergerakan syiah di Indonesia memang agaknya tidak bisa dilepaskan dari sebagian Alawiyyin yang berperan di situ. Sebagai contoh nyata adalah dibentuknya organisasi masyarakat Ahlulbait Indonesia (ABI) yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Pengurus ABI sendiri juga tidak sedikit dari kalangan Ba’Alawi, seperti Ketua Umum, Wakil Ketua, ataupun Dewan Syuro sebagaimana tertulis di Website resmi ABI.

Akan tetapi, rasanya tidak fair langsung menarik kesimpulan kalau ‘Habaib=syiah’ hanya dengan fakta kalau ada sebagian Alawiyyin yang bermazhab syiah. Sekali lagi, tidak adil kita meng-umumkan sesuatu yang khusus. Tentu tudingan ini dapat merugikan Alawiyyin yang bermazhab sunni, dan faktanya jumlah mereka jauh lebih banyak dibanding yang bermazhab syiah.

Selain itu, tudingan syiah juga sering diarahkan kepada Ba’Alawi hanya karena mereka sering menyebut-nyebut dan memuji Ahlul Bait Nabi -khususnya Sayyidina Husein- dalam kasidah-kasidah yang biasa dilantunkan sebagai bentuk cinta. Kalau kita renungi, apa salahnya berlebihan dalam mencintai Imam Husein yang juga bagi para Bani Alawi adalah ayah mereka? Kita saja yang terkadang hanya keturunan kesekian tokoh masyarakat gemar sekali menyebut-nyebut nama leluhur kita itu, lantas bagaimana jika leluhur kita adalah pemuda yang dijanjikan oleh Rasulullah sebagai pemimpin pemuda ahli surga kelak?

Sebagai contoh lagi, kami yang hidup di Mesir sangat mengetahui bagaimana besarnya rasa cinta masyarakat mesir kepada Sayyidina Husein. Kami juga sangat sering mendengar masyarakat Mesir menyebut-nyebut nama Sayyidina Husein, meneriakan kalimat ‘madad ya sidnal husein’, atau menangis sesenggukan di pusara Sang Cucu Rasul yang ada di Kota Kairo. Apa salah satu penyebab dari rasa cinta ini? Yaitu merasa dekatnya masyarakat Mesir dengan Imam Husein karena kepalanya yang mulia ada di Kota Kairo, Mesir. Bahkan setiap tahun masyarakat Mesir dari berbagai provinsi berbondong-bondong datang ke Kairo hanya untuk merayakan hari datangnya kepala Sayyidina Husein di bumi Mesir. Tentu ini mempengaruhi hubungan batin mereka dengan Cucu Rasullullah tersebut. Begitu juga para Alawiyyin yang merupakan keturunan dari Imam Husein. Oleh karena itu, menurut hemat penulis agak kurang mendasar kalau kita menuding para Habaib sebagai syiah hanya karena satu hal itu. Pun di samping pujiannya terhadap Ahlul Bait tak mereka sertakan hinaan kepada Sahabat Nabi yang lain, kan?

Bagaimana Sikap Kita?

            Setelah kita mengetahui beberapa tudingan yang banyak dilayagkan kepada Bani Alawi, maka kita juga harus tau bagaimana untuk bersikap. Baik bersikap sebagai di posisi orang awam, atau bersikap sebagai yang dituduh (entah Bani Alawi itu sendiri atau yang mengikuti amaliahnya). Maka menurut penulis, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi pegangan kita.

Pertama: Introspeksi diri. Sebelum kita melihat orang lain, alangkah baiknya kita melihat ke diri kita sendiri terlebih dahulu. Apakah yang mereka tuduhkan kepada kita benar adanya? Apakah amaliah kita selama ini ternyata menyimpang sebagaimana yang mereka yakini? Kalau ternyata apa yang kita lakukan ini ada sandarannya dan tidak diselisihi oleh mayoritas Ulama, lantas muncul pertanyaan selanjutnya yang menjadi bahan introspeksi; apakah ada perilaku kita yang menodai amalan kita ini sehingga menjadi dibenci oleh kalangan sebelah? Sebagai contoh, dalam perayaan maulid Nabi yang rutin khususnya oleh Bani Alawi dan yang se-manhaj dengannya, adakah di dalamnya hal yang justru dibenci oleh Nabi seperti campur antara laki-laki dan perempuan? Atau apakah justru kita kotori mimbar majelis maulid Nabi dengan cacian, makian, atau bahkan adu domba? Maka perilaku kita yang seperti inilah yang dapat menyulut api kebencian kaum sebelah terhadap amaliah yang kita lakukan.

Kedua: Berhati-hati dalam menuduh. Menuduh orang yang tidak seagama dengan kita saja hukumnya haram, apalagi menuduh yang seagama? Di era seperti saat ini, orang mudah sekali membuat tuduhan atau narasi tertentu kepada para tokoh, termasuk Ulama. Hanya dengan memotong bagian ceramah, jadilah sebuah narasi bahwa Ustadz A atau Habib A adalah pengikut aliran tertentu seperti Syiah dan lainnya. MUI sendiri dalam Rakernas MUI pada 6 November 2007 di Jakarta telah menetapkan “Sepuluh Kriteria Aliran Sesat” yang menurut penulis sudah sangat cukup untuk menjadi standar kita dalam membedakan antara aliran yang sesat dan yang lurus. Sepuluh poin tersebut adalah:

  1.  Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6.
  2.  Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah.
  3.  Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran.
  4.  Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran.
  5.  Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
  6.  Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam.
  7.  Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.
  8.  Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.
  9.  Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu
  10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.

Kemudian bagaimana jika yang kita tuduh –dalam konteks ini adalah sebagai syiah- tidak memenuhi setidaknya satu dari sepuluh poin yang telah MUI tetapkan? Maka sudah jelas kita tidak boleh langsung memvonisnya. Contoh yang mungkin sudah tidak asing di telinga para milenial baru-baru ini adalah tuduhan bahwa Habib Husein Ja’far Al-Haddar sebagai orang syiah. Memang dari riwayat pendidikan, buku, dan jejak digital yang bertebaran di sosial media sedikit menunjukkan ada arah ke sana. Akan tetapi, setelah penulis mengikuti kajian dan ceramah-ceramahnya, tidak ada hal yang cukup dijadikan alasan bahwa beliau adalah seorang syiah yang eksistensinya membahayakan atau menyesatkan umat. Malahan, kemanfaatan yang telah beliau berikan kepada umat -khususnya kaum milenial- jauh lebih terasa dibandingkan semua tuduhan yang tertuju kepadanya. Padahal dalam salah satu vidionya di YouTube bersama Rhoma Irama, beliau secara terbuka mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) serta mengikuti Tarekat Alawiyyah (ajaran-ajaran Bani Alawi).

Maka tanggapan penulis mengenai hal ini adalah berisi tiga kemungkinan terhadap Habib Husein Ja’far; beliau adalah seorang Sunni mutlak, atau beliau pernah menjadi syiah dengan bukti jejak digital kemudian menjadi Sunni, atau mungkin juga beliau seorang Syiah yang sedang ber-taqiyah. Namun dari ketiga kemungkinan ini, penulis meyakini bahwa beliau adalah seorang Sunni mutlak dan bukan syiah. Lantas bagaimana kita harus bersikap kalau orang yang kita tuduh ternyata benar syiah dan sedang ber-taqiyah menjadi Sunni? Menurut penulis, selama dia tidak membahayakan umat, tidak merusak sosial masyarakat, dan tau di mana posisinya, maka perlakukanlah dia sebagaimana kita memperlakukan orang lain pada umumnya. Tidak perlu ada intimidasi sama sekali. Karena kembali lagi, Iman adalah urusan dia dengan Allah. Selama mereka tidak mengusik, kita tidak akan bereaksi.

Tentu masalah taqiyah ini panjang dan memiliki dampak jangka panjang juga. Mungkin pada awalnya mereka ber-taqiyah, namun ketika jumlahnya telah menjadi mayoritas dan memegang kekuasaan, mereka akan berani terang-terangan atau bahkan yang Sunni menjadi dirugikan. Cukup apa yang terjadi di Negara Iran menjadi pelajaran untuk kita semua.

Ketiga: Belajar, belajar, dan terus belajar.  Semakin banyak ilmu, semakin sedikit menyalahkan. Semakin banyak menyalahkan, semakin sedikit juga ilmunya. Semakin sedikit ilmunya, semakin mudah membuat tuduhan dengan data yang terbatas. Tentu puncak tertinggi memiliki ilmu adalah menjadi sosok yang berakhlak dan bijaksana. Maka semakin banyak orang yang berilmu, berakhlak, dan bijaksana, akan semakin reda pula kesalahpahaman ini.

Setelah itu semua, kita tidak bisa mengelak sebuah fakta bahwa Bani Alawi adalah keturunan Rosulullah SAW, mau tidak mau, suka tidak suka, itulah faktanya. Sebagaimana mencintai Rosulullah, maka cintailah juga keluarganya. Adapun jika sebagian mereka yang menyimpang, tugas kita bukan membenarkannya dengan dalih cinta, justru bentuk cinta yang sebenarnya adalah mengembalikannya ke jalan leluhurnya.

Bagi para pecinta keluarga Rosulullah, jangan pernah takut difitnah sebagai syiah! Imam kita yang mulia. Imam Syafi’i juga pernah merasakan dituduh sebagai syiah rafidhah hanya karena beliau begitu cinta kepada keluarga Nabi. Dalam syairnya Imam Syafi’i pernah berkata “Apabila mencintai keluarga Muhammad dianggap sebagai pengikut aliran Rafidhah, maka saksikanlah wahai jin dan manusia bahwa diriku adalah pengikut Rafidhah.” dan masih banyak syair Imam Syafi’i lainnya yang menjawab tuduhan-tuduhan bahwa dirinya adalah syiah rafidhah. Semoga sholawat dan salam selalu terlimpah kepada Rosulullah Muhammad SAW, sahabat-sahabatnya, juga keluarganya yang suci.

Wahai Ahlul Bait, mencintai kalian adalah kewajiban sebagaimana telah tertulis di dalam Al-Qur’an.

Cukuplah sebagai alasan untuk berbangga pada kalian bahwa yang tidak membaca sholawat untuk kalian tidak akan mendapat rahmat.

-Imam Syafi’i

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *