Bagaimana Riwayat Imam Hafsh dari Ashim Bisa Tersebar Luas?

Ilustrasi riwayat bacaan al-Quran Imam Hafsh dari Ashim. (Sc: alif.id)
Ilustrasi riwayat bacaan al-Quran Imam Hafsh dari Ashim. (Sc: alif.id)

Oleh: Bana Fatahillah

Penulis adalah Pengajar Ilmu Al-Quran dan Tajwid di Ponpes At-Taqwa Depok

Sadar atau tidak, bacaan al-Quran yang Anda baca saat ini–atau orang Indonesia secara umum–adalah riwayat Imam Hafsh dari Ashim. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di penjuru dunia. Hal ini bisa Kalian buktikan dengan menyocokan bacaan yang diajarkan guru-guru Kalian dengan bacaan yang tertera dalam riwayat Hafsh. Tentu akan sama. Yang menjadi pertanyaan, dari sepuluh qiraat mutawatir yang ada, kenapa riwayat Hafsh sangat mencuat dan mampu tersebar secara masif seperti saat ini? Mari kita telusuri.

Imam Ashim dan Dua Perawinya

Berbicara mengenai Imam Hafsh, berarti berbicara sosok Imam Ashim. Sebab darinyalah seorang Hafsh mengambil bacaan al-Qurannya.

Dalam Ilmu Qiraat, ada sepuluh imam yang sangat Masyhur yang disepakati oleh ulama qira’at bahwa bacaan mereka bersambung sanadnya ke Baginda Nabi. Diantara kesepuluh tersebut ada imam bernama Ashim bin Abi Najud (w. 127 H), seorang Imam Qiraat asal Kufah. Bacaan al-Quran Imam Ashim inilah yang kemudian diriwayatkan oleh dua perawinya, Hafsh bin Sulaiman al-Mughirah (w. 180 H) dan Syu’bah Abu Bakar bin al-Ayyasy (w. 193 H).

Riwayat Imam Hafsh dari Ashim berujung kepada sahabat Ali bin Abi Thalib, sementara bacaan Syu’bah dari Ashim berujung kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud. Mungkin ada yang bertanya, kenapa bisa berbeda, padahal mereka berdua mempunyai guru yang sama. Hal ini karena rentetan sanad kedunya, tepatnya setelah imam Ashim, berbeda. Imam Hafsh mendapat jalur Abu Abdurrahman Al-Sullami dari Ali bin Abi Thalib sampai Nabi. Ada pun Syu’bah bersambung ke jalur Zirr bin Hubaisy lalu ke Ibnu Masud sampai ke Nabi.

Namun dari kedua perawi itu, kenapa riwayat Imam Hafsh dari Hashim yang justru menyebar luas, bukan Syu’bah. Sebagian ulama mengatakan karena masa mengajar Imam Hafsh sangat lama dan tempatnya mengajar sangat strategis. Itulah mengapa beliau bisa lebih mendunia. Untuk lebih lengkapnya, mari kita simak pembahasan bagaimana atau faktor apa yang membuat Imam Hafsh dari Ashim dipakai riwayatnya.

Bagaimana Riwayat Imam Hafsh dari Ashim Akhirnya Tersebar Luas?

Ghanim Qadury Hamd, seorang ulama pakar Qira’at asal Iraq dalam salah satu tulisannya berkata bahwa riwayat Imam Hafsh dari Ashim adalah bacaan yang paling populer dan paling banyak dipakai di penjuru dunia. Namun ia tidak bisa memastikan kapan mulainya Hafsh menjadi primadona di antara qiraat yang lainnya. Setidaknya, dari analisa yang dilakukannya, riwayat ini mencuat sekitar 6 abad yang lalu. Hal ini dapat diketahui dari perkataan Abu Hayyan dalam tafsirnya:

“Berkata Abu Hayyan dalam kitabnya, Bahrul Muhiit, dan ia sedang membicarakan riwayat Wars dari Nafi’: itu adalah riwayat yang tersebar di Negeri kami, yakni Andalus dan kami mempelajarinya dari kantor/sekolah. Dan ia berkata tentang qiraat Ashim: ia adalah bacaan yang tersebar di Negeri Iraq.”

 

Perkataan Abu Hayyan ini penting untuk dikutip. Sebab menurut Ghanim, ada sejumlah orang yang mengatakan bahwa Khilafah Utsmaniyyah-lah yang telah berperan penting dalam tersebarnya riwayat Imam Hafsh dari Ashim karena mewajibkan bacaan al-Quran dengan riwayat ini.  Padahal Abu Hayyan sendiri yang hidup di abad ke 8 di Andalus sudah mendengar qiraat Ashim. Itu artinya, qiraat ini sudah tersebar jauh sebelum kekhilafahan Turki Utsmani.

Fakta lainnya, Mushaf yang pertama kali dicetak di kota Hamburg, Jerman, tahun 1694 M/1106 H, diterbitkan dengan bacaan riwayat Imam Hafsh dari Ashim. Ini artinya para penerbit Mushaf di Hamburg sudah tentu melihat terlebih dahulu kecenderungan masyarakat Islam saat itu. Kalau bukan karena tersebarnya qiraat riwayat Imam Hafsh dari Ashim, maka tidak mungkin percetakan berani mencetaknya dengan bacaan Hafsh.

Ada pun terkait faktor tersebarnya riwayat Imam Hafsh dari Ashim, Kyai Ahsin Sakho, seorang Pakar dan Ahli Qiraat Indonesia dalam kitabnya “Membumikan Ulumul Quran” menjelaskan, hal ini dilatarbelakangi oleh dua hal.  Pertama, faktor alamiah, yakni riwayat tersebut mengalir dan menyebar dengan sendirinya. Kedua, faktor ilmiah, yakni kajian tentang materi/kaidah riwayat Hafsh, atau aspek historis dan lainnya, di antaranya:

  1. Dari segi materi ilmiah, yakni kaidah-kaidah ilmu qiraat yang dipakai, riwayat Hafsh dari Ashim relatif mudah dibaca bagi orang yang non-Arab. Diantaranya dalam qiraat Hafsh tidak banyak bacaan imalah kecuali pada bacaaan (مجرها) di surat Hud. Hal ini berbeda dengan bacaan Syu’bah yang juga murid dari guru yang sama, dimana bacaannya cukup banyak bacaan imalah. Selain itu, membaca Mad Muttashil dan Munfashil bacaan Hafsh, terutama dalam thariq Syathibiyyah tidak terlalu panjang sebagaimana bacaan Warsy dan Hamzah yang membutuhkan nafas panjang.
  2. Tersebarnya riwayat Imam Hafsh dari Ashim di pusat kota, yaitu Kufah dan Baghdad yang merupakan ibu kota negara dan pusat aktivitas ilmiah, sehingga penyebarannya relatif lebih mudah dan sangat masif. Belum lagi setelah itu, Hafsh pergi ke Mekah, kiblat kaum muslim yang banyak dihuni mukimin dari berbagai penjuru dunia dan mengajar al-Quran di sana. Karenanya bisa dibayangkan pengaruh bacaannya kepada para pendatang di Mekah.
  3. Imam Hafsh mempunyai jam mengajar yang cukup lama. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Jazariy bahwa murid-muridnya bertebaran di berbagai tempat. Bahkan Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan, banyak orang-orang ahli qiraat yang mencukupkan dengan bacaan riwayat Hafsh dari Ashim saja, tidak yang lainnya, seperti Ahmad bin Sahl al-Asynaani al-Baghdadi. Berbeda dengan Syu’bah yang tidak bergitu lama mengajar.
  4. Imam Hafsh dianggap sebagai perawi Imam Ashim yang sangat piawai dan menguasai bacaan gurunya. Sebagaimana beliau adalah murid yang sangat setia kepada gurunya itu.
  5. Peranan para qari, guru, imam shalat, radio, kaset, dan televisi juga sangat berpengaruh terhadap penyebaran riwayat Imam Hafsh dari Ashim. Kita tau bahwa rekaman suara al-Quran pertama di dunia Islam adalah suara Mahmud Khalil al-Hushari atas inisiatif Labib Sa’id. Rekaman ini menggunakan riwayat Hafsh thariq Syathibiyyah. Suara ini yang tersebar ke seluruh dunia, turut mengangkat bacaan Hafsh.
  6. Ghanim Qadury juga menyebutkan dengan melansir dari kitab Tarikh al-Quran karya Muhammad Thahir Kurdy bahwa penulis Mushaf yang sangat terkenal pada masa Pemerintahan Turki Utsmani adalah al-Hafiz Usman (1.110 H). Penulis ini sepanjang hidupnya telah menulis mushaf dengan tangannya sendiri sebanyak 25 mushaf. Dari mushaf yang diterbitkan inilah riwayat Imam Hafsh dari Ashim menyebar ke seantreo Negeri.

 

Dari poin ini, Kyai Ahsin memberi catatan bahwa terdapat hubungan antara keahlian menulis mushaf dan khat yang indah bisa menjadi unsur yang signifikan dalam penyebaran suatu riwayat. Jika kemudian Turki Utsmani mencetak mushaf sendiri dan menyebarkannya tentu akan menambah pesatnya riwayat Imam Hafsh dari Ashim.

  1. Di luar sejumlah penyebab yang zahir atas tersebarnya riwayat Imam Hafsh dari Ashim, di sana juga ada faktor maknawi, atau faktor “keberkahan” pada sosok Imam Hafsh. Unsur-unsur Spiritual pada diri beliau, seperti kesalehan, keikhlasan, ketekunan, dan pengorbanannya dalam mengabdi kepada al-Quran turut menjadi penyebab tersebarnya satu riwayat ini.

Dengan menyebarnya riwayat Imam Hafsh dari Ashim, kedudukan al-Quran dan juga orisinalitasnya semakin kokoh dan meyakinkan. Biar pun banyak musuh Islam yang mencoba menyerang keotentikan al-Quran melalui lafaznya, misalnya, maka hal itu akan terbantahkan dengan kuatnya bacaan al-Quran yang sudah tertanam dalam hati umat Islam di dunia. (Baca juga: Sekali Lagi Soal Penghapusan Ayat Dalam Al-Qur’an)

Namun di balik semua itu, meredupnya riwayat lain bukan berarti meredupnya kemutawatiran satu bacaan. Berbagai bacaan tersebut masih kokoh kemutawatirannya, sebab telah diakui oleh para pakar dan Ahli Qiraat. Umat Islam pun tidak diwajibkan membaca dengan semua bacaan yang pernah diajarkan oleh Nabi Saw. kepada sahabatnya, sebab Allah ingin memudahkan umatnya dari segala kesulitan. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *